SINAR jingga berpijar-pijar di angkasa, menyorot kamp-kamp
pengungsi Palestina yang senyap dan gelap di Beirut Barat. Di
atas medan yang terkepung ini Israel melancarkan perang urat
saraf, dengan penembakan bom-bom suar pekan silam.
Sementara gencatan senjata masih berlangsung kesibukan di sektor
diplomasi belum juga membuahkan hasil nyata. Terakhir
diberitakan hari Ahad, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina
(PLO) Yasser Arafat telah menanda tangani rencana terperinci
pemindahan pasukannya dari Beirut Barat, tempat mereka kini
tersekap. Namun pada hari yang sama, kabinet Israel menolak
telak rencana "cetak biru" itu, khususnya butir yang menyangkut
"kehadiran militer PLO yang simbolis di Libanon" di samping
"kehadiran sosial dan politik PLO" di Beirut.
Israel yang semakin lama semakin tidak sabar, rupanya jadi peka
sekali dengan istilah "kehadiran PLO" itu. Dan Tel Aviv pun
serta-merta menandaskan bahwa seluruh gerilyawan Palestina yang
dituding mereka sebagai "teroris" tanpa kecuali harus angkat
kaki dari bumi Libanon.
Juga dalam semangat yang tidak bisa ditawar-tawar, Israel sehari
sebelumnya menggerakkan kendaraan lapis baja mereka ke pintu
masuk Beirut Barat. Gerakan itu sedemikian rupa ketatnya, mirip
usaha mengunci dengan kepitan-kepitan baja Tidak sak lagi,
detik-detik terakhir yang menentukan bagi PLO tiba. Sambil
menjepit, Israel menekan lewat pengeboman atas kubu PLO yang
tersisa di Beirut Selatan seraya menyapu pertahanan terkuat PLO
di Beirut Barat dengan tembakan artileri. Gencar sekali. Sejak
Sabtu, aliran listrik dan air ke medan yang terkepung itu pun
diputus oleh Israel, hingga kawasan tersebut gelap gulita.
Beirut Timur sementara itu, bukan saja tenang, tapi juga tetap
terang benderang.
Memang, segala upaya dikerahkan Israel supaya urusan PLO bisa
cepat selesai. Tapi terbukti perang Israel tahun 1982 ini
berlarut lebih lama daripada yang diharapkan, bahkan jadi
seperti "tidak berketentuan". Sedangkan PLO yang sekarat masih
berusaha "mengulur-ulur" waktu, begitu tuduhan Israel ke alamat
pihak lawan.
Sekarang, korban semakin banyak berjatuhan (diperkirakan 10.000
penduduk Libanon dan PLO plus 270 tentara Israel tewas). Sudah
tidak mungkin bagi Israel untuk mengundurkan diri baik-baik dari
Libanon, seperti yang diusulkan negara-negara Arab, tanpa satu
hasil yang jelas.
Sejak mula Begin menandaskan, sasaran penyerbuan Israel ialah
"menciptakan zona bebas militer sejauh 25 mil dari perbatasan
utara Israel. Tapi seminggu kemudian, sesudah barisan tank
Israel melaju ke Beirut, batas itu melar jadi 30 mil (lebih
kurang 48 km). Ini saja rupanya tidak cukup. Masih dicantolkan
embel-embel baru yaitu "perlucutan senjata PLO", satu tuntutan
yang dalam pandangan PLO sangat menghinakan mereka. Arafat pun
waktu itu menghunus semangat "Biar Beirut jadi Stalingrad untuk
orang-orang Arab ! "
Tapi keadaan amat cepat berubah, terutama sejak tentara Israel
menduduki sebagian Beirut. Ariel Sharon arsitek perang yang
sedang berjaya itu, dalam satu wawancara televisi pekah silam
tanpa ragu mengancam, "Selagi ada markas teroris di Beirut, maka
tugas Kesatuan Pertahanan Israel masih belum tuntas."
Melaksanakan tugas sampai tuntas ternyata tidak mudah.
Kemenangan militer Israel -- kalau bisa dikatakan demikian --
seakan sudah tergenggam di tangan. Seorang perwira tingginya
bahkan tak sabar berkata, "Kita harus melakukan sesuatu." Tapi
"sesuatu" itu masih teka-teki. Semestinya Israel sejak dua pekan
silam sudah dapat menghajar PLO habis-habisan dan memaksa lawan
mereka bertekuk lutut. Tapi ini hanya mungkin dengan satu
penyerbuan besar ke Beirut Barat. Dan penyerbuan begitu sama
artinya dengan pembantaian 500. 000 penduduk sipil Libanon yang
terkurung bersama 6.000 gerilyawan PLO.
Ditinjau dari sudut pandangan dunia beradab, tindakan itu amat
terkutuk. Dan bisa menjerumuskan, bukan saja PLO tapi juga
Israel. Bersamaan dengan itu bukan tidak mungkin perang meluas,
melibatkan Suriah -- yang berada di Libanon bukan untuk membantu
PLO tapi untuk mengamankan kepentingan sendiri -- dan
selanjutnya bisa memancing campur tangan Uni Soviet. Sampai pada
tingkat ini, solidaritas Arab yang kini cerai-berai justru akan
bangkit kembali.
TAPI pada tahap sekarang, Begin dkk masih bertekad merengkuh
hasil semaksimal mungkin. Apalagi perang yang mereka ciptakan
itu sudah menelan biaya sekitar US$750 juta dan bisa mempercepat
laju inflasi Israel sampai 13 3%. Maka ke dalam hasil maksimal
itu, di samping perlucutan senjata PLO, juga tercantum niat
"suci" Israel mengutuhkan dan menegakkan Libanon kembali dari
kejatuhannya. Sebuah Libanon yang stabil jelas bisa jadi
tetangga andalan bagi Israel. Dan ini akan memudahkan usaha.
Menteri Pertahanan Sharon untuk kemudian mendorong Suriah keluar
dari Lembah Bekaa.
Sebelum gencatan senjata terpisah dengan Israel, Suriah sudah
kehilangan 29 MiG berikut 80 tank dan kendaraan lapis baja.
Sekarang, bila ditinjau gempuran Israel terhadap posisi Suriah
di perbukitan selatan Beirut, kuat dugaan sasaran Sharon
bukannya berpindah tapi bercabang ke dua arah. Pertama, Beirut
Barat. Kedua, mematahkan pertahanan Suriah dari Aley sampai ke
Dahr el Baidar, tidak jauh dari Bekaa. Pada akhir pekan lalu,
Israel berhasil menguasai jalan raya Beirut-Baidar, bahkan
memukul mundur pasukan Suriah sampai dekat perbatasan
Libanon-Suriah. Dengan ini medan perang sudah semakin bersih
untuk anak buah Jenderal Eitan.
Sebaliknya di medan diplomasi masih banyak ranjau terpasang.
Langkah pertama, tentu saja, mengikut-sertakan Libanon. Berkat
prakarsa Philip Habib, duta khusus AS untuk Timur Tengah,
Presiden Libanon Elias Sarkis berhasil mempertemukan 7 anggota
Komite Penyelamat Nasional Libanon, yang mewakili berbagai unsur
masyarakat negeri itu. Prakarsa Habib yang rapuh itu terancam
gagal ketika Wallid Jumblatt (sekutu PLO, wakil sekte Druze dan
unsur kiri Muslim Libanon) mengundurkan diri, padahal
perundingan untuk pembentukan pemerintah koalisi dan pengunduran
Israel baru akan dimulai.
Dengan muslihat Habib, Jumblatt kemudian batal mengundurkan
diri, namun di Istana Baabda, dia sempat menuding Sarkis dan PM
Shafik Wazzan sebagai utusan Israel yang menuntut "penyerahan
PLO". "Mengapa kita tidak mengundang Sharon ke sini dan berusaha
menghemat waktu?" katanya geram.
Sikap Jumblatt bisa dimaklumi. Perundingan perdamaian yang
menentukan nasib PLO dan masa depan Libanon terselenggara lewat
mekanisme rumit, sementara semua pihak yang berkepentingan --
karena tidak adanya hubungan diplomatik -- tidak mungkin
langsung berhadapan muka. Ini bukan saja makan banyak waktu,
tapi juga menimbulkan banyak salah paham.
Philip habib yang tampil sebagai penengah dari AS menjadi
penghubung untuk Israel, sedangkan PM Libanon Shafik Wazzan,
seorang Muslim Sunni menjadi penghubung terpercaya untuk Arafat.
Dalam pada itu kepentingan Libanon disuarakan oleh Presiden
Elias Sarkis, Wallid Jumblatt dan Bashir Gemayel, pemimpin
Kristen Falangis yang pasukannya teramat potensial dalam
percaturan politik dalam negeri Libanon belakangan ini.
Beberapa usul perdamaian sedikitnya tiga kali gagal di tengah
jalan, karena saluran ke pihak masing-masing dan sekutunya,
seperti AS dan Arab Saudi ricuh dan tidak rapi. Sementara itu
kedua pihak, Israel dan PLO begitu mudah tolak-menolak usul,
hingga mengakibatkan kelesuan di meja perundingan.
Israel, tentu saja, lebih punya posisi yang menguntungkan.
Dengan catatan, bahwa faktor AS harus diperhitungkan. Tanpa Haig
sebagai menteri luar negeri, Israel tak punya pembela di dekat
Presiden Reagan. Presiden AS itu sendiri pekan lalu menegaskan
bahwa AS tak memberi restu invasi Israel ke Libanon. Dan bahkan
di kalangan Yahudi di AS kini timbul kecaman ke arah cara-cara
Begin.
Di dalam negeri mereka sendiri, serangan ke Libanon menguras
ketahanan moral bangsa Israel. Kemenangan militer pada akhirnya
tidak membahagiakan mereka. Meningkatnya jumlah tentara Israel
yang tewas menebarkan mendung yang tebal di hati para ibu. Dan
mereka melancarkan protes.
Warga Israel yang lain akhir-akhir ini mulai mempertanyakan
apakah serangan yang diperpanjang ke Libanon itu bisa memberi
harga yang setimpal untuk kerugian yang mereka derita. Rasa
tidak puas mencapai puncaknya dalam demonstrasi oleh Gerakan
Damai Sekarang. Sebanyak 50.000 warga Israel yang antiperang
hari Ahad menuntut penghentian perang Libanon, perdamaian dengan
Palestira dan pengunduran diri PM Menachem Begin.
Libanon sendiri menyaksikan seorang pemimpin muda Bashir
Gemayel, tokoh Falangis, yang semula merupakan kuda Troya dalam
penyerbuan Israel. Dia belakangan ini membuktikan bahwa dia
bukanlah anak bawang Menachem Begin. Benar bahwa pasukan Kristen
Falangis yang dipimpinnya mengenakan seragam hijau dan memanggul
senjata "pinjaman Israel", namun pekan lalu dia terbang ke Taif
untuk memenuhi undangan Menlu Arab Saudi Pangeran Saud
Al-Faisal.
Sekjen Liga Arab Chedli Klibi menaruh harapan pada Gemayel yang
di matanya nampak berkemampuan untuk mendekatkan hubungan
Palestina Libanon. Sementara itu Wallid Jumblatt di hadapan
wartawan memuji orang muda itu. "Gemayel punya perhitungan
politik jangka panjang," katanya pekan silam. "Dia tidak
semata-mata membantu Israel, tapi dia memainkan kartu lain,
kartu kepresidenan." Keesokan harinya Gemayel memang
mengumumkan pencalonan dirinya dalam pemilihan September
mendatang.
Mungkin masih terlalu dini meramalkan kebangkitan Libanon Baru
bersama Gemayel-nya. Tapi Prof. Yehoshafat Harkabi, ahli tentang
PLO, dalam wawancara wartawan The Jerusalem Post David
Bernstein, telah meramalkan bahwa PLO, sesudah lewat masa
penumpasan di Libanon, akan kembali pada bentuknya yang asli
sebagai kelompok gerilya dan teroris.
Harkabi benar setidaknya dalam satu hal, bahwa sebagai lembaga,
PLO harus punya basis. Demi kelangsungan hidupnya. Tanpa
teritori, kekuatan sebuah organisasi bersenjata tidak akan
banyak artinya. Untuk basis semacam itu pula, Arafat berkutat
sampai detik terakhir di Beirut Barat.
Sampai Selasa pagi pekan ini dunia masih menunggu apa yang
selanjutnya akan dilakukan Israel. Yang pasti dunia umumnya tak
mudah dikelabuinya lagi: serbuannya ke Libanon, yang sudah ia
siapkan sejak lama, berdalih membalas tertembaknya Dutabesarnya
di London, Argov. Sementara beberapa ribu orang mati dan
anak-anak cacat karena "pembalasan" itu, keadaan Dubes Argov
sendiri membaik di Rumah Sakit Nasional Penyakit Saraf di
London.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini