Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan Presiden Bolivia, Evo Morales, untuk mengundurkan diri pada Minggu, 10 November 2019 seakan menjadi puncak dari gelombang unjuk rasa yang dilakukan dalam beberapa pekan terakhir. Unjuk rasa itu memakan korban jiwa setidaknya tiga demonstran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dikutip dari reuters.com, Senin, 11 November 2019, gejolak politik di Bolivia meletup ketika kubu oposisi menuding Morales mencurangi pemilu 20 Oktober 2019. Puncak dari ketegangan ini berakhirnya 14 tahun kekuasaan Morales di pemerintahan Bolivia pada hari Minggu kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ketegangan politik di Bolivia telah berdampak berguncangnya perekonomian negara itu dan rusaknya kepercayaan investor global. Dalam laporan Organisasi Negara Amerika atau OAS, Minggu, 10 November 2019, kemenangan Morales dalam pemilu Oktober lalu seharusnya dibatalkan karena terjadi penyimpangan dan pemungutan suara baru harus diadakan.
Pengumuman OAS itu ibarat menyiram bensin ke dalam api. Buntut dari pengumuman OAS itu Menteri, Gubernur dan anggota legislator, mengundurkan diri massal. Militer Bolivia juga menyerukan Morales agar mundur demi kebaikan negara.
“Bolivia dihancurkan. Kita saling membenci. Jika kita terus seperti ini, kita akan lebih buruk dari Venezuela,” kata Sandra Patino Huitron, 46 tahun, warga negara Bolivia dari Santa Cruz, kota terbesar di negara itu.
Pemimpin oposisi Bolivia, Carlos Mesa, yang berada diurutan kedua dalam perolehan pemilu 2019, mengatakan Morales sudah seharusnya mundur. Dia pun menyerukan agar masyarakat tetap berunjuk rasa hingga krisis diselesaikan.
Oposisi Bolivia menuding Morales tidak mau melepaskan jabatan dan melanggar batas jabatan Presiden ketika pada 2016 dia mengabaikan hasil referendum dimana suara terbanyak menolak keinginan Morales untuk kembali mencalonkan diri sebagai Presiden Bolivia.