Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTENGAHAN Juli 2007. Dua helikopter AH-64 Apache Amerika terbang di tenggara Kota Bagdad. Belasan warga Irak terlihat sedang berjalan beriringan di antara reruntuhan bangunan.
”Hotel Two-Six, ada lima atau enam orang membawa senapan otomatis AK-47. Minta izin menembak,” kata seorang bersandi Crazy Horse One-Eight dari dalam helikopter.
”Roger. Diizinkan.”
”Ada yang membawa roket pelontar granat.”
”Silakan menembak.”
Sejurus kemudian hujan peluru menimpa kerumunan orang itu tanpa ampun. Sebuah minivan yang berusaha menolong tidak luput dari sasaran. Akibatnya, 11 orang tewas dan dua bocah laki-laki yang menumpang minivan terluka parah. Dua di antara korban tewas adalah jurnalis foto Reuters, Namir Noor-Eldeen, 22 tahun, dan sopirnya, Saeed Chmagh, 40 tahun.
”Tentara Amerika terjebak dalam pertempuran setelah diserang dengan senjata otomatis dan roket,” demikian pernyataan resmi militer Amerika tentang kejadian itu.
Namun Reuters mengendus keganjilan penyerangan yang menewaskan dua anggota stafnya itu. Dua minggu setelah insiden, seorang wartawan Reuters diizinkan komandan batalion Amerika di Bagdad melihat rekaman video dari helikopter Apache. Baik rekaman maupun informasi yang diperoleh tidak boleh dipublikasikan.
Selama tiga tahun Reuters berusaha mencari akses dengan menggunakan Undang-Undang Kebebasan Informasi agar rekaman dibuka kepada publik. Namun upaya itu gagal. Tekanan dari sejumlah organisasi pers internasional juga tidak membuahkan hasil.
Rekaman audiovisual hitam-putih itu mungkin akan tetap tersimpan rapat di Pentagon jika sebuah situs, Wikileaks, tidak membongkarnya ke dunia maya. Bak film, video berdurasi 38 menit itu diberi judul Collateral Murder. Video ini telah diunduh dua juta kali di YouTube. Versi singkatnya dengan durasi 17 menit telah diputar ratusan kali di televisi.
Amerika dituding salah sasaran. Gambar video menunjukkan benda yang diduga roket pelontar granat ternyata kamera Canon EF 70-200mm dengan lensa tele milik Eldeen. Tidak satu pun korban membawa senapan otomatis. Jangankan aksi tembak-menembak, perlawanan balasan dari korban pun bahkan tidak tampak.
Rekaman penyerangan yang mirip permainan komputer ini membuat geger. Bagaimana sebuah situs independen berhasil menjebol arsip dokumen rahasia yang bertahun-tahun disembunyikan Pentagon?
Tiga bulan lalu, situs asal Swedia yang dimotori seorang hacker, Julian Assange, ini berkicau melalui jejaring sosial Twitter. ”Kami berhasil memecahkan enkripsi rekaman video penyerangan Amerika terhadap warga sipil di Irak,” tulis situs yang menyandang nama agen intelijen rakyat ini.
Assange mengatakan sebuah ”institusi” menawarkan bantuan memecahkan kode untuk menembus dokumen rahasia militer itu. Tapi dia menolak menjelaskan bagaimana kode rahasia bisa dibongkar. Rekaman itu kemudian diberikan kepada Wikileaks.
Setelah rekaman diperoleh, Wikileaks berkolaborasi dengan stasiun televisi Icelandic mengirim dua orang ke Bagdad. Dengan biaya US$ 54 ribu, keduanya diminta melakukan penyelidikan di lokasi penembakan.
Assange juga memverifikasi keaslian rekaman kepada sejumlah informan di Pentagon. Temuan ini membuat kalangan Pentagon saling tuding tentang ”orang dalam” yang menjadi sumber Assange. Belakangan pejabat resmi militer Amerika memastikan rekaman itu asli.
Situs yang hanya dikelola lima orang ini adalah surga para informan. Mirip dengan Wikipedia, setiap pengguna dapat mengirimkan informasi atau mengeditnya. Para pembocor informasi bisa mengirimkan dokumen secara anonim dan dijamin kerahasiaannya. Hampir seribu relawan juga sering dimintai bantuan memecahkan enkripsi kode rahasia.
Sulit memberangus situs yang dikelola PRQ, perusahaan asal Swedia, ini. Wikileaks memiliki situs bayangan sebagai duplikat. ”Server rahasia kami tersebar di beberapa negara dan menggunakan enkripsi yang canggih, sehingga sumber dan informasi penting terjamin kerahasiaannya,” kata Assange. ”Kami menjamin akurasi dan kesahihan dokumen,” ujar pendiri kelompok hacker bernama International Subversive di Australia ini.
Toh, Pentagon berdalih fotografer Reuters tidak memakai rompi atau tanda identitas lain yang menunjukkannya sebagai wartawan. Dari atas Apache, awak helikopter mengira kamera Eldeen adalah roket pelontar granat. ”Pasukan kami tidak menduga ada jurnalis yang bergabung dengan pasukan musuh,” kata Mayor Shawn Turner, juru bicara komando pusat militer Amerika.
Ninin Damayanti (Reuters, Times, NYTimes, Sydney Morning Herald, The Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo