JATUH-bangunnya sistempolitik di Cina -- mulai dari zaman dinasti Gerakan 4 Mei, dan sekarang gerakan menuntul demokrasi -- selalu melibatkan kaum intelektual. Junshi dong kou, xiaoren dong shou -- "Orang pintar menggunakan mulut, orang kebanyakan menggunakan tangan," kata Konfusius. Itu menunjukkan bahwa Konfusianisme, ajaran yang merasuk dalam diri kebanyakan orang Cina, memang elitis. Yakni, sangat menjunjung tinggi pendidikan, intelektualisme dan kaum intelektual, dan menganggap rendah orang tak berpendidikan. Di masa Cina kuno, sering orang terpelajar kehilangan nyawa karena mempertahankan pendapat atau kepercayaannya. Pada masa Ahala Qin (sekitar 200 tahun SM), sekitar 400 orang sarjana Konfusianis dikubur hidup-hidup karena menentang kemauan Kaisar Qinshi Huangdi, pemersatu Cina pertama. Kini Fang Lizhi, 53 tahun, profesor astrofisika, pembangkang utama Cina, tak bersedia mengikuti nasib 400 orang leluhurnya. Ia, yang dikabarkan ikut menggerakkan demonstrasi pro-demokrasi yang berakhir tragis di Tiananmen itu, tak mau mengalami kekonyolan. Maka, ia berlindung di Kedubes AS di Beijing, ketika pemburuan para "kontra-revolusioner" di belakang demo itu dicanangkan. Namanya mulai mencuat pada akhir 1986, ketika para mahasiswa di Universitas Hefei mengadakan demonstrasi menuntut demokrasi. Ketika itulah Hu Yaobang kehilangan kedudukannya sebagai Sekjen Partai Komunis Cina (PKC), dan Fang, Wakil Rektor Universitas Ilmu dan Teknologi di kota itu, yang dituduh sebagai orang yang berada di belakang aksi itu, dipindahkan ke Beijing. Di Beijing, di bawah hidung para penguasa komunis yang selalu memata-matainya, mulutnya tak bisa bungkam. Pada Oktober 1987, dalam wawancara dengan Der Spiegel, dengan berani ia menyerang ideologi dan sistem yang dianut RRC. Ia menuntut diberikannya demokrasi kepada rakyat. Malahan ia mengatakan, demokrasi itu bukan harus ditunggu sampai para penguasa memberi konsesi, tapi harus diperjuangkan. Dengan berani pula ia mengatakan bahwa Marxisme itu bagaikan baju sudah gombal yang harus dicampakkan. "Marxime sudah ketinggalan zaman, karena ia dimiliki oleh suatu zaman peradaban tertentu yang sudah lewat, katanya. Sejak ia "terkenal", segala langkah dan tindak-tanduknya selalu diikuti polisi keamanan. Ketika Presiden George Bush mengunjungi Cina pada Februari tahun ini Fang diundang untuk hadir dalam jamuan kenegaraan yang diadakan oleh Bush. Tapi ia dihalang-halangi masuk sehingga tak dapat hadir, dan peristiwa tersebut hampir menjadi insiden yang mengganggu hubungan antara kedua negara. Media massa yang dikuasai negara selalu berusaha untuk tak memberitakan kegiatannya. Tapi pandangan-pandangannya yang "liberal'' tak urung tersebar ke seluruh negeri. Banyak orang yang bersimpati kepadanya, dan pernyataan-pernyataannya menyatakn keberanian kaum intelektual Cina umumnya untuk mrnrntang rezim komunis. Ironis, sebenarnya. Keberanian Fang dan para pendahulunya yang lain untuk berbicara menyimpang dari garis partai adalah akibat dari reformasi yang dilontarkan oleh Deng Xioping. Tapi Fang dan kawan-kawannya dianggap terlalu jauh menyeleweng, menabrak rambu yang menjadi pembatas seberapa jauh reformisme boleh dilaksanakan. Pada 1978 Deng menentukan bahwa reformisme, baik dalam politik maupun ekonomi, hanya bisa berjalan atas dasar Empat Prinsip Pokok: jalan sosialisme, kediktatoran demokrasi rakyat, kepemimpinan PKC, dan Marxisme Leninisme-Pikiran Mao. Kegiatan yang dijalankan Fang jelas melanggar semua rambu tersebut. Fang sendiri mengatakan demokrasi yang diberikan dari atas dan tak diperjuangkan hanya berarti pengenduran pengawasan, dan bukan demokrasi. Dekat sebelum pembantaian Tiananmen dijalankan Deng Xiaoping mengatakan, "Tak apa-apa kalau kita membunuh 200 ribu untuk mendapatkan kedamaian selama 20 tahun yang akan datang." Deng tak peduli bahwa sebagian besar dari 200 ribu itu adalah kaum berpendidikan, harapan bangsa di masa depan. Tapi itulah salah satu cara mengamankan kekuasaan yang sudah dicontohkan oleh Mao Zedong sendiri selama berkuasa (1935-1976): membersihkan kaum intelektual dari banyak sektor. Ada semacam dendam pribadi dalam diri Mao terhadap mereka yang berpendidikan, yang disebutnya sebagai kaum feodal itu. Menjelang Gerakan 4 Mei 1919, di Kampus Universitas Beijing berdirilah sebuah kelompok studi untuk mempelajari Marxisme. Mao, yang pada waktu itu menjadi kerani pada perpustakaan universitas, sering duduk mendengarkan diskusi kelompok tersebut. Karena belum dikenal, ia tak diindahkan oleh para pemuka kelompok studi tersebut, yang sebagian besar terdiri dari profesor. Mao sakit hati, dan sejak itu antipatinya terhadap intelektualisme dan kaum intelek makin menjadi-jadi. Banyak gerakan yang dilancarkan Mao pada dasarnya merupakan pembersihan terhadap kaum intelektual, lantaran sikap mereka yang "liberal" dan cenderung tak sudi tunduk pada pendiktean partai. Kampanye anti-orang berpendidikan itu mencapai puncaknya dengan Revolusi Kebudayaan, yang dimaksudkan untuk menjembatani tiga kesenjangan. Yaitu, antara kerja otak dan kerja tangan, buruh dan tani serta desa dan kota. Tak kurang dari 200 ribu intelektual mati karena kelaparan, disiksa, dan karena tekanan mental. Konsekuensi membela yang diyakini sebagai kebenaran memang bisa mahal -- juga kini, setelah gerakan prodemokrasi itu dipatahkan. Tapi sia-siakah pengorbanan mereka? A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini