Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TENTARA perempuan itu masuk ke ruangan dengan tenang. Dia menyimpan sepatu larsnya di depan pintu masuk, mengenakan kerudung yang menutupi seragam kamuflase—yang biasa dipakai pasukan khusus Angkatan Darat—dan bersimpuh. Kerudung itu adalah mukena untuk sembahyang bagi perempuan beragama Islam.
Beberapa lelaki mendorong altar yang biasa dipakai buat persembahan bagi ibadah kristiani ke belakang ruangan. Lalu mereka mendorong podium, tempat pastor biasa berkhotbah, ke tepi supaya ada tempat bagi arah kiblat. Ruangan yang tadinya sesak oleh bangku, podium, dan altar seketika lega buat para pemeluk Islam beribadah, siang itu.
”Allahu Akbar,” seru Ali Mohammed, seorang kontraktor yang bekerja di Pentagon, menjadi imam salat. Sambil mengangkat tangan di samping wajahnya, dia kembali berteriak memuliakan nama Allah. Dia berlutut, sujud, dan berdiri lagi. Di belakangnya beberapa orang lain melakukan hal yang sama.
Inilah wajah Pentagon, markas besar tentara Amerika Serikat di Washington, DC, ibu kota Amerika. Di kapel itu, umat Islam, Kristen, dan agama lain berbagi ruang yang sama untuk berdoa. Seperti yang dilakukan Jumat dua pekan lalu. Sekitar 17 tentara dan pekerja di Pentagon ikut salat Jumat, dipimpin oleh Imam Ghayth Nur Kashif.
Kapel itu berdiri tepat di atas reruntuhan gedung yang ditabrak pesawat American Airlines bernomor penerbangan 77 pada 11 September 2001 dan dibangun kembali pada November 2002. Tempat itu dirancang bisa menjadi sinagoge, masjid, dan pura sekaligus. Masuk ke sana, semua orang wajib melepas alas kaki.
”Kita ditantang untuk lebih baik dalam Ramadan,” ujar sang Imam dalam ceramahnya. Dia mengajak jemaah bersikap baik dan tak kasar dalam menanggapi kritik soal pembangunan Pusat Kebudayaan Islam di Kota New York yang di dalamnya juga dilengkapi dengan tempat ibadah. ”Enggak enak didengar memang, tapi cobalah mengerti pikiran mereka (penentang pembangunan).”
Di dua tempat yang digempur serangan 11 September yang membangkitkan sentimen anti-Islam itu, ada pendekatan yang berbeda dalam menyelesaikan masalah. Washington sudah adem dan rukun sejak 2002, New York masih panas.
Empat jam perjalanan dari Washington, DC, di Manhattan, New York, Ahad pagi, pendukung dan penentang pembangunan Pusat Kebudayaan Islam berhadapan. Massa mengekspresikan aspirasi mereka dengan damai. Di antara penentang ada bintang rock Bruce Springsteen.
Kota New York masih jadi ajang keributan soal pembangunan Park 51—nama gedung pusat kebudayaan itu. Bangunan 13 lantai bergaya arsitektur Cordoba, Italia, itu ditentang menjadi pusat kebudayaan sekaligus masjid karena dianggap terlalu dekat dengan pusat reruntuhan World Trade Center yang hancur dalam serangan 11 September.
”Islamofobia muncul lagi, dan kini dimanfaatkan jadi isu politik,” ujar Syamsi Ali, imam masjid terbesar di New York, di Islamic Cultural Center ketika dihubungi. Isu yang berkembang adalah ketidakpekaan masyarakat beragama Islam dan Wali Kota New York Michael Bloomberg.
Uniknya, penolak pembangunan lebih banyak politikus. Di kubu pendukung, justru berjejer pemimpin agama non-Islam, mulai Kristen sampai Yahudi. ”Mereka pasang lilin di sana,” ujar Syamsi Ali. Park 51 rencananya akan menjadi sarana untuk menyaksikan dan mempelajari bagaimana kebudayaan Islam berkembang. Selain akan didirikan museum, di sana akan ada perpustakaan dan kolam renang, juga masjid.
Penamaan Park 51 seperti 92nd Y—sebuah Pusat Kebudayaan Yahudi. Maklum, di sana gedung penting diberi nama sesuai dengan nama jalan tempat ia berada. Nah, 92nd Y, yang di dalamnya juga ada sinagoge, letaknya sekitar sepuluh blok dari Park 51. Sepuluh blok berikutnya, berdiri Pusat Kebudayaan Kristen. Tata kota di New York sebagai tulang punggung ekonomi dan kapitalisme memang memberikan ruang buat kemajemukan.
Toh, para politikus memelintir masalah ini. ”Mereka masih ingin mencari kesalahan dalam pemerintahan Barack Obama,” ujar Syamsi. Menurut dia, para anggota kelompok konservatif yang sangat kanan atau lebih dikenal sebagai Tea Party masih tak rela bila Obama yang selalu dicurigai latar belakang keluarganya itu berhasil memimpin Amerika. ”Minimal dia tak terpilih lagi.”
Syamsi, yang juga anggota staf kedutaan Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, amat paham dengan politik Amerika. Pria kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, itu sekarang ditarik-tarik dalam pertikaian pernyataan sengit para politikus yang ingin mempengaruhi kebijakan pembangunan Pusat Kebudayaan Islam.
Gedung berarsitektur Cordoba itu tadinya adalah toko baju mahal Burlington. Pada 2008, toko itu berencana pindah blok, sehingga hendak menjual gedungnya. Pembelinya, pengusaha asal Mesir, membayar gedung itu US$ 4 juta. Si pengusaha adalah anggota jemaah di masjid yang dipimpin Imam Feisal Abdul Rauf, yang berjarak sepuluh blok dari Titik Nol.
Feisal memiliki karisma sehingga banyak pengikut. Kebetulan jemaahnya adalah pengusaha sukses, seperti pria Mesir itu. ”Masjid dia kecil,” kata Syamsi. Seiring dengan berjalannya waktu, jemaah semakin padat dan berdesak-desakan saat beribadah. Maka muncul usul untuk memindahkan lokasi masjid.
Pengusaha yang menjadi jemaah menilai mestinya ada juga Pusat Kebudayaan Islam di Kota New York, seperti halnya bagi Yahudi dan Kristen. Ide ini diterima dan diusulkan kepada Wali Kota Michael Bloomberg. Dia setuju sehingga Balai Kota New York memberikan izin pembangunan. Pengadaan duit buat perombakan gedung US$ 100 juta sudah disanggupi para pengusaha yang kebetulan pialang Wall Street yang menjadi jemaah di masjid Feisal.
Namun muncul penolakan dari sebagian warga. Mereka berdalih gedung itu adalah landmark Kota Big Apple. ”Ini simbol, ikon penghubung kapitalisme Amerika dengan pencarian untuk melestarikan kebebasan kita,” kata Bret Joshpe, pengacara warga yang mempersoalkan pembangunan gedung.
Belakangan beberapa warga yang emosi menentang pembangunan karena dianggap terlalu dekat dengan lokasi serangan 11 September sembilan tahun lalu. Pemerintah kota dianggap tak peka dengan korban tewas lebih dari 3.000 orang akibat serangan itu. Sebaliknya, pihak pendukung merujuk pada konstitusi Amerika yang menjamin kebebasan beragama, termasuk dalam menjalankan ibadah. ”Siapa pun boleh menjalankan ibadahnya, itu dijamin konstitusi,” kata Bloomberg. Dewan Landmark Kota New York pun menyatakan gedung itu bukan landmark kota.
Meski kalah dukungan dari politikus serta survei, para penyokong pembangunan Pusat Kebudayaan Islam cukup berkualitas. Mereka terdiri atas para tentara dan veteran, serta keluarga korban 11 September. ”Love your neighbors, love your enemies,” begitu bunyi salah satu spanduk pendukung pembangunan pada unjuk rasa Ahad dua pekan lalu.
Syamsi menunjuk pula kelompok warga yang disebutnya silent majority. ”Mereka diam tapi banyak, dan mendukung pembangunan,” ujarnya. Pada beberapa kali pertemuan antarpemimpin agama—rabi dan pendeta—lebih dari 60 orang selalu hadir. Mereka memiliki jemaah di tempat ibadah masing-masing.
Di Washington, Kashif tersenyum dan bersalaman dengan pemimpin agama lain yang akan menggunakan kapel serbaguna di Pentagon. Markas besar tentara Amerika itu telah merasakan sedihnya kehilangan 125 jiwa dalam serangan 11 September.
Sebuah piagam berisi nama-nama korban tewas terpasang menghadap siapa pun yang masuk ke kapel. Cahaya lampu menyorot piagam itu. ”Bersatu dalam Kenangan, 11 September 2001”.
Sebanyak 1.977 tentara dan 464 anggota National Guard pemeluk Islam di sana menjadi saksi bagaimana serangan terjadi. Dan kini mereka terus mengenangnya, bersama pemeluk Kristen, Yahudi, dan Hindu, yang berbagi tempat yang sama untuk beribadah.
Yophiandi (Washington Post, New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo