TERIMA kasih Tuhan," kata Presiden Ronald Reagan, menyambut
hasil pemungutan suara di Senat. Sidang yang dihadiri 100
senator itu menyetujui rencana penjualan peralatan militer, 62
pesawat tempur F-15 Eagle dan lima pesawat Airborne Warning and
Control System (AWACS) kepada Arab Saudi. Reagan -- yang.
mengikuti sidang dari Ruang Oval, Gedung Putih--mendapat
dukungan 52 suara. Sedang 48 menentang rencana Presiden Amerika
Serikat itu yang sangat kontroversial.
Reagan memang patut bersyukur. Sebelum sidang terakhir Senat, 28
Oktober sore, kebijaksanaan luar negerinya-menjual perlengkapan
perai seharga US$ 8,5 milyar kepada Arab Saudi-masih terancam.
Sebab 52 suara menentang, 46 setuju dan 2 blanko. Staf Gedung
Putih kemudian melakukan lobby secara luar biasa dengan para
senator. Satu hari menjelang pemungutan suara lima senator, yang
semula menentang ataupun ragu-ragu, berhasil diyakinkan Reagan
untuk memihak padanya. "Presiden telah melakukan kerja yang luar
biasa," kata Senator Howard Baker, pemimpin mayoritas (Republik)
di Senat.
Arab Saudi memesan peralatan militer mutakhir dari AS sejak
zaman Presiden Jimmy Carter -- pendahulu Reagan. Tapi berkat
permainan Lobi Yahudi, pimpinan Rabi Alexander Schindler, dan
desakan Perdana Menteri Israel Menachem Begin, persetujuan
Kongres AS tak gampang diperoleh. Reagan yang belajar dari
pengalaman Carter dalam saat terakhir terpaksa mengancam "tangan
asing" (maksudnya: Israel) agar tidak mencampuri masalah dalam
negeri AS. Ia berhasil.
Reagan telah mempertaruhkan segalanya dalam mendapatkan dukungan
Senat itu. Semua House of Representatives memutuskan menolaknya.
Jika Senat menolaknya pula, kredibilitas Reagan di luar negeri
akan jatuh. Apalagi Inggris sudah menawarkan pesawat radar
Nimrod kepada Saudi. Sekaran ensi Reaan terangkat kembali.
Di Riyadh, ibukota Saudi, massa turun ke jalan menyambut
keputusan final Senat AS itu. "Allahu Akbar. Allahu Akbar,"
pekik mereka. Menurut Menteri Pertahanan 'Pangeran Sultan bin
Abdul Aziz, Saudi sudah lama menunggu keputusan itu dengan hati
berdebar. Tahun 1985, saat pengiriman AWACS, Saudi akan memiliki
perlengkapan perang paling mutakhir di Timur Tengah.
Di Jerusalem, ibukota Israel, sambutan sebaliknya. PM Begin
menyebut perlengkapan militer mutakhir untuk Saudi itu akan
mengancam keamanan Israel.
Israel khawatir kalau hasil pengamatan AWACS nanti disampaikan
kepada Jordania, yang diduga akan meneruskannya pula kepada
Irak, yang selalu ramai dengan Israel. "Israel tidak usah cemas
mengenai itu," kata Reagan.
Israel memang tak perlu cemas berle bihan. Dalam suramya kepada
Senat Reagan menyebutkan bahwa AS akar ikut dalam setiap operasi
AWACS yang dibeli Saudi sampai tahun 1990-an. "Pemerintah Saudi
sudah setuju," ujar Reagan.
Pembatasan lain menyangkut penjualan AWACS, bertujuan
menenteramkan Israel, adalah:
* AS diberi hak mengawasi semua peralatan AWACS.
* Pengaturan pengamanan akan melibatkan tenaga AS.
* Saudi harus berjanji tidak akan membiarkan pihak ketiga
melakukan pemeliharaan atau mengadakan perubahan apapun
menyangkut AWACS atau mendapat keterangan dari semua informasi
yang dikumpulkan pesawat radar mutakhir itu.
* Semua peralatan komputer AWACS akan tetap menjadi milik AS.
* AS berhak memperoleh semua informasi yang dikumpulkan AWACS.
* Kelima pesawat AWACS itu diperbolehkan beroperasi di wilayah
Saudi saja.
Ternyata Lolos
Dulu sebagian syarat di atas ditolak Saudi. Namun Saudi
membutuhkan AWACS "untuk melindungi wilayahnya, terutama
ladang-ladang minyak, dari kemungkinan serangan musuh
tiba-tiba," kata seorang pejabat Departemen Pertahanan AS. Waktu
perang Irak-Iran meletus, September 1980, AS memirjamkan empat
pesawat AWACS kepada Saudi guna memonitor perkembangan di negeri
tetangganya itu demi keamanan dalam negeri.
Israel punya pandangan berbeda. Musuh Saudi, menurut mereka,
bukan dari luar, tapi justru dari dalam negeri sendiri.
Pendapat lain, dan lebih masuk akal, adalah bahwa Saudi membeli
AWACS cuma untuk membuktikan sejauh mana AS bisa dipegang dan
dijadikan sahabat. Ternyata AS "lolos" dari ujian itu.
Pengiriman paket US$8,5 milyar tersebut masih menunggu empat
tahun lagi. Pesawat AWACS yang dibuat perusahaan Boeing itu
berharga US$ 127 juta per buah. Radarnya punya kemampuan luar
biasa, dapat mendeteksi ancaman udara dari radius 320 km dan
ketinggian 9 km, dibanding dengan radar darat cuma sampai
kejauhan 3Z km. Mampu pula AWACS bertahan di udara selama 10
sampai 12 jam tanpa pesawat mengisi bahan bakar. Yang tak bisa
ditangkapnya cuma gerakan tank.
Jumlah personil AS akan bertambah di Saudi guna mempersiapkan
pembangunan jalan, pangkalan, dan sarana militer lainnya yang
diperlukan untuk pesawat tempur F-15 Eagle dan pesawat AWACS.
Sudah ada di Saudi sekitar 45. 000 warga AS--2.000 di antaranya
personil militer. Segera akan tiba 500 lagi teknisi AS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini