Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuta dan Nusa Dua yang menjadi destinasi wisata internasional terletak di Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Kabupaten ini berkembang pesat sejak sepuluh tahun terakhir. Menariknya, pembangunan di Badung tidak hanya mengandalkan unsur fisik semata, tetapi juga memperhatikan basis budaya dan adat istiadat masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konsep pembangunan itu tercermin dari kepemimpinan Bupati Badung, I Nyoman Giri Prasta yang menonjolkan nilai-nilai tradisi kebudayaan Bali. “Pembangunan yang kami lakukan berlandaskan filosofi Tri Hita Karana dan konsep Tanam Tuwuh,” kata Giri Prasta. “Kami berkomitmen menghadirkan perubahan yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat Badung.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Giri Prasta, filosofi Tri Hita Karana berarti harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan lingkungan. “Itulah yang menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan dan program pembangunan,” kata dia.
Prinsip itu tercermin dalam lima bidang prioritas Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PPNSB), yang meliputi pangan sandang papan, kesehatan dan pendidikan, jaminan sosial dan ketenagakerjaan, adat agama budaya, serta pariwisata yang berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. PPNSB yang diterapkan Giri Prasta dan jajaran pemerintah Kabupaten Badung merupakan konsep pemikiran pembangunan berkelanjutan yang pernah diimplementasikan Presiden RI pertama, Soekarno.
Hasilnya, pembangunan di Badung tidak hanya menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang pesat, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat secara luas. “Pembangunan bukan hanya soal infrastruktur, melainkan bagaimana membawa masyarakat merasakan kemajuan secara adil dan merata,” kata Giri Pastra.
Dia juga menjelaskan konsep Tanam Tuwuh sebagai landasan pembangunan berkelanjutan, yaitu menanamkan fondasi yang kuat agar tumbuh dan berkembang dengan baik. Konsep ini terlaksana melalui penguatan pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Contohnya dengan program pendidikan gratis dan akses kesehatan berkualitas untuk seluruh lapisan masyarakat, serta mendukung usaha kecil dan menengah guna mendorong kemandirian ekonomi.
Giri Pastra mengibaratkan pemerintahan seperti petani yang menanam benih di sawah atau ladang. Jika mampu menanam dan merawat dengan benar dan baik, maka masyarakat akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula. “Serta menjadikan masyarakat mandiri, sejahtera, dan berdaya saing,” ucapnya.
Kerja keras yang dilakukan Giri Pastra dan jajarannya melewati berbagai ujian dan tantangan dalam menjalankan komitmen membangun Badung. Salah satu tantangan utama, yaitu bagaimana menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian budaya dan lingkungan, sehingga modernisasi yang berlangsung di Badung tidak mengikis identitas budaya lokal.
Tantangan lain yang memerlukan kecakapan kepemimpinan, yaitu birokrasi dan dinamika politik di tingkat lokal dan nasional. Sebagai kepala daerah, Giri Prasta harus dapat menjalin komunikasi dan membangun sinergi dengan berbagai pihak supaya semua program dapat berjalan dengan baik. “Dengan komunikasi, sinergi, dan semangat gotong royong, semua rintangan bisa teratasi,” ucap Giri Pastra.
Mengenai tantangan di era globalisasi dan digitalisasi, Giri Prasta membawa masyarakat Badung beradaptasi dengan perubahan zaman dengan memanfaatkan teknologi di berbagai sektor, termasuk pelayanan publik. Sebab, menurut dia, transformasi digital adalah kunci untuk menciptakan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Satu dekade kepemimpinan Giri Prasta membuktikan bahwa politik bisa menjadi alat untuk menciptakan perubahan nyata, bukan sekadar perebutan kekuasaan. “Saya meyakini politik adalah sebuah pengabdian. Jika seorang pemimpin benar-benar mengabdi, maka masyarakat akan melihat dan merasakan hasilnya,” ucapnya.