Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ada "link-up" kata norman

Pembentukan badan staf pembantu penanggulangan bahaya laten komunis, untuk meningkatkan pengawasan dan pembinaan bekas tahanan G30S/PKI. ada 36 eks tahanan di Jakarta yang dianggap gembong. (nas)

10 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMBALI masyarakat diingatkan pada bahaya komunisme. Pekan lalu Laksus Pangkopkamtibda Jaya Mayjen Norman Sasono menegaskan "Bangsa kita bangsa yang pemaaf. Akibatnya cepat pula melupakan peristiwa masa lalu sehingga kekejaman komunis yang pernah kita rasakan cepat pula terlupakan." Akibat negatifnya, menurut Norman Sasono, "masyarakat kurang memiliki kewaspadaan serta kurang reaksi spontan dalam menghadapi bahaya laten komunis." Itu dia ucapkan tatkala melantik Badan Staf Pembantu Penanggulangan Bahaya Laten Komunis di Aula Markas Kodam V/Jaya pekan lalu. Badan ini berangotakan 18 orang antara lain terdiri dari unsur Laksusda Jaya Pemda DKI Jaya, Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Jakarta, Kanwil Departemen P&K DKI, Kanwil Departemen Agama dengan koordinator Kol. Amir Singgih, Asisten Teritorial Kodam V/Jaya. Apakah pembentukan badan tersebut karena ada indikasi meningkatnya kegiatan sisa-sisa PKI di Jakarta "Dari segi fisik, aktivitas itu memang tak tampak meningkat," ujar Letkol R. Haridhon, Kapendam V/Jaya, anggota badan tersebut. "Namun ajaran komunis selalu merupakan ancaman. Dibilang ada, tapi tidak ada, toh sewaktu-waktu bisa meledak," kata Haridhon. Tampaknya pembentukan badan itu lebih diarahkan pada peningkatan pengawasan dan pembinaan terhadap bekas tahanan G30S/PKI yang telah dibebaskan. Tugas itu sejak 1974 merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dibantu Polri dan Laksusda. Mayjen Norman mengakui, sistem pengawasan administrasi dan inventarisasi terhadap para bekas tahanan tersebut belum efektif. Keadaan ini, lanjut Norman, akan digunakan oleh sisa dan bekas tahanan/Napi G30S/PKI untuk mengadakan "link-up, berganti nama dan profesi, membentuk kader, melakukan komunikasi ideologi, mengadakan mobilitas yang tersembunyi, melakukan agitasi, propaganda dan subversi serta hidup seperti spora, beterbangan dan menempel di mana saja dalam rangka infiltrasi dan menghilangkan jejak." Menurut data yang ada, di wilayah Jakarta telah dibebaskan 5.580 orang tahanan G30S/PKI, tidak termasuk mutasi dari luar. Dalam jumlah ini, kata Norman, ada 36 orang yang dapat digolongkan hard core (gembong). Selain itu ada 45 orang lagi yang ada dalam tahanan sebagai narapidana. Letkol Haridhon menjelaskan, badan yang pekan lalu dibentuk itu bukan badan operasional. Tugasnya mendeteksi usaha serta kegiatan sisa PKI dan memberi saran pada Laksusda. "Misalnya ada organisasi baru muncul. Kemudian menurut penilaian anggota badan ini organisasi tersebut menjurus ke ajaran komunis. Maka badan ini kemudian memberi saran pada Laksusda," ujar Haridhon. Pembentukan badan itu rupanya juga diakibatkan karena kekurangmampuan pemerintah daerah mengawasi dan membina para bekas tahanan PKI tersebut. Sejak dibebani tugas tersebut pada 1974, aparat Pemda mengalami kesulitan mengurus mereka. Penanganan mereka lebih banyak dilakukan Kodim setempat atau Laksusda. Jika misalnya ada tahanan yang akan pindah ke lain daerah, izin hanya diberikan oleh Laksusda, sekalipun surat pindah tetap diminta dari lurah dan camat. MUNCULNYA SK Mendagri nomor 32/1980 memperjelas tugas Pemda. Sejak itu dilakukan santiaji kepada para bekas tahanan itu sampai ke tingkat rukun tetangga. Para mahasiswa IAIN yang mengadakan KKN juga diminta membekali mereka dengan bimbingan kerohanian. "Hasilnya sangat bagus," kata seorang pejabat Pemda DKI. Hal itu dibenarkan Uzik Suparmin Lurah Kramatjati, Jakarta Timur. Di wilayahnya tinggal sekitar 80 bekas tahanan PKI. "Sejak adanya pembinaan itu mereka tidak menyendiri lagi. Mereka misalnya, sudah mau bekerja bakti bersama," katanya. Meski sudah ada perbaikan, kewaspadaan rupanya perlu tetap ditingkatkan. Alasannya, menurut Mayjen Norman, banyak kerawanan sosial yang belum terbenahi secara tuntas. Antara lain masalah tanah, buruh, kaki lima dan kenakalan remaja yang bisa dimanfaatkan bekas tahanan PKI untuk menciptakan keresahan sosial. Masih ada lagi sumber keresahan sosial: "Sikap sementara aparatur pemerintah yang agak eksplosif, seperti pelayanan yang terlalu kaku dan birokratis serta kurang manusiawi," ujar Norman Sasono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus