Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kado Istana untuk Koruptor

30 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBERANTASAN korupsi kini tak lebih sekadar slogan. Kita menyaksikan dengan cemas hampir semua ”senjata” penangkal kejahatan kelas berat itu malah dibuat tumpul. Usaha memereteli kekuatan lembaga antikorupsi terjadi dari hulu sampai hilir. Ironisnya, si pelaku justru institusi negara, yang mestinya wajib berdiri paling depan melabrak korupsi.

Di hulu, Dewan Perwakilan Rakyat menggagalkan usaha menguatkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejumlah pasal yang bisa memperkuat komisi itu, antara lain kewenangan menerima laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, ditolak dengan berbagai alasan. DPR juga tak sepakat menambah kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan—lembaga yang selama ini mengungkap aneka transaksi gelap.

Komisi Pemberantasan Korupsi juga tak pernah memperoleh dukungan kuat, terutama dari para penegak hukum lain. Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, misalnya, bisa seenaknya menarik penyidik yang ditempatkan di komisi itu. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak menunjukkan sikap tegas ketika komisi itu dikriminalkan oleh para petinggi kepolisian.

Grasi dan remisi pemerintah untuk sejumlah koruptor belum lama ini merupakan pukulan telak berikutnya terhadap gerakan pemberantasan korupsi. Ini pemandulan serius di hilir, ketika para koruptor ”membayar” kejahatan mereka dalam sel penjara. Pengampunan dan keringanan hukuman merusak tujuan memberikan efek jera bagi koruptor, juga insentif kepada ”calon koruptor” untuk melakukan kejahatan serupa. Pemerintah sekaligus mencampakkan program seratus hari pertamanya.

Hal itu dilakukan Presiden Yudhoyono ketika memberikan grasi bagi Syaukani Hassan Rais, terpidana empat perkara korupsi yang merugikan negara Rp 106 miliar. Dinyatakan terbukti bersalah, antara lain menerima uang panjar pembebasan lahan untuk bandara, Bupati Kutai Kartanegara itu dihukum enam tahun penjara pada September tahun lalu. Entah apa alasan medisnya, ia dinyatakan sakit permanen, meskipun pada April lalu Syaukani sempat berkampanye untuk anaknya—yang kini ”menggantikan” sang bapak. Berkat ”kado” grasi itu, sejak dua pekan lalu ia pun bebas.

Pemberian remisi untuk 330 terpidana korupsi juga tidak tepat waktu, mengingat perang melawan kebatilan itu sedang berlangsung. Apalagi dalam daftar tercantum Aulia Pohan. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia yang juga besan Presiden itu langsung lepas dari kurungan beserta sebelas orang lainnya. Tak sulit untuk mengingat, terpidana korupsi dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia itu dihukum tiga tahun sejak Oktober 2008. Artinya, dengan pembebasan bersyarat dua pekan lalu itu, Aulia sudah menikmati pengurangan hukuman satu tahun dua bulan.

Alasan ”universal dan kemanusiaan” dalam memberikan keringanan, seperti dalih Menteri Hukum Patrialis Akbar, seolah-olah masuk akal. Tapi dalih itu sangat bertolak belakang dengan kenyataan bahwa korupsi di Republik ini sudah mencapai tahap sangat kronis. Pemberian aneka ”fasilitas istimewa” itu tak masuk akal, hanya meninggalkan kesan bahwa pemerintah memperlakukan korupsi sebagai kejahatan biasa-biasa saja.

Aturan pemberian keringanan hukuman untuk narapidana korupsi memang telah dipisahkan dari pelaku kejahatan umum. Untuk kejahatan umum, remisi diberikan setelah mereka menjalani hukuman enam bulan lebih, sedangkan narapidana korupsi diberi remisi setelah menjalani sepertiga masa hukuman. Ketentuan ini pun sama sekali tak menunjukkan semangat membasmi korupsi. Seharusnya keringanan hukuman bagi golongan pengeruk duit rakyat itu dihapuskan sama sekali.

Terhadap korupsi hebat seperti yang terjadi saat ini, sikap keras dalam memeranginya harus diambil semua pemimpin institusi negara. Tapi, jangankan menunjukkan ketegasan, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie malah bersikap sebaliknya ketika menyatakan ”Aulia Pohan bukan koruptor”. Pernyataan ini terkesan ”mencari muka” di hadapan Yudhoyono, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat—partai yang mengirim Marzuki ke Senayan. Padahal, tidak dibutuhkan tingkat kecerdasan terlalu tinggi untuk memahami keputusan pengadilan yang menyatakan Aulia ”secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi”.

Hampir setahun periode kedua kepemimpinan Presiden Yudhoyono, rakyat pantas menagih janjinya untuk ”memimpin sendiri agenda pemberantasan korupsi” dan ”memulai gerakan itu dari rumah sendiri”. Kepala Negara tidak selayaknya memberikan sinyal lembek kepada koruptor.

Seorang presiden di negeri yang terbelit korupsi akut tidak pantas memberikan grasi dan amnesti kepada koruptor, meskipun ia mempunyai kewenangan untuk itu. Tanpa sikap radikal, percuma saja pemberantasan korupsi digembar-gemborkan dalam setiap pidato. Itu hanya jargon kosong yang menyakitkan rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus