Delapan belas negara Afrika terserempet dampak BCCI. Paling parah Kamerun, perekonomiannya setengah lumpuh. DITUTUPNYA Bank of Credit and Commerce International (BCCI) tak hanya mempengaruhi nasabah perseorangan. Di Afrika, kasus BCCI menyebabkan negara Kamerun setengah lumpuh. Soalnya, negeri yang di hari-hari pertama dalam Piala Dunia tahun lalu menggegerkan dunia karena kesebelasannya mengalahkan macan bola Argentina itu menyimpan lebih dari sepertiga cadangan devisanya di BCCI. Maka, kegiatan ekspor-impor Kamerun di pantai barat Afrika ini anjlok. Besar kemungkinan upah para buruh, gaji karyawan swasta dan pegawai negeri, terancam tak dibayarkan penuh pada bulan-bulan ini. Lebih celaka lagi, bantuan internasional dan program-program kemanusiaan, mulai dari bantuan dan program PBB sampai dari pemerintah AS, juga tertunda. Bukan karena PBB dan AS ingin mencelakakan Kamerun, melainkan karena dana itu telanjur berada di dalam lemari besi BCCI. Tengoklah pabrik minyak goreng di Kamerun bagian utara. Sejak bulan lalu pabrik ini berhenti beroperasi, menanti suku cadang senilai US$ 2 juta, yang tak bakal tiba. Dana pembeliannya disimpan di BCCI. Tak hanya buruh pabrik menganggur kini, melainkan juga buruh perkebunan palem, pemasok bahan baku untuk pabrik ini, pun tak lagi bisa bekerja. Lalu tengoklah pelabuhan Douala di Kamerun. Belakangan ini pelabuhan yang biasanya ramai itu hanya buka dua hari seminggu. Para pengusaha perkapalan terpukul dua kali. Richard Massot, misalnya, seorang eksekutif perkapalan yang sebagian kapalnya beroperasi di Kamerun, tak bisa bekerja karena uangnya ada di BCCI cabang Kamerun. Paling banyak ia, dalam waktu dekat ini, hanya bisa menerima kembali 10% dari simpanannya. Memang sejumlah itulah yang bisa dicairkan menurut peraturan setempat. Pukulan kedua, "Rekening pelanggan kami juga diblokir di BCCI. Itu berarti mereka tak dapat membayar kami," katanya. Suasana muram yang sama juga terjadi di sejumlah besar negara Afrika lain. Mulai dari Bostwana sampai Nigeria. Seperti diketahui, BCCI beroperasi di 18 negara di Benua Afrika ini. Dari 18 negara itu, bank internasional yang bermarkas besar di Luksemburg itu menjaring dana 11% dari keseluruhan asetnya yang US$ 20 milyar. Nigeria penyimpan dana terbesar, yakni US$ 584 juta. Disusul Kamerun US$ 200 juta, Zimbabwe 159 juta, dan Zambia 86 juta. Memang hanya Kamerun yang pemerintahannya terganggu karena, dari jumlah yang 200 juta dolar itu, sebagian besar uang pemerintah. Sebenarnya, masuknya BCCI ke Afrika pada akhir tahun 1970-an menjanjikan perkembangan ekonomi yang cerah. Afrika Barat khususnya, waktu itu mulai memproduksi minyak. Berdirinya BCCI di kawasan itu memperlancar transaksi pembayaran. Dengan cara operasinya yang tak terlalu birokratis, dan pelayanan transaksi yang cepat, BCCI cepat mendapat kepercayaan para nasabah Afrika. Bayangkan saja, bank lain membutuhkan waktu setidaknya sebulan untuk memberikan kredit pada pelanggan, tetapi bank internasional yang kini tutup ini hanya dalam beberapa hari sudah bisa mencairkan dana. Nasabah BCCI tak hanya perusahaan besar, tapi juga perseorangan yang uangnya pas-pasan. Cabang-cabang BCCI di Afrika biasanya sebagian sahamnya dimiliki oleh pemerintah setempat. Ini yang menyebabkan rakyat mempercayainya. Di Kamerun, misalnya, 35% saham BCCI di negara ini dipegang oleh pemerintah Kamerun. Selain itu, para eksekutif BCCI cabang Kamerun juga ditarik dari para pensiunan pejabat tinggi yang masih berpengaruh. Ini makin membuat rakyat mempercayainya. Selain itu, sebagian besar karyawan BCCI cabang adalah anak para pengusaha berpengaruh. Ini sebabnya, di Kamerun, 80% omzet ekspor lewat BCCI. Suatu hal yang makin memukul perekonomian Kamerun. Namun, berbeda dengan BCCI di negara-negara lain, karena adanya hubungan dengan pemerintah setempat, cabang-cabang bank tersebut di Afrika sampai kini masih buka, hanya tak membuka pelayanan seperti biasanya. Cabang-cabang hanya menghitung aset yang tinggal, dan melayani penarikan uang simpanan yang maksimum 10% itu. Maka, tak ada demonstrasi yang memprotes penutupan BCCI di Afrika. Yang ada hanya nasabah yang kecewa dan menggerendeng serta agak bingung. "Bank ini tampaknya berjalan mulus. Kami tidak mengerti bagaimana masalah-masalah di Barat juga menjadi masalah kami," ujar Massot, seorang nasabah di Douala Kamerun. Farida Sandjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini