KRISIS, itulah kata paling tepat untuk Singapura kini. Pernah mencatat laju pertumbuhan ekonomi 10%, sekarang negeri ini tersandung pada 0%. Wakil PM I Goh Chok Tong khawatir kalau-kalau keadaan jadi lebih parah dari itu. Berbicara di hadapan mahasiswa, akhir pekan lalu, Goh mengibaratkan kemerosotan ekonomi sebagai pengalaman mengerikan. "Jika payung kita tidak terbuka pada waktunya, akan terjadi pendaratan darurat," katanya terus terang. "Karena itu, kita memerlukan seorang dokter, atau seorang penggali kubur." Seburuk itukah? Tampaknya demikian, kalau dilihat dari kaca mata warga Singapura yang biasa hidup berkecukupan selama 20 tahun. Sebelumnya Singapura boleh bangga sebagai negeri dengan tingkat hidup kedua tertinggi di Asia, sesudah Jepang kini kebanggaan itu bertukar dengan kecemasan. Goh, misalnya, bicara tentang pengangguran. Brigjen Lee Hsien Loong mengajukan apa yang disebut sebagai paket penyelamatan. Dengan bobot 450 juta dolar Singapura, paket yang ditawarkan Menteri Negara Perdagangan & Industri itu akan dimanfaatkan untuk meringankan beban pengusaha, terutama yang bergerak di bidang pembangunan dan penyewaan gedung, komunikasi dan pelabuhan. Pemerintah dalam dua tahun mendatang akan berusaha sekuatnya menggalakkan sektor perbankan dan keuangan sambil mencoba mempertahankan industri sebagai tulang punggung ekonomi. Tapi Brigjen Lee tetap merasa perlu mendramatisasikan nasib rakyat Singapura. "Tahun-tahun mendatang akan suram dan kejam," katanya mengingatkan. Dia agaknya lupa, sejak dua tiga bulan silam, kesuraman sudah menghamparkan bayang-bayangnya di atas Singapura. Banyak toko gulung tikar, hotel-hotel yang menjulang tampak lengang. Lalu, tiap hari sedikitnya tiga perusahaan pailit. Itu yang kelihatan di pusat kota, sekitar Orchard Road misalnya. Tapi kelesuan yang sama parahnya juga melanda pinggiran, khususnya di sektor industri. Kilang minyak, galangan kapal, pabrik ini pabrik itu, semua berlomba merumahkan buruh mereka. "Saya ngeri, bukan pekerjaan yang mengejar Anda, sebaliknya Anda mengejar pekerjaan," kata Goh prihatin. Memang itulah yang terjadi, hari demi hari. Kilang minyak tidak lagi bekerja dalam kapasitas penuh karena Indonesia, misalnya, sudah punya hydrocracker sendiri. Perusahaan General Electric memecat 1.300 buruh akhir Juli berselang, tak lain karena permintaan alat-alat elektronik dari AS jauh berkurang. Dengan ini berarti dalam lima bulan terakhir sudah 2.700 buruhnya disilakan istirahat. Sekalipun begitu, perusahaan kedua terbesar di negara pulau itu masih saja mempekerjakan 7.000 buruh. Akibat suasana lesu itu, penduduh yang biasa sibuk kini seperti diempaskan mimpi buruk. Apa yang salah dengan Singapura? Masalahnya pulau ini tidak punya sumber alam jadi sejak mula ia sepenuhnya bergantung pada bisnis jasa dan perdagangan. Karena resesi ekonomi dunia, permintaan pada jasa dengan sendirinya berkurang Manakala harga-harga barang di sana terus menanjak, Singapura pun bagi turis semakin kehilangan daya pikat. Tidak ada lagi yang bisa ditawarkan kota itu. Lalu tiba saatnya ketika pengunjung dari Indonesia menyusut jumlahnya, gara-gara bea fiskal Rp 150.000 per orang. Ironisnya lagi, jumlah hotel semakin banyak sedangkan jumlah turis kian sedikit. Sekarang, untuk memikat pelancong, tiap hotel rata-rata menurunkan tarifnya sampai 50%. Dan ini masih dilengkapi berbagai kemudahan, untuk berobat, berbelanja dan banyak lagi. Para pengamat ekonomi menyimpulkan, kesulitan ekonomi Singapura disebabkan oleh kesalahan negara itu sendiri. Singapura dikatakan terlalu cepat mengejar kemajuan hingga tergelincir pada kesulitan. Kebijaksanaan upah tinggi dan tabungan wajib yang diberlakukan pemerintahan Lee Kuan Yew pada 1979 telah membawa harta dan juga bencana. Dengan 25% upah yang ditabungkan, dana yang terkumpul (CPF) membesar lebih dari dua kali lipat selama enam tahun. Ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang menguntungkan bagi dunia usaha seraya menarik penanaman modal yang mengutamakan teknologi tinggi. Memang program pembangunan ekonomi Singapura terarah ke sana. Malangnya, teknologi tinggi itu belum sempat tumbuh, industri yang menyerap tenaga kerja justru gulung tikar atau melompat ke negara lain. Mengapa? Mereka tidak sanggup membayar upah tinggi. Profesor Lim Chin berkomentari "Tak seorang pun yang tidak menginginkan gaji tinggi. Tapi gaji tinggi semestinya adalah hasil dari penimbunan harta, bukan sumber yang mendatangkan harta." Menurut Chin, ketetapan gaji tinggi yang diberlakukan pemerintah samalah halnya seperti memasang kereta di depan kuda. Singkatnya, kebijaksanaan itu merugikan. Di pihak lain, Dr. Chng Meng Kng mengingatkan agar Singapura tidak terlalu mengandalkan teknologi tinggi yang dalam prakteknya terlalu peka. Dia menganjurkan industri yang tumbuhnya bertahap tapi lebih mantap. Apa pun pendapat orang, Brigjen Lee menegaskan akhir pekan lalu bahwa Singapura tidak akan menata kembali ekonominya. Diakui olehnya ekonomi negeri itu menghadapi masalah struktural, tapi "kita bagaikan orang main trapeze, tak mungkin berhenti di ketinggian, kita mesti terus". Negeri itu, misalnya, tetap bertahan pada program teknologi tinggi yang erat kaitannya dengan usul amendemen konstitusi PM Lee Kuan Yew ke parlemen, akhir Juli. Dalam amendemen itu akan dijamin hak presiden untuk melindungi dana cadangan negara. Buat apa? Kabarnya, PM Lee sendiri akan menjadi presiden hingga terbuka peluang baginya untuk mengamankan dana cadangan negara yang jumlahnya cukup besar juga. Agaknya ia sangat khawatir akan nasib Singapura. I.S. Laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini