Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VONIS bersalah terhadap Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Indonesia, Erwin Arnada, oleh Mahkamah Agung merupakan kemunduran besar dalam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers di Indonesia. Majelis kasasi menjatuhkan vonis dua tahun penjara karena Erwin Arnada dianggap melanggar Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang kesusilaan.
Ini merupakan kasasi atas keputusan pengadilan tiga tahun lalu. Ketika itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan Erwin bebas atas dakwaan yang sama, karena hakim menilai jaksa tidak bisa menunjukkan bukti seperti yang dituduhkan. Vonis dua tahun penjara dari Mahkamah Agung itu segera berbuntut heboh karena munculnya seruan dari sekelompok masyarakat untuk ramai-ramai menangkap Erwin—tugas yang seyogianya dipercayakan kepada aparat hukum.
Keputusan MA ini merupakan preseden buruk bagi pers Indonesia dan kebebasan berekspresi karena beberapa faktor. Pertama, Mahkamah menggunakan Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk mengadili kasus yang menyangkut pers. Karena kasus ini menyangkut aturan khusus (lex spesialis), seharusnyalah Mahkamah menggunakan Undang-Undang Pers.
Tiga tahun lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Erwin Arnada justru karena mereka berpendapat seharusnya kasus ini menggunakan Undang-Undang Pers. Dengan kata lain, Hakim Agung justru berpikiran lebih sempit daripada hakim tingkat bawah, karena memilih menggunakan pasal undang-undang warisan kolonial yang tidak mendorong proses demokratisasi.
Kedua, Pasal 282 KUHP menyatakan, ”Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan….” Majalah Playboy Indonesia sejak awal tampaknya sudah dipersoalkan oleh beberapa kalangan—yang paling keras adalah Front Pembela Islam—lebih karena soal citra dan nama daripada karena isi. Hakim Agung seharusnya betul-betul menilai isi dan gambar majalah franchise tersebut—yang bukan hanya berisi foto-foto artis yang masih mengenakan busana, melainkan juga wawancara dengan tokoh Indonesia serta artikel features—untuk bisa menyimpulkan bahwa majalah ini melanggar kesusilaan.
Ketiga, Pemimpin Redaksi Playboy Indonesia, Erwin Arnada, dan para pengacaranya harus melawan keputusan ini. Dengan mengajukan argumen baru, Erwin Arnada harus memohon peninjauan kembali dengan argumen bahwa hakim harus menggunakan Undang-Undang Pers seperti yang terjadi pada majalah Time, tahun lalu. Pada 2007, majalah itu divonis bersalah dalam kasus pencemaran nama baik mantan presiden Soeharto dalam artikel yang terbit pada 1999, yang membicarakan kekayaan Presiden Soeharto. Setahun lalu, Time mengajukan peninjauan kembali, dan Mahkamah Agung mengabulkan. Kasus majalah Time ini pula yang sebaiknya dijadikan preseden bagi hakim yang nanti bertugas menangani kasus Playboy Indonesia—majalah dengan simbol kelinci itu.
Persoalan terakhir: kalaupun pemimpin redaksi harus menjalani masa kurungan selama mengajukan peninjauan kembali, itu merupakan tugas dan otoritas polisi, dan bukan otoritas organisasi sipil mana pun, untuk menangkapnya. Adalah pihak kepolisian yang harus menegaskan kedudukan, fungsi, dan otoritasnya. Jangan sampai peran itu diambil oleh pihak lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo