Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Donald Trump Menang Pemilu AS 2024, Kata Pengamat Soal Nasib Timur Tengah

Pengamat menyebut kemenangan Donald Trump pada Pemilu AS 2024 punya pengaruh signifikan terutama bagi negara-negara Timur Tengah, mengapa?

9 November 2024 | 19.06 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemilu Amerika Serikat 2024 tidak hanya berdampak pada warga AS saja, namun juga akan memengaruhi wilayah di luar AS seperti Timur Tengah. Lalu bagaimana dampak Donald Trump yang terpilih kembali menjadi Presiden AS ke- 47 bagi Timur Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak serangan Hamas terhadap Israel 7 Oktober 2023, kawasan itu terperangkap dalam belenggu kekerasan. AS yang menjadi sekutu terdekat Israel punya pengaruh geopolitis paling besar atas perkembangan di kawasan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Trump pernah menyebut dirinya sebagai "presiden yang paling pro Israel dalam sejarah AS." Begitu pernyataannya dalam video yang diterbitkan dalam Plattform Truth Social.

Kenyataannya, ketika menjabat presiden AS dia berhasil memenuhi keinginan Israel. Misalnya, 2018 Trump memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Negara lain, termasuk Jerman, tidak melakukannya karena situasi yang tidak jelas di Yerusalem Timur dari segi hukum internasional.

Sejak Maret 2019 AS juga mengakui Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Suriah sebagai wilayah Israel. Tak lama setelahnya, menantu Trump, Jared Kushner yang menjadi utusan khusus, memperkenalkan rencana perdamaian, yang dinilai terlalu memihak Palestina.

Trump mengurangi sokongan atas organisasi PBB UNRWA yang memberikan sokongan bagi Palestina. Ia juga mempersulit masuknya orang-orang dari beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim.

Pada 2020, AS jadi penengah bagi Abraham Accords, yaitu sejumlah perjanjian, di mana Israel menormalisasi hubungan diplomatis dengan beberapa negara Arab serta Afrika Utara, 70 tahun setelah negara Israel berdiri.

Sebelumnya, Peter Lintl, ahli Timur Tengah pada yayasan Stiftung Wissenschaft und Politik menyebut Donald Trump akan terus mendekati Israel.

Pada saat bersamaan, Lintl juga menyinggung kembali peringatan dari Trump kepada PM Israel Benjamin Netanyahu. Ketika itu Trump mendesak agar perang Gaza segera diakhiri, karena Israel "akan kalah dalam pertarungan imej," mengingat banyak tersebarnya gambar-gambar kesengsaraan warga sipil di sana.

"Perang ini bisa jadi beban bagi Trump, oleh sebab itu dia akan melancarkan lebih banyak desakan terhadap Netanyahu, dibanding Biden dalam beberapa bulan terakhir," kata Lintl.

Lebih lanjut, dilansir dari Antara, tanggapan juga datang dari pengamat hubungan internasional, Andrea Abdul Rahman Azzqy, ia mengatakan Israel akan mendapat dukungan lebih besar untuk melakukan aksinya di wilayah-wilayah pendudukan Palestina jika Donald Trump menang dalam Pilpres AS 2024. 

"Jelasnya, Israel akan mendapat dukungan yang jauh lebih besar untuk campaign mereka, tidak hanya masalah Palestina, Gaza, Tepi Barat dan Hebron namun juga ke Lebanon, Suriah, Irak, Iran," kata Andrea, “dan beberapa negara yang dianggap Israel sebagai musuh seperti campaign Netanyahu ketika mereka ingin membuat Greater Israel," imbuh akademisi Universitas Budi Luhur itu dilansir dari Antara, Rabu, 6 November 2024.

Menurut Andrea, Trump berupaya mendapatkan kepercayaan dari senator maupun politisi-politisi AS yang mendukung Yahudi.

Trump, menurut Andrea, dihadapkan pada Esther Policy. Kebijakan itu intinya menganggap siapa pun yang mendukung ataupun terafiliasi mendukung kemerdekaan Palestina atau Hamas akan dianggap teroris dan dikategorikan sebagai teroris atau pendukung teroris. "Ini yang sangat mengkhawatirkan untuk Trump," katanya.

Khawatir konfrontasi dengan Iran

Di sisi lain, Iran tidak mengambil posisi sentral dalam bentrokan di Timur Tengah. Tahun ini Teheran tidak hanya menyerang Israel secara langsung, melainkan juga menyokong Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Jalur Gaza, serta milisi Houthi di Yaman. Program nuklir Iran juga jadi ancaman tambahan. Iran melanjutkan program nuklirnya, setelah Donald Trump pada  2018 keluar dari perjanjian JCPOA.

Waktu itu, strategi Trump sudah berupa tekanan maksimal terhadap Iran agar menghentikan aktivitas bermusuhan terhadap AS. Ia juga melancarkan sanksi ekonomi, dan 2020 dia memerintahkan serangan drone terarah untuk membunuh Jenderal ranking atas di militer Iran, Ghassem Soleimani.

"Kalau ingin memukul mundur Iran, orang harus menghantam dengan keras", begitu dikatakan calon wakil presiden Donald Trump, J. D. Vance. 

Meski demikian, Peter Lintl tidak yakin bahwa itu memang keinginan Trump. "Mungkin akan ada beberapa serangan udara, mungkin dia akan mendukung serangan militer dan operasi dinas rahasia Israel." Namun Lintl menduga, Trump tidak akan mengerahkan tentara AS.

Julien Barnes-Dacey dari ECFR juga berpendapat demikian. Donald Trump kemungkinan juga akan memperkuat tekanan ekonomi. "Kali ini sanksi AS akan dilaksanakan lebih ketat, sehingga Iran tidak punya ruang lagi untuk melakukan bisnis minyak," kata dia.   

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus