PERANG Dingin rupanya belum kunjung usai. Ketegangan yang terakhir ini tak hanya mengingatkan orang pada krisis serupa pada 1994, tapi juga silang-sengketa yang sudah muncul 20 tahun lalu.
Pada 1980-an, Amerika mulai mengendus bau tak sedap dari program nuklir Korea Utara, yang dicurigai tak hanya menghasilkan listrik, tapi juga senjata nuklir. Itu pula yang menjadi dalih Amerika untuk tetap memarkir salah satu pangkalan militer terbesarnya di Asia.
Federasi Ilmuwan Amerika (FAS) memuat cerita panjang dalam situsnya di internet tentang 22 fasilitas nuklir Korea Utara yang terdapat di 18 lokasi. Fasilitas nuklir itu berupa tambang uranium, pabrik bahan bakar nuklir, reaktor nuklir, fasilitas pemrosesan ulang, dan fasilitas riset. Sebagai negara yang jutaan rakyatnya masih terancam kelaparan, fasilitas nuklir Korea Utara terasa melimpah.
Program nuklir Korea Utara dimulai dengan pemrosesan uranium alam di dekat Kota Suchon dan Pyongsan pada pertengahan 1960-an. Tambang uranium itu mampu menghasilkan empat juta ton uranium dengan kualitas kelas wahid. Pada 1965 Uni Soviet membantu Pyongyang mendirikan pusat riset di dekat kota kecil Yongbyon, yang diperlengkapi reaktor nuklir untuk riset Soviet IRT-2M. Tenaga spesialis di Yongbyon berhasil membuat efisien reaktor Soviet tadi sehingga bisa meningkatkan pengayaan uranium dari 10 persen menjadi 80 persen.
Pyongyang pun mulai membangun reaktor risetnya sendiri dan pada 1977 menandatangani kesepakatan dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Badan itu memiliki wewenang melakukan pengawasan agar reaktor tidak digunakan untuk membuat senjata nuklir.
Tapi, menurut FAS, tanpa setahu badan itu Pyongyang sudah memulai program senjata nuklirnya sejak 1980-an. Laporan intelijen Amerika pada 1985 menyebutkan Korea Utara mendirikan reaktor nuklir rahasia berkapasitas 200 megawatt di Taechon dan Yongbyon, dan melakukan uji coba peledakan.
Tekanan internasional memaksa Pyongyang menandatangani perjanjian tidak mengembangkan senjata nuklir (non-proliferation of nuclear weapons), tapi menolak IAEA melakukan inspeksi. Meski pada 1992 Amerika berhasil memaksanya untuk menerima tim inspeksi, hanya setahun kemudian Korea Utara kembali menolak inspeksi khusus ke dua fasilitas nuklir yang tidak dilaporkan.
Konflik dengan Amerika nyaris mengobarkan perang pada 1994. "Kami semua mengira akan berangkat perang," ujar Letnan Jenderal Howell Estes, perwira senior Angkatan Udara Amerika di Korea Selatan kala itu. Tapi perang urung setelah Pentagon menghitung kerugian yang ditimbulkan akibat perang, dan bekas presiden Jimmy Carter berhasil membujuk Korea Utara mengizinkan tim inspeksi dengan imbalan AS memasok minyak dan bahan makanan untuk Korea Utara.
Dan Korea Utara menjadi jinak? Lagi-lagi pada April 1997 juru bicara Pentagon, Kenneth Bacon, mengumumkan laporan intelijen bahwa Korea Utara memproduksi plutonium yang cukup untuk menghasilkan satu bom nuklir. Dan pada Oktober tahun silam mereka bahkan secara resmi mengakui program rahasia pengayaan uranium untuk senjata nuklir.
Bagaimanapun, jika Kim Jong-il kini berani menggertak Amerika, tampaknya bukan bom nuklir itu yang jadi andalan utama. Perubahan politik di Korea Selatanlah yang lebih penting untuk diperhitungkan Amerika.
Raihul Fadjri (AP, laporan FAS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini