Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Kelestarian Danau Sentani Menurun, Karena Warga Lupa 3 Hal Sakral Ini

Danau Sentani menjadi ikon Kabupaten Jayapura. Sayangnya kelestarian danau tersebut menurun, akibat warga mengabaikan tradisi lama.

27 Agustus 2020 | 08.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menyambut Festival Danau Sentani 2016

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Danau Sentani yang ada di bagian Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, Papua, tak hanya terkenal keindahannya. Wilayah tersebut merupakan salah satu lokasi situs arkeologi zaman prasejarah. Di danau yang memiliki 21 gugusan pulau itu, warga sangat menjaga tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Masyarakat tradisional Sentani itu percaya bahwa dewa selalu melihat mereka, istilahnya hue jokho erele,” ujar akademisi dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Cenderawasih Wigati Yektiningtyas-Modouw dalam webinar bertajuk 'Danau Sentani Dalam Kajian Arkeologi, Geologi dan Budaya Papua', pada Rabu 26 Agustus 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan kepercayaan seperti itu, masyarakat Sentani sangat berhati-hati dalam setiap tindakannya. Termasuk dalam mengelola danau sebagai lingkungan utama mereka.

Dalam webinar yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Arkeologi Papua itu, Wigati mengatakan bahwa masyarakat Sentani jaman dulu sangat percaya pada keselarasan hubungan yang tercermin dalam tiga relasi sakral yang dijaga dari generasi ke generasi.

Pertama relasi mereka dengan Hu yakni sang dewa/matahari yang selalu melihat mereka, kedua relasi dengan manusia dengan manusia, dan ketiga relasi mereka dengan alam/lingkungan.

Kuatnya relasi itu membuat keindahan Danau Sentani dari dulu sangat terjaga. Dengan flora dan fauna yang amat lengkap, hutan Sagu yang amat luas dan lanskap yang sangat indah seperti tergambar dalam lukisan-lukisan kayu di masa lalu.

“Masyarakat Sentani adalah masyarakat yang amat bersyukur,” ujar Wigati yang sudah 30 tahun mengamati kehidupan warga Sentani itu.

Namun ia tak menampik, saat ini ketika relasi keselarasan itu mulai mengendur dalam masyarakat Sentani, sejumlah persoalan di sekitar danau mulai muncul. Seperti berserakannya sampah, populasi flora dan fauna yang berkurang drastis, semakin sedikitnya lahan hutan Sagu dan akhirnya membuat harga Sagu melonjak.

Kurang dari sebulan lagi Festival Danau Sentani (FDS) VIII akan digelar. Pemerintah daerah dan masyarakat setempat bersinergi menyiapkan perhelatan akbar tahunan ini

“Danau Sentani seperti sedang sakit, maka perlu disembuhkan, yang harus kita lakukan refleksi bersama untuk kembali merawat Sentani baik lingkungannya, hutannya, sungainya dan masyarakatnya,” ujarnya.

Menurut Wigati ada tiga hal yang bisa ditempuh untuk mengembalikan keseimbangan alam di Sentani. Antara lain dengan memajukan pendidikan di Sentani, lalu mendampingi keluarga keluarga di Sentani dan memberdayakan masyarakatnya dalam mengelola dan merawat lingkungan lebih disiplin.

Fosil di Sekitar Danau Sentani

Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto, dalam kesempatan itu memaparkan soal penelitian atas situs megalitik yang terserak di kampung-kampung sekitar sisi barat Danau Sentani.
Kampung-kampung sekitar Sentani yang terdapat situs arkeologi itu meliputi Doyo Lama, Kwadeware, dan Dondai.

“Saat ini sampel-sampel dari situs arkeologi di Sentani itu sudah kami kirim ke laboratorium Australian National University untuk diteliti, khususnya soal umur pastinya,” ujarnya.

Adapun peneliti Program Studi Teknik Geologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) Institut Teknologi Bandung Yahdi Zaim dalam kesempatan itu menyinggung soal temuan fosil kanguru –hewan yang identik dengan Australia- di Nimboran, Kabupaten Jayapura dalam kaitannya dengan keberadaan lanskap prasejarah yang membentuk Sentani.

“Mengapa keberadaan kangguru bisa ada di situ, saya kira kangguru adalah hewan yang juga bisa berenang. Dia bisa menyeberang, dan itu sangat mungkin terjadi ketika Paparan Sahul itu menjadi darat,” ujarnya.

Paparan Sahul sendiri merupakan bagian lempeng landas kontinen benua Sahul yang terletak di lepas pantai utara Australia dan lautan selatan pulau Papua. “Seperti kita ketahui, fluktuasi muka air laut yang terakhir itu atau last glacial, terjadi 18-20 ribu tahun lalu. Saat itu muka air laut dunia berkisar di bawah 100-120 meter dari permukaan air laut sekarang,” ujarnya.

Arkeolog Balai Arkeologi Papua memeriksa menhir yang ditemukan di Bukit Yomokho, dekat Danau Sentani, Jayapura, Oktober 2019. Daerah ini diduga hunian prasejarah dari zaman neolitik sampai megalitik. (Dok. Hari Suroto/Balar Papua)

Dengan kondisi minus lebih dari 100 meter itu, ujar Yahdi, sangat mungkin ada daratan yang menjembatani atau menghubungkan antara Australia dan Papua. Sehingga sangat masuk akal ada kangguru di Papua.

PRIBADI WICAKSONO

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus