KUTUKAN Presiden George W. Bush tentang "Poros Setan" berbalik menghantui dirinya sendiri. Masih disibukkan penguatan pasukannya di Jazirah Arab, perhatian Bush kini disita untuk menengok Semenanjung Korea.
Kembali dari liburan Natalnya di Texas, Bush memperoleh pesan tahun baru yang menantang. Pemimpin Korea Utara Kim Jong-il menyerukan rakyatnya agar bersatu menghadapi kemungkinan serangan Amerika Serikat. "AS sekarang menjadi lebih kalut untuk mencekik Korea Utara dengan secara terbuka meneriakkan sebuah serangan nuklir," tulis kantor berita resmi Korean Central News.
Pesan itu tidak menyebut-nyebut rencana Korea Utara sendiri untuk mengaktifkan kembali reaktor nuklir mereka, yang dalam beberapa pekan terakhir telah membuat risau dunia.
Dua pekan silam Korea Utara mengusir dua staf pengawas senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mengancam akan menarik diri dari perjanjian anti-pengembangan senjata nuklir. Duta besar negeri itu untuk Moskow, Pak Ui-chun, mengatakan negerinya tak kan lagi berkewajiban mematuhi perjanjian itu, yang selama ini hanya memberi keistimewaan nuklir kepada lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Dalam beberapa pekan terakhir Korea Utara juga telah mencopoti kamera monitor milik Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang memantau kegiatan reaktor nuklir Yongbyon. Reaktor itu, yang mampu memproses plutonium untuk pembuatan bom nuklir, dibekukan sejak 1994 sebagai imbalan dari kesediaan Amerika untuk mengirim bantuan minyak dan makanan.
Sejumlah pengamat mengatakan Pyongyang hanya butuh satu hingga dua bulan untuk mengaktifkan sepenuhnya reaktor Yongbyon dan hanya perlu satu bulan untuk menghasilkan dua bom nuklir. Bukan rahasia pula, negeri itu mengembangkan teknologi rudal berhulu ledak nuklir—rudal Taep'o-dong dan Paeutudan (lihat Senandung Nuklir).
Aneh bin ajaib, reaksi Gedung Putih sendiri sangat lunak terhadap tantangan Korea Utara itu. Sikap Menteri Luar Negeri Colin Powell bak seorang ayah bijak menghadapi anak bengalnya. Dia hanya "menyatakan menyesal" atas tindakan negeri itu seraya menegaskan Amerika tak berencana menyerangnya. "Mari kita bernegosiasi," kata Powell.
Presiden Bush mendukung Powell. "Ini bukan sengketa militer," katanya. "Ini sengketa diplomatik." Padahal, baru beberapa bulan lalu Bush sesumbar menyatukan Korea Utara, Irak, dan Iran dalam klub "Poros Setan" yang harus diperangi karena mengancam perdamaian dunia dengan senjata pemusnah massal yang mereka buat.
Reaksi santun Amerika ini segera mengundang sinisme, karena juga sangat bertentangan dengan sikapnya terhadap Saddam Hussein yang nyaris tanpa toleransi.
Kurt Campell, pakar Asia dari Pusat Studi Strategi dan Internasional, meledek reaksi Gedung Putih itu seperti reaksi "ketika seseorang menyantap sup yang tidak sedap sebelum makan malam" dan bukan ketika seseorang mendengar lonceng malapetaka nuklir. Campell adalah bekas penanggung jawab kebijakan Korea dalam pemerintahan Bill Clinton.
Adapun dari Irak, harian Al-Thawra yang menjadi corong resmi Partai Bath milik Saddam segera menuduh Amerika menerapkan standar ganda. "Adalah tidak adil Washington menyiapkan perang melawan Irak yang sudah bekerja sama dengan tim pengawas senjata PBB, tapi mencari solusi damai dengan Korea Utara yang mengusir pengawas senjata," tulisnya. Koran ini bahkan mempertanyakan motif tindakan Amerika dan Inggris yang terus-menerus mengancam perang: "Apakah karena Irak negeri minyak?"
Irak memang pantas jengkel. Kali ini Amerika hanya menggertak akan melakukan embargo ekonomi terhadap Korea Utara, sebuah kebijakan yang sudah dilakukan Amerika terhadap Irak selama satu dasawarsa terakhir.
Tapi bahkan embargo ekonomi pun mungkin tak kan dilakukan Amerika terhadap Korea Utara, mengingat penolakan dari Korea Selatan. Rakyat di Selatan khawatir, tekanan Amerika akan memperkeras sikap Utara dan berpotensi memicu konflik bersenjata.
Perang di semenanjung itu hampir dipastikan bakal melibatkan Cina dan Amerika sekaligus. Meski Perang Dingin sudah lama dianggap usai, sekitar dua juta pasukan masih berhadap-hadapan di perbatasan kedua negeri. Dan sementara Utara secara tradisional didukung Cina, Selatan kini dijaga sekitar 37 ribu pasukan Amerika.
Roh Moo-hyun, yang Februari nanti akan resmi menjadi presiden baru Korea Selatan, sudah mengatakan tidak akan "secara buta mengikuti kebijakan Amerika". Dia mendukung sikap pendahulunya, Kim Dae-jung, yang cenderung membangun penyatuan kembali Korea. Menurut keduanya, tekanan dan isolasi tidak akan pernah berhasil menundukkan negara komunis semacam Kuba dan Korea Utara. Mereka yakin, dialoglah yang merupakan cara satu-satunya untuk memecahkan masalah nuklir Korea Utara secara damai.
Roh memang tak bisa lain. Kemenangannya dalam pemilihan umum Desember lalu berkat pasang naik sentimen anti-Amerikanisme di sana. Tekanan Amerika ke Utara diperkirakan bakal memperkental solidaritas dua Korea. Dan itu bisa jadi bumerang bagi Amerika sendiri. Sebab, pada malam tahun baru lalu, misalnya, persis ketika Utara menyatakan siap berperang melawan Amerika, puluhan ribu warga Selatan justru berdemonstrasi di dekat Kedutaan Amerika di Seoul untuk memprotes tewasnya dua gadis karena terlindas kendaraan militer Amerika. Salah satu teriakan demonstran: "Akhiri kehadiran militer Amerika!"
Dampak perang di semenanjung itu juga bisa membuat kecut publik Amerika sendiri. Ketika terjadi krisis pada 1994, Pentagon pernah memperkirakan perang di sana bisa membunuh satu juta jiwa, termasuk 80 ribu hingga 100 ribu tentara Amerika. Ironisnya, pembantaian itu harus dibiayai dengan uang pajak rakyat Amerika sendiri senilai US$ 100 miliar. Tak hanya itu, perang juga akan menghancurkan prasarana dan menghentikan aktivitas bisnis, baik di Jepang maupun Korea Selatan—dua macan ekonomi Asia—dengan nilai kerugian total mencapai US$ 1 triliun. Resesi dunia nyaris tak terhindarkan.
Meski sesumbar Amerika siap berperang di dua medan sekaligus—Irak dan Korea Utara—Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld mustahil bisa mengabaikan estimasi Pentagon itu. Tapi, jika Amerika tak menyerbu Pyongyang, adakah dasar moral baginya untuk menyerang Baghdad?
Raihul Fadjri (AP, Reuters, Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini