Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Meskipun kasus Covid-19 di Amerika Serikat (AS) berada di titik terendah, ancaman baru muncul. Hadirnya subvarian baru virus corona dapat membalik tren tersebut, terutama menjelang musim panas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa virus baru tersebut?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, subvarian dari SARS-CoV-2 bernama KP.2 (disebut FLiRT) kini menjadi varian dominan di AS seperti dilansir dari CNN internasional.
Subvarian FLiRT merupakan cabang dari varian JN.1, yang keduanya termasuk dalam keluarga Omicron dan menyebabkan gelombang kasus musim dingin lalu. Nama FLiRT sendiri merujuk pada lokasi mutasi asam amino yang dimiliki virus, beberapa di antaranya membantu menghindari respons imun tubuh dan meningkatkan penularan.
"Varian COVID-19 terus bermutasi dengan mengumpulkan mutasi yang dapat menyebabkan dua hal: antibodi hasil vaksinasi atau infeksi tidak lagi bisa mengikat virus (disebut escape immunity) atau meningkatkan kemampuan virus untuk mengikat sel," ujar Dr. Andy Pekosz, ahli virus dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health.
Data per 11 Mei menunjukkan varian ini menyebabkan lebih dari seperempat kasus di AS, hampir dua kali lipat dari subvarian JN.1.
Ini menjadi pola umum dalam evolusi virus corona. Namun, para ahli belum bisa memprediksi dengan pasti potensi kemunculan mutasi selanjutnya dan dampaknya terhadap penyebaran virus.
Selain itu, mutasi pada subvarian FLiRT meningkatkan potensi penularan sehingga berpotensi memicu gelombang kasus baru pada musim panas 2024. Covid-19 memang menunjukkan pola musiman dengan peningkatan kasus di musim panas pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi tingkat risiko pasti untuk tahun ini masih belum jelas.
"Kita pernah memiliki varian yang awalnya kuat tapi tidak menjadi dominan. Subvarian ini bisa jadi semakin dominan hingga mencapai 20 persen sampai 40 persen kasus, atau bisa juga berhenti sampai di situ. Kita lihat saja nanti," ujar Dr. William Schaffner, pakar penyakit menular dari Vanderbilt University.
Pengawasan berkurang, kondisi di AS kian rentan
Pengawasan kasus Covid-19 berkurang secara signifikan sejak keadaan darurat kesehatan masyarakat AS berakhir setahun lalu. Namun, data yang tersedia menunjukkan tren yang konsisten.
"Dari hasil laboratorium, subvarian FLiRT sejauh ini tampaknya sama menularnya dengan subvarian Omicron lainnya yang artinya sangat menular. Namun, subvarian ini tampaknya tidak menyebabkan penyakit yang lebih parah atau gejala klinis yang berbeda," kata Dr. Schaffner.
Per 1 Mei, rumah sakit tidak lagi diwajibkan melaporkan data Covid-19 ke pemerintah federal. Meski demikian,Vanderbilt University Medical Center tempat Dr Schaffner bekerja, tetap menjadi bagian dari jaringan pengawasan CDC yang memantau tren berdasarkan sampel rumah sakit yang mencakup sekitar 10 persen populasi AS.
Data menunjukkan tingkat rawat inap Covid-19 turun dari hampir 8 kasus baru per 100.000 orang pada minggu pertama tahun ini menjadi sekitar 1 kasus baru per 100.000 orang pada akhir April 2024
Potensi peningkatan kasus pada musim gugur
Para ahli lebih khawatir dengan potensi peningkatan kasus di musim gugur, meskipun subvarian FLiRT menimbulkan risiko di musim panas.
"Jika harus memprediksi, saya perkirakan akan ada sedikit peningkatan kasus tambahan, gelombang kecil di musim panas ini. Namun, yang terpenting adalah varian apa yang akan ada saat kita memasuki musim gugur," kata dr Andy Pekosz, seorang ahli virus di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, dikutip dari laman CNN.
Cuaca yang lebih dingin di musim gugur dan musim dingin, serta kebiasaan orang-orang yang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan, disebut sebagai faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan.
Empat tahun yang lalu, tepatnya pada 2 Maret 2020, Covid-19 pertama kali diumumkan di Indonesia. Pada saat yang sama, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengumumkan bahwa Covid-19 telah menjadi pandemi global.
Menurut data WHO, Covid-19 telah menyebabkan kematian sebanyak 6.991.842 jiwa di seluruh dunia. Di Indonesia, setidaknya 151,92 ribu orang telah meninggal akibat virus Covid-19, menjadikan Indonesia berada di urutan kedua tertinggi di Asia dalam hal jumlah kematian.
MICHELLE GABRIELA | CNN | ANANDA BINTANG | ADINDA ALYA IZDIHAR