Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Detik-detik terakhir bagi PLO?

Israel menyerbu libanon untuk mengusir PLO & pasukan suriah yasser arafat pemimpin PLO dan profilnya. kekalahan PLO dalam pertempuran antar arab. (ln)

10 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SINAR jingga berpijar-pijar di angkasa, menyorot kamp-kamp pengungsi Palestina yang senyap dan gelap di Beirut Barat. Di atas medan yang terkepung ini Israel melancarkan perang urat saraf, dengan penembakan bom-bom suar pekan silam. Sementara gencatan senjata masih berlangsung kesibukan di sektor diplomasi belum juga membuahkan hasil nyata. Terakhir diberitakan hari Ahad, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat telah menanda tangani rencana terperinci pemindahan pasukannya dari Beirut Barat, tempat mereka kini tersekap. Namun pada hari yang sama, kabinet Israel menolak telak rencana "cetak biru" itu, khususnya butir yang menyangkut "kehadiran militer PLO yang simbolis di Libanon" di samping "kehadiran sosial dan politik PLO" di Beirut. Israel yang semakin lama semakin tidak sabar, rupanya jadi peka sekali dengan istilah "kehadiran PLO" itu. Dan Tel Aviv pun serta-merta menandaskan bahwa seluruh gerilyawan Palestina yang dituding mereka sebagai "teroris" tanpa kecuali harus angkat kaki dari bumi Libanon. Juga dalam semangat yang tidak bisa ditawar-tawar, Israel sehari sebelumnya menggerakkan kendaraan lapis baja mereka ke pintu masuk Beirut Barat. Gerakan itu sedemikian rupa ketatnya, mirip usaha mengunci dengan kepitan-kepitan baja Tidak sak lagi, detik-detik terakhir yang menentukan bagi PLO tiba. Sambil menjepit, Israel menekan lewat pengeboman atas kubu PLO yang tersisa di Beirut Selatan seraya menyapu pertahanan terkuat PLO di Beirut Barat dengan tembakan artileri. Gencar sekali. Sejak Sabtu, aliran listrik dan air ke medan yang terkepung itu pun diputus oleh Israel, hingga kawasan tersebut gelap gulita. Beirut Timur sementara itu, bukan saja tenang, tapi juga tetap terang benderang. Memang, segala upaya dikerahkan Israel supaya urusan PLO bisa cepat selesai. Tapi terbukti perang Israel tahun 1982 ini berlarut lebih lama daripada yang diharapkan, bahkan jadi seperti "tidak berketentuan". Sedangkan PLO yang sekarat masih berusaha "mengulur-ulur" waktu, begitu tuduhan Israel ke alamat pihak lawan. Sekarang, korban semakin banyak berjatuhan (diperkirakan 10.000 penduduk Libanon dan PLO plus 270 tentara Israel tewas). Sudah tidak mungkin bagi Israel untuk mengundurkan diri baik-baik dari Libanon, seperti yang diusulkan negara-negara Arab, tanpa satu hasil yang jelas. Sejak mula Begin menandaskan, sasaran penyerbuan Israel ialah "menciptakan zona bebas militer sejauh 25 mil dari perbatasan utara Israel. Tapi seminggu kemudian, sesudah barisan tank Israel melaju ke Beirut, batas itu melar jadi 30 mil (lebih kurang 48 km). Ini saja rupanya tidak cukup. Masih dicantolkan embel-embel baru yaitu "perlucutan senjata PLO", satu tuntutan yang dalam pandangan PLO sangat menghinakan mereka. Arafat pun waktu itu menghunus semangat "Biar Beirut jadi Stalingrad untuk orang-orang Arab ! " Tapi keadaan amat cepat berubah, terutama sejak tentara Israel menduduki sebagian Beirut. Ariel Sharon arsitek perang yang sedang berjaya itu, dalam satu wawancara televisi pekah silam tanpa ragu mengancam, "Selagi ada markas teroris di Beirut, maka tugas Kesatuan Pertahanan Israel masih belum tuntas." Melaksanakan tugas sampai tuntas ternyata tidak mudah. Kemenangan militer Israel -- kalau bisa dikatakan demikian -- seakan sudah tergenggam di tangan. Seorang perwira tingginya bahkan tak sabar berkata, "Kita harus melakukan sesuatu." Tapi "sesuatu" itu masih teka-teki. Semestinya Israel sejak dua pekan silam sudah dapat menghajar PLO habis-habisan dan memaksa lawan mereka bertekuk lutut. Tapi ini hanya mungkin dengan satu penyerbuan besar ke Beirut Barat. Dan penyerbuan begitu sama artinya dengan pembantaian 500. 000 penduduk sipil Libanon yang terkurung bersama 6.000 gerilyawan PLO. Ditinjau dari sudut pandangan dunia beradab, tindakan itu amat terkutuk. Dan bisa menjerumuskan, bukan saja PLO tapi juga Israel. Bersamaan dengan itu bukan tidak mungkin perang meluas, melibatkan Suriah -- yang berada di Libanon bukan untuk membantu PLO tapi untuk mengamankan kepentingan sendiri -- dan selanjutnya bisa memancing campur tangan Uni Soviet. Sampai pada tingkat ini, solidaritas Arab yang kini cerai-berai justru akan bangkit kembali. TAPI pada tahap sekarang, Begin dkk masih bertekad merengkuh hasil semaksimal mungkin. Apalagi perang yang mereka ciptakan itu sudah menelan biaya sekitar US$750 juta dan bisa mempercepat laju inflasi Israel sampai 13 3%. Maka ke dalam hasil maksimal itu, di samping perlucutan senjata PLO, juga tercantum niat "suci" Israel mengutuhkan dan menegakkan Libanon kembali dari kejatuhannya. Sebuah Libanon yang stabil jelas bisa jadi tetangga andalan bagi Israel. Dan ini akan memudahkan usaha. Menteri Pertahanan Sharon untuk kemudian mendorong Suriah keluar dari Lembah Bekaa. Sebelum gencatan senjata terpisah dengan Israel, Suriah sudah kehilangan 29 MiG berikut 80 tank dan kendaraan lapis baja. Sekarang, bila ditinjau gempuran Israel terhadap posisi Suriah di perbukitan selatan Beirut, kuat dugaan sasaran Sharon bukannya berpindah tapi bercabang ke dua arah. Pertama, Beirut Barat. Kedua, mematahkan pertahanan Suriah dari Aley sampai ke Dahr el Baidar, tidak jauh dari Bekaa. Pada akhir pekan lalu, Israel berhasil menguasai jalan raya Beirut-Baidar, bahkan memukul mundur pasukan Suriah sampai dekat perbatasan Libanon-Suriah. Dengan ini medan perang sudah semakin bersih untuk anak buah Jenderal Eitan. Sebaliknya di medan diplomasi masih banyak ranjau terpasang. Langkah pertama, tentu saja, mengikut-sertakan Libanon. Berkat prakarsa Philip Habib, duta khusus AS untuk Timur Tengah, Presiden Libanon Elias Sarkis berhasil mempertemukan 7 anggota Komite Penyelamat Nasional Libanon, yang mewakili berbagai unsur masyarakat negeri itu. Prakarsa Habib yang rapuh itu terancam gagal ketika Wallid Jumblatt (sekutu PLO, wakil sekte Druze dan unsur kiri Muslim Libanon) mengundurkan diri, padahal perundingan untuk pembentukan pemerintah koalisi dan pengunduran Israel baru akan dimulai. Dengan muslihat Habib, Jumblatt kemudian batal mengundurkan diri, namun di Istana Baabda, dia sempat menuding Sarkis dan PM Shafik Wazzan sebagai utusan Israel yang menuntut "penyerahan PLO". "Mengapa kita tidak mengundang Sharon ke sini dan berusaha menghemat waktu?" katanya geram. Sikap Jumblatt bisa dimaklumi. Perundingan perdamaian yang menentukan nasib PLO dan masa depan Libanon terselenggara lewat mekanisme rumit, sementara semua pihak yang berkepentingan -- karena tidak adanya hubungan diplomatik -- tidak mungkin langsung berhadapan muka. Ini bukan saja makan banyak waktu, tapi juga menimbulkan banyak salah paham. Philip habib yang tampil sebagai penengah dari AS menjadi penghubung untuk Israel, sedangkan PM Libanon Shafik Wazzan, seorang Muslim Sunni menjadi penghubung terpercaya untuk Arafat. Dalam pada itu kepentingan Libanon disuarakan oleh Presiden Elias Sarkis, Wallid Jumblatt dan Bashir Gemayel, pemimpin Kristen Falangis yang pasukannya teramat potensial dalam percaturan politik dalam negeri Libanon belakangan ini. Beberapa usul perdamaian sedikitnya tiga kali gagal di tengah jalan, karena saluran ke pihak masing-masing dan sekutunya, seperti AS dan Arab Saudi ricuh dan tidak rapi. Sementara itu kedua pihak, Israel dan PLO begitu mudah tolak-menolak usul, hingga mengakibatkan kelesuan di meja perundingan. Israel, tentu saja, lebih punya posisi yang menguntungkan. Dengan catatan, bahwa faktor AS harus diperhitungkan. Tanpa Haig sebagai menteri luar negeri, Israel tak punya pembela di dekat Presiden Reagan. Presiden AS itu sendiri pekan lalu menegaskan bahwa AS tak memberi restu invasi Israel ke Libanon. Dan bahkan di kalangan Yahudi di AS kini timbul kecaman ke arah cara-cara Begin. Di dalam negeri mereka sendiri, serangan ke Libanon menguras ketahanan moral bangsa Israel. Kemenangan militer pada akhirnya tidak membahagiakan mereka. Meningkatnya jumlah tentara Israel yang tewas menebarkan mendung yang tebal di hati para ibu. Dan mereka melancarkan protes. Warga Israel yang lain akhir-akhir ini mulai mempertanyakan apakah serangan yang diperpanjang ke Libanon itu bisa memberi harga yang setimpal untuk kerugian yang mereka derita. Rasa tidak puas mencapai puncaknya dalam demonstrasi oleh Gerakan Damai Sekarang. Sebanyak 50.000 warga Israel yang antiperang hari Ahad menuntut penghentian perang Libanon, perdamaian dengan Palestira dan pengunduran diri PM Menachem Begin. Libanon sendiri menyaksikan seorang pemimpin muda Bashir Gemayel, tokoh Falangis, yang semula merupakan kuda Troya dalam penyerbuan Israel. Dia belakangan ini membuktikan bahwa dia bukanlah anak bawang Menachem Begin. Benar bahwa pasukan Kristen Falangis yang dipimpinnya mengenakan seragam hijau dan memanggul senjata "pinjaman Israel", namun pekan lalu dia terbang ke Taif untuk memenuhi undangan Menlu Arab Saudi Pangeran Saud Al-Faisal. Sekjen Liga Arab Chedli Klibi menaruh harapan pada Gemayel yang di matanya nampak berkemampuan untuk mendekatkan hubungan Palestina Libanon. Sementara itu Wallid Jumblatt di hadapan wartawan memuji orang muda itu. "Gemayel punya perhitungan politik jangka panjang," katanya pekan silam. "Dia tidak semata-mata membantu Israel, tapi dia memainkan kartu lain, kartu kepresidenan." Keesokan harinya Gemayel memang mengumumkan pencalonan dirinya dalam pemilihan September mendatang. Mungkin masih terlalu dini meramalkan kebangkitan Libanon Baru bersama Gemayel-nya. Tapi Prof. Yehoshafat Harkabi, ahli tentang PLO, dalam wawancara wartawan The Jerusalem Post David Bernstein, telah meramalkan bahwa PLO, sesudah lewat masa penumpasan di Libanon, akan kembali pada bentuknya yang asli sebagai kelompok gerilya dan teroris. Harkabi benar setidaknya dalam satu hal, bahwa sebagai lembaga, PLO harus punya basis. Demi kelangsungan hidupnya. Tanpa teritori, kekuatan sebuah organisasi bersenjata tidak akan banyak artinya. Untuk basis semacam itu pula, Arafat berkutat sampai detik terakhir di Beirut Barat. Sampai Selasa pagi pekan ini dunia masih menunggu apa yang selanjutnya akan dilakukan Israel. Yang pasti dunia umumnya tak mudah dikelabuinya lagi: serbuannya ke Libanon, yang sudah ia siapkan sejak lama, berdalih membalas tertembaknya Dutabesarnya di London, Argov. Sementara beberapa ribu orang mati dan anak-anak cacat karena "pembalasan" itu, keadaan Dubes Argov sendiri membaik di Rumah Sakit Nasional Penyakit Saraf di London.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus