Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pagar Hidup Menuju Baghdad

Para aktivis perdamaian mengalir ke Irak untuk menjadi tameng hidup dalam menyongsong serangan Amerika Serikat dan para sekutunya.

6 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yuan Hans Blix, ketua tim pemeriksa senjata pemusnah massal di Irak, baru akan meluncurkan laporannya pada Februari mendatang. Laporan itu akan menjadi "segel resmi" bagi pihak Amerika Serikat (AS), Inggris, dan sekutu mereka yang lain untuk mulai beraksi memborbardir Irak. Sampai pekan lalu, geger besar itu memang belum dimulai. Tapi aroma haus perang sudah tercium mulai dari Washington, London, hingga ke Teluk. Aroma yang sama tercium pula oleh Kenneth Nichols O'Keffee, seorang anggota marinir veteran Perang Teluk 1991. O'Keffee jelas-jelas menyatakan diri sebagai aktivis antiperang. Bersama rekan-rekannya, mereka telah mencoba berbagai cara untuk mencegah tumpahnya darah di tanah Irak. Mereka berdemo di jalan-jalan. Melobi pemerintah. Menyiarkan ke masyarakat betapa sia-sianya jalan perang yang dipilih oleh Presiden AS George W. Bush dan para kompanyonnya. Semuanya gagal. Akhirnya O'Keffee memutuskan untuk meluncur ke Irak pada pekan ini bersama kelompoknya. Misi mereka adalah menjadi tameng hidup bagi rakyat sipil yang tidak berdosa. Mereka akan memasang diri di depan moncong tank ataupun peluncur rudal pasukan AS dan Inggris. "Salah satu alasan saya kembali ke sana adalah untuk meminta maaf kepada rakyat Irak atas apa yang saya lakukan dulu di negeri mereka," ujar O'Keffee, yang pernah menerima medali dari pemerintah AS karena jasanya dalam Perang Teluk. Dalam perang 12 tahun silam itu, O'Keffee bergabung dalam Batalion II Marinir AS. Dan dia menyaksikan bagaimana jahatnya perang: suatu ketika, dalam perjalanan menuju Basra, dia menyaksikan pasukan internasional mengebom dan menewaskan ratusan tentara Irak yang sudah mundur. Pengalaman buruk itu membuatnya meninggalkan marinir setahun kemudian. Dia kecewa melihat kebijakan luar negeri Amerika. Telanjur patah arang, O'Keffee mencopot KTP Amerikanya. Safari para aktivis antiperang ini akan melewati rute Eropa. Mereka akan singgah di Amsterdam, Brussels, Paris, Zurich, Milan, Sarajevo, Syria, sebelum masuk ke Baghdad. O'Keffee akan mengumpulkan relawan dari seluruh Eropa. Diperkirakan rombongan ini akan tiba di Irak pada 24 Januari?tiga hari menjelang Presiden Bush memutuskan apakah Irak mematuhi atau melanggar resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Keputusan itu menentukan nasib Irak, termasuk kemungkinan menerima serangan. Bila akhirnya serangan itu digelar, O'Keffee dan teman-temannya sudah siap memberikan nyawa guna menghentikan aliran darah. We the People adalah nama misi itu, yang bertujuan menggalang perdamaian. Ini bukan satu-satunya misi yang bekerja dengan cara menjadi tameng hidup. Voices in the Wilderness adalah organisasi lain yang selama ini telah menyediakan tameng hidup dalam mendada serangan-serangan udara AS dan Inggris. Lembaga ini juga aktif berkampanye untuk penghentian sangsi ekonomi terhadap Irak. Sangsi yang dijatuhkan seusai Perang Teluk pertama telah menewaskan 500 ribu anak-anak Irak. Mereka meninggal karena kekurangan gizi dan tak mendapatkan cukup makanan serta obat-obatan. Organisasi urun tenaga mencegah perang adalah The Institute of Public Accuracy. Mereka mengatur kunjungan anggota parlemen Amerika serta menghadirkan aktor Sean Penn ke Irak untuk berkampanye antiperang. "Perang dengan Irak hanya akan menjadi bencana bagi rakyat biasa," ujar Matt Barr, seorang tameng hidup dari Inggris. Ken Bacon, Presiden Refugees International, memperkirakan satu hingga dua juta rakyat Irak akan menjadi pengungsi bila perang pecah. Tak mengherankan jika para aktivis antiperang naik darah dan bersedia menyenderkan tubuh di moncong senjata. Namun banyak kalangan yang pesimistis "gerakan tameng hidup" ini akan efektif. "Tak seorang pun akan percaya bahwa Amerika akan menghentikan pengeboman hanya karena kehadiran para aktivis perdamaian," ujar Mary Trotochoud, anggota delegasi Amerika yang pernah mengunjungi Irak. Dengan lain kata, mereka akan berkorban nyawa secara sia-sia. Koordinator Voices in the Wilderness, Kathy Kelly, menegaskan bahwa para relawan ini bisa saja mati setiap saat di Irak. "Ini bisa menjadi tahun terakhir hidup mereka," ujarnya. Tapi Joe Quandt dari New York bersikap jauh lebih optimistis?bahkan saat ancaman kematian membayang di depan matanya. Ia berkata, "Saya belum pernah meresapkan nikmatnya hidup seperti sekarang." Purwani D. Prabandari (BBC, The Guardian, Pacific News Service)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus