Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Bahan Bakar Salak Busuk

12 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAK busuk jangan dibuang. Apalagi jika jumlahnya sampai berkeranjang-keranjang. Di tangan Daniel Agung dan timnya dari Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, sampah ini bisa diubah menjadi bahan bakar.

Daniel menggarap proyek ini sejak Maret tahun lalu. Idenya muncul ketika mereka menjalani kuliah kerja nyata di sentra kebun salak yang tersebar di Yogyakarta. Pada musim panen, begitu banyak buah busuk terbuang . Dari penelitian, mereka menyimpulkan, salak ternyata bisa menjadi bahan baku bioetanol.

Untuk membuat bahan bakar alternatif ini, daging salak busuk dilumatkan dengan mesin parut. Hasil parutan itu ditaburi ragi dan urea—dengan komposisi ragi tiga persen dari berat salak busuk dan urea satu persen. Urea mempercepat kerja bakteri dalam proses pembusukan. Setelah tujuh hari, hasil fermentasi ini diperas dengan kain karung tepung terigu. ”Gampang sekali melakukan proses ini,” kata Daniel.

Setiap 10 kilogram salak busuk akan menghasilkan air perasan yang disebut bir bioetanol sekitar 11 liter. Air keruh itu dimasak dalam panci hingga 78 derajat Celsius. Untuk mendapat tetesan pertama, kata Daniel, perlu waktu sekitar dua jam. Proses distilasi ini rampung sejam kemudian dan menghasilkan 1,5 liter bioetanol dengan kadar alkohol 70 persen.

Bioetanol itu diwadahi botol plastik yang diberi selang. Bahan bakar ini dialirkan ke kompor dengan cara disuntikkan layaknya infus—desain kompor yang dapat digunakan seperti kompor pompa penjual nasi goreng. Begitu pemantik dihidupkan, kompor menyala.

Untuk memasak air 250 mililiter hingga mendidih dalam dua menit, bioetanol yang terpakai 30 mililiter. Menurut Daniel, memasak dapat lebih cepat dan irit jika kadar alkoholnya ditingkatkan hingga 90 persen. Ini dapat diperoleh bila proses distilasi diulang. ”Pada kadar itu, bioetanol ini bisa dipakai sebagai pengganti bensin.”

Daniel dan timnya terus mengembangkan karya yang menyabet gelar juara tiga dalam Green Tech Competition di Institut Teknologi Bandung, dua pekan lalu. Di antaranya meneliti perbedaan jenis salak terhadap kadar alkohol dan menekan ongkos produksi. Saat ini perlu Rp 13 ribu buat menghasilkan 1,5 liter bioetanol—masih lebih mahal daripada bensin.

Diagram Alir Kompor

  1. Tabung distilasi, untuk menampung bir hasil fermentasi limbah salak
  2. Tabung pendingin, untuk menampung air sebagai pendingin dari uap hasil distilasi
  3. Tabung pemurnian, untuk memurnikan bir atau etanol menggunakan gamping
  4. Pipa distilasi
  5. Pemanas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus