Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rahasia di Balik Nama Kali Biru di Berap

Kali Biru di Berap pada awal mulanya dikenal sebagai tempat bermain dan tempat menari burung hitam putih berekor panjang

4 Oktober 2022 | 16.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL - Ondoafi Berap, Piter Manggo, mengungkapkan sebuah kisah masa lampau di wilayah adat Kampung Berap (Berab) yang membuat masyarakat Kampung Berap kini berada di tempat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kampung ini berada di Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura. Jumlah penduduknya pada saat ini sekitar 300 jiwa dan pada umumnya hidup dari bercocok tanam. Masyarakat lokal Kampung Berap terdiri dari 5 Suku, yakni Suku Manggo, Bue, Yosua, Tarko, dan Kase.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Piter Manggo, dahulu kala suku-suku di Nimboran dan Kemtuk berkumpul di satu tempat yang bernama "Remeh". Mereka kemudian mulai berpencar dan menduduki wilayah-wilayah dataran di lembah Grime.

Suku Manggo, yang artinya awan, didatangi oleh awan putih di tempat perkumpulan itu. Lalu, suku ini disuruh keluar dan menempati wilayah Kwafe (Kali Biru) yang berbatasan dengan Demta.

Kali Biru di Berap pada awal mulanya dikenal sebagai tempat bermain dan tempat menari burung hitam putih berekor panjang. Onfoafi Piter Manggo menjelaskan, burung hitam putih itu bernama Kwafe. Burung ini selalu menari riang saat memandang keindahan air kali yang biru serta bunyi derasnya air itu. “Melihat orang mandi di sinipun burung Kwafe gembira dan selalu melompat-lompat dan menari-nari,” kata dia di lokasi Festival Kuliner 26 September 2022 lalu.

Istilah asli Kali Biru dalam bahasa Nimboran adalah "NGGAM" yang artinya Pemberian Tuhan, Atau Anugerah Tuhan, sehingga sampai dengan sekarang masyarakat Berap menjaga dan melestarikannya sebagai bentuk tanggung jawab menjaga Pemberian Tuhan kepada mereka.

Kehidupan masyarakatnya masih terikat erat dengan sistem budaya dan adat istiadat. Menurut Ondoafi Berap, aturan-aturan adat itu tidak tertulis tapi tersirat, menyatu dengan alam semesta. Setiap generasi yang lahir dan besar, kata dia, diajari soal tata krama dan budaya. Aturan-aturan adat melekat dengan sendirinya. “Peradilan adat di sini, untuk memberikan sangsi sebagai hukuman, cukup dengan menyerahkannya kepada matahari. Itu tidak lama orang yang melakukan pelanggaran akan mati. Itu sangsi yang paling berat dan yang paling ditakuti,” kata dia. (*)

 

Prodik Digital

Prodik Digital

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus