Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pembersihan tanpa ampun

Pemerintah cina menghapus tragedi tiananmen dari sejarah. media massa dan segala bentuk alat komunikasi dibatasi. rakyat mulai mempercayai tentara. cai ling, pimpinan mahasiswa, calon mendapat nobel.

24 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGHAPUS tragedi Tiananmen dari sejarah, itulah kini yang dicoba dilakukan oleh Pemerintah RRC. Di Lapangan tempat ribuan orang dibantai itu, sejumlah anggota Partai Komunis Cina (PKC) gembar-gembor menjungkirbalikkan hal-hal yang selama ini terjadi. Para demonstran, kata mereka, adalah para penjahat kontra-revolusi, yang mencoba menggilas sosialisme dengan menyerang tentara. Untuk menjelaskan "duduk perkara sebenarnya", tentara dikirim ke sekolah-sekolah. Lalu mereka bercerita bahwa sebenarnya mereka tak pernah mencabut nyawa orang lain. Untuk mendukung upaya ini, hampir setiap malam TV pemerintah menayangkan adegan penangkapan demonstran. Lalu adegan interogasi, dan kemudian demonstran mengakui segala dosanya. Lantas disusul -- kadangkala didahului -- rekaman adegan keberingasan para demonstran di sekitar Tiananmen. Biasanya disertai ulasan-ulasan tentang peran anasir asing di belakang para mahasiswa. Hasilnya sudah mulai tampak. Rakyat pedesaan akan segera lapor ke polisi bila menjumpai orang tak dikenal minta komentar mereka tentang situasi politik terakhir. Di kota-kota, para pedagang kaki lima tak lagi bergairah mengobral cerita kepada orang asing. Sedangkan para mahasiswa tak lagi berani bersuara. Mereka malah saling memperingatkan agar berhati-hati menghadapi orang baru di kampus. Daftar hitam diumumkan, lengkap berikut foto-foto orang yang dicari. TV dan radio senantiasa menyiarkan nomor-nomor telepon polisi yang bisa dihubungi setiap saat oleh mereka yang punya informasi tentang para buron itu. Bagi mereka yang menyerahkan diri dijanjikan perlakuan yang lebih baik. Hingga awal pekan ini di Beijing sekitar 130 orang telah mendatangi pos polisi, menyerahkan diri. Sementara 1.400 orang ditangkap lewat "pembersihan tanpa ampun" -- kalangan diplomat Barat menduga jumlah sebenarnya jauh lebih banyak. Di Shanghai 3 pekerja dijatuhi hukuman mati, dituduh melakukan pembakaran kereta api. Di Beijing 8 orang, termasuk seorang wanita, divonis mati. Mereka dianggap terbukti melakukan pembakaran bis, menyerang kendaraan militer, dan melawan tentara. Dan menyusul tindakan penjagaan ketat perbatasan, mulai Selasa pekan ini diumumkan bahwa semua izin ke luar negeri bagi warga RRC yang telah diberikan dibatalkan. Semua pemegang paspor pun diminta memperbaruinya. Sementara itu, serdadu yang menjaga Beijing pelan-pelan ditarik ke luar kota. Koresponden TEMPO melaporkan, awal pekan ini 100 truk penuh tentara bergerak ke utara Beijing. Diperkirakan sekitar 3.000 serdadu ditarik dari Ibu Kota. Tapi tak diketahui jelas masih berapa yang tinggal. Tampaknya dalam waktu kurang dari sebulan Pemerintah RRC kembali memimpin permainan. Meski belum diresmikan, sudah kuat tanda-tanda bahwa Sekjen Zhao Ziyang, yang beberapa hari lalu mengaku berbuat salah di TV pemerintah, digantikan oleh Qiao She, anggota Komite Tertinggi Politbiro. Tapi bagaimana dalam waktu yang tak begitu lama itu keadaan menjadi terbalik? Rupanya pengontrolan media massa dan jalur komunikasi sangat efektif hasilnya. Penguasa RRC tampaknya paham betul bahwa perjuangan demonstran sangat bergantung pada tersebarnya informasi. Bukan cuma mengandalkan pengeras suara, poster, bisik-bisik, atau menggelar pawai akbar. Mahasiswa juga menggunakan teknologi informasi canggih, yang nyaris tak mengenal jarak dan waktu. Paling populer adalah faksimile, telepon, dan komputer teknologi komunikasi yang berkembang karena pembaruan ekonomi yang dilancarkan oleh Deng. Sejak penguasa menjalankan kebijaksanaan ekonomi pintu terbuka, jumlah fasilitas komunikasi di RRC melesat beberapa kali lipat. Bayangkan, dibandingkan tahun 1978, tahun lalu pelanggan telepon melesat dari 1,2 juta menjadi 3,6 juta. Jumlah faksimile di kantor-kantor pemerintah atau kantor pos naik dari sekitar 2 lusin menjadi lebih dari 1.400 buah, belum termasuk yang berada di kantor-kantor perusahaan asing. Sayang, jumlah pemilik radio yang melesat lebih hebat tak tercatat. Pada mulanya, para mahasiswa di RRC praktis cuma mengandalkan telepon untuk mengadakan koordinasi dengan demonstran dari warga kampus lain atau menebar pesan-pesan perjuangan kepada masyarakat. Lantas, berkat rekan-rekan mereka di luar negeri, gerakan mereka jadi lebih modern. Mereka bisa mendapatkan berita dari koran-koran luar negeri yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Cina atau dalam bentuk aslinya yang dikirimkan lewat faksimile. Ceritanya begini. Mereka cukup mengirimkan nomor-nomor telepon dan faksimile kepada rekan-rekan di luar negeri, terutama AS. Nah, sang penerima lantas menjawab kiriman itu lewat faksimile. Para aktivis mahasiswa RRC di AS setidaknya memiliki sekitar 1.500 nomor faksimile di RRC. Lewat nomor-nomor itulah mereka gencar mengirimkan guntingan-guntingan koran AS, tanpa peduli siapa pemilik nomor itu. Cara itu ternyata paling efektif. Kiriman mereka yang nyasar ke tangan para pegawai hotel atau kantor perusahaan asing banyak yang kemudian disampaikan kepada para mahasiswa, untuk diperbanyak dengan mesin fotokopi, lantas ditempel di tembok-tembok. Di Sanghai, pekan lalu, sebuah terminal bis utama bahkan sempat macet, gara-gara sarat dengan orang yang membaca sebuah poster berisi berita dari koran asing. Selain itu, para mahasiswa RRC di AS juga membentuk dua buah jaringan komunikasi komputer. Tak cuma untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan politik di negeri mereka. Tapi juga untuk mengirim pesan-pesan komputer kepada lembaga-lembaga atau orang-orang berpengaruh di AS, serta kepada mereka yang keranjingan komputer. Target mereka, mematahkan propaganda penguasa sekaligus menggalang simpati rakyat AS. Lantas bagaimana rekaman-rekaman video bisa sampai ke mancanegara, setelah penguasa RRC memotong gelombang TV internasional. Gampang, dengan peralatan khusus, rekaman itu bisa dikirim lewat jalur telepon. Nah, ketika terjadi pembantaian di Tiananmen, jalur komunikasi canggih itu pula yang menyuplai informasi ke RRC oleh warga RRC di luar negeri berdasarkan berita-berita media luar negeri. Sebagai bukti betapa informasi di RRC sendiri tak mencakup masyarakat luas, beberapa mahasiswa Cina di AS harus berdebat dengan orangtua mereka bahwa kejadian di Tiananmen bukan isapan jempol. Mula-mula cara menyebarluaskan berita seperti itu efektif. Tapi, setelah pemerintah mengontrol semua jaringan media dan komunikasi, informasi dari luar -- apalagi dari dalam -- RRC macet. Orang tak lagi berani bicara di telepon bila itu berdering dari Inggris, misalnya. Faksmile cepat-cepat dimatikan bila yang muncul kopi surat kabar luar negeri yang memberitakan soal mahasiswa Cina. Sebagai gantinya, informasi dari media pemerintah dan para juru penerang mereka, pelan tapi pasti, mencuci otak sebagian warga negara. Bila ini lancar jalannya, bisa diduga sebentar lagi bakal banyak orang Cina yang tak percaya bahwa Tentara Pembebasan Rakyat pernah menembaki mahasiswa dan rakyat sipil tak bersenjata, di suatu Minggu subuh di Tiananmen. Maka, ketika itu pengadilan terhadap mereka yang ditahan akan dibenarkan oleh massa. Warga RRC pun bertanya-tanya, mengapa Cai Ling, salah seorang pemimpin gerakan mahasiswa, dicalonkan sebagai pemenang Hadiah Nobel tahun ini. Cai Ling, yang kini iduga bersembunyi di Kedubes Australia di Beijing -- tapi ada yang menduga ia sudah sampai di Melbourne -- adalah mahasiswa yang merekam laporannya tentang Tiananmen dalam kaset video, dan sempat menyelundupkan rekaman itu ke Hong Kong. Inilah yang sementara mematahkan komunikasi perjuangan sekitar 10.000 mahasisw aRRC di AS dengan rekan-rekan mereka di tanah air. Sebagian besar mereka memang tak ingin pulang, tapi sebagian yang lain ingin kembali dan mengubah negerinya agar sesuai dengan kemajuan dunia. Mereka sebenarnya bisa ke luar negeri berkat politik pintu terbuka Deng. Bahkan ketika mereka sebagian tak ingin pulang, orang tua ini masih mentoleransi kehendak itu. "Suatu hari tentu mereka ingin pulang ke kampung halaman," kata Deng suatu ketika. Kini mungkin Deng tak mengharapkan mereka pulang, bila hanya akan membawa keributan lagi. Mereka sendiri mungkin juga tak ingin pulang sebelum terjadi perubahan di Cina. Suatu perubahan, menurut para pengamat RRC di Hong Kong, bakal terjadi menyusul meninggalnya Deng Xiaoping, yang kini 84 tahun itu. Untuk sementara telepon dan faksimile di Cina tak membawa pesan perjuangan.Praginanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum