UNTUK memenangkan perang melawan Irak, pemerintah Iran tampaknya mampu melakukan apa saja, termasuk membeli senjata dari Israel dan belakangan dari Amerika Serikat. Memang, dua tahun silam Teheran dengan tegar membantah adanya bisnis rahasia dengan Israel, tapi sekarang agak sukar bagi mereka untuk mengelak. Soalnya, FBI (Biro Penyelidik Federal) AS bukan saja berhasil membekuk Letkol Wayne G. Gillespie dari Komando Rudal Angkatan Darat AS tapi juga seorang warga Iran bernama Amir Hosseni. Dia ini pejabat yang diberi kepercayaan penuh untuk mengurus pembelian senjata, bekerja sama dengan dua warga AS lainnya dan sepasang suami istri Libanon yang kaya raya. Menurut Departemen Kehakiman AS, penangkapan itu adalah yang ke-17 kalinya dilakukan - sejak 1981 - terhadap usaha penjualan senjata ke Iran. Dari laporan FBI diketahui bahwa komplotan Gillespie - Hosseni bermaksud menyelundupkan 1.140 rudal Tow antitank seharga US$ 9,12 juta berikut perlengkapan militer lainnya. Tapi persis pada detik-detik menjelang pengiriman lewat udara, agen FBI yang ditugasi menggarap bisnis rahasia ini menggagalkannya. Bulan lalu, tujuh warga AS telah pula ditangkap - tiga di antaranya pejabat angkatan laut - dengan tuduhan mencuri suku cadang jet tempur F-14 untuh kemudian dijual ke Iran. Dari laporan FBI bisa diketahui bahwa Iran gencar sekali memborong senjata. Amir Hosseni menyodorkan daftar pembelian seluruhnya bernilai US$ 75 juta - yang mencakup aneka ragam suku cadang jet tempur F-14, berbagai peralatan militer, rudal Tow, dan kalau mungkin sejumlah rudal Exocet buatan Prancis. Tapi kebutuhan Iran tidak cuma itu. Tahun lalu, dari delapan kasus penyelundupan senjata ke Iran, dipergoki sejumlah besar rudal, komponen radar, serta pesawat tempur dan suku cadangnya. Para pejabat AS memang tidak membantah arus besar senjata dan suku cadangnya ke luar negeri, sementara pada saat yang sama Iran mengaku memperoleh komoditi itu dari Pakistan. Adapun rencana Gillespie-Hosseni sudah dirintis sejak Maret 1985 oleh seorang bernama Charles St. Clair, warga AS yang bermukim di California. Ia menyodorkan daftar panjang senjata yang akan dibeli pada seorang agen pasar gelap. Senjata itu mesti dikapalkan ke Iran lewat Eropa atau Afrika Utara. Termasuk dalam daftar itu: 10 mesin untuk jet tempur F-14, 50 mesin diesel, dan berbagai tipe rudal - di antaranya 5.000 rudal Tow antitank. Dasar licin, St. Clair berhasil meloloskan diri, tapi yang lain bisa diamankan. Paul Sjeklocha, 47, seorang penulis ahli bidang teknologi militer, misalnya, mengaku terlibat jual-beli senjata dengan Iran dalam dua tahun terakhir ini. Keuntungan bersih yang diraihnya bisa 200% bahkan 300%. Ia melibatkan seorang warga AS lainnya, George Naranchi, 54, pedagang Libanon, Fadel, 54, beserta istrinya Farhin Sanai, 52. Adapun Letkol Gillespie hanya bertugas memeriksa kualitas rudal-rudal tersebut. Berusia 46 tahun, perwira menengah yang pernah bertugas untuk Pentagon itu kabarnya akan pensiun akhir tahun ini. Maksudnya, akan terjun langsung dalam perdagangan senjata internasional karena "mau cari uang", begitu bunyi laporan FBI. Ia tahu bahwa penyelundupan senjata dikenai hukuman penjara paling tinggi 5 tahun berikut denda US$ 10.000. Namun, bagi Gillespie, yang lebih menarik tentulah tawaran Hosseni. Pejabat Iran ini dengan sombong berkata, "Uang tidak jadi masalah." Yang paling mustahak adalah senjata, karena inilah yang menentukan kemenangan dalam perang Iran-Irak. Keterangan ini diperkuat Jeffrey Modisett, dari kantor kejaksaan Los Angeles. Pernah menangani beberapa kasus penyelundupan senjata ke Iran, ia berani menyimpulkan bahwa usaha Iran memborong senjata sudah terbentang lebar bagaikan "jaring laba-laba". Dalam jaring itu biasanya beraksi seorang Iran atau orang asing yang punya hubungan dengan seorang warga Iran. Satu aturan main yang mesti dipatuhi ialah bahwa dalam praktek perdagangan gelap itu yang bertindak sebagai pembeli tetaplah seorang warga AS. Orang ini kemudian yang mengatur pengiriman ke Iran. Tidak jarang Iran mengalami kerugian besar, terutama karena pedagang gelap sering tidak memenuhi janji. Tapi dalam soal senjata, Teheran rupanya tidak punya pilihan lain. Embargo senjata yang dikenakan AS terhadap Iran sejak penyanderaan kedutaan AS di Teheran pada 1979 telah membuat artileri dan armada udaranya lumpuh sebagian. Karena itu pula, Iran tidak berdaya menembus pertahanan Irak, dan serangan fajar tiap kali gagal di front Basra. Taktik serangan masal yang dilancarkan Iran tanpa perlindungan artileri akhirnya dihentikan. Taktik ini mengundang protes keras, bahkan dari kalangan ulama. Menghadapi kebuntuan seperti sekarang, Iran rupanya bersiteguh meneruskan perang tanpa peduli pada imbauan damai dari Irak. Untuk membayar "kesombongan" ini, Iran tak sayang menghamburkan 40% hasil penjualan minyaknya hanya untuk senjata. Isma Sawitri Laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini