Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Islamofobia: Menelusuri Pandangan Ini di Barat dan Indonesia

Kata Islamofobia sudah lama menjadi sorotan para akademikus dan pemerhati studi Islam

25 Maret 2024 | 18.19 WIB

Seminar Nasional Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah bertema Islamophobia Within Muslim and Islamiphobia Without Islam: Kebencian atas Muslim dan Islam, antara Asumsi, Fakta dan Prasangka, pada Senin, 25 Maret 2024. TEMPO/Bram Setiawan
Perbesar
Seminar Nasional Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah bertema Islamophobia Within Muslim and Islamiphobia Without Islam: Kebencian atas Muslim dan Islam, antara Asumsi, Fakta dan Prasangka, pada Senin, 25 Maret 2024. TEMPO/Bram Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Kata Islamofobia sudah lama menjadi sorotan para akademikus dan pemerhati studi Islam. Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri atau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan seminar nasional bertema Islamophobia Within Muslim and Islamophobia Without Islam: Kebencian atas Muslim dan Islam, antara Asumsi, Fakta dan Prasangka, pada Senin, 25 Maret 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kata Islamofobia, secara sederhana berarti ketakutan terhadap Islam. Tetapi, dalam arti yang lebih luas, bisa juga berarti sikap yang melibatkan emosi, kognisi, penilaian, dan tindakan yang mengekspresikan ketakutan terhadap Islam maupun umatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Islamofobia menjadi cara pandang yang rasis kepada orang-orang yang berbeda,” kata Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Ismatu Ropi saat pembukaan seminar.

Islamofobia dalam ambiguitas antara, fakta tragedi, asumsi, atau prasangka. Meskipun mulanya istilah Islamofobia ini dibicarakan di negara-negara Barat, namun menyebar secara paradoks sampai di Asia. Penyebarannya yang masif membuat sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB memaklumatkan konsensus, pada 15 Maret 2022, sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia.

Tentang Islamofobia

 

Guru besar filologi dan kebudayaan Islam Indonesia Universitas Koln Jerman, Edwin P. Wieringa menyoroti istilah ini melalui tinjauan hasil risetnya mengenai Serat Gatholoco, suluk karya klasik sastra Jawa. Dalam teks klasik, kata dia, hal yang dianggap bernada Islamofobia itu seperti respons atau kritik situasi saat itu kala Islam mulai berkembang.

Menurut Wieringa, ia tak setuju dengan adanya sebutan Islamofobia, dianggap tidak tepat. “Saya tidak suka dengan istilah Islamofobia,” katanya.

Guru Besar Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah, Amin Nurdin menyoroti istilah Islamofobia atau Islamophobia dikenal sebagai konsep dalam laporan Runnymede Trust Report pada 1991. Di Eropa, istilah ini juga dirumuskan dalam kerangka xenofobia, sikap kebencian dan ketakutan terhadap orang asing.

Islamofobia menyoroti beberapa pandangan, antara lain Islam agama yang kaku tidak bisa menyesuaikan dengan realitas baru dan mendukung terorisme. “Islamofobia secara masif menjadi fenomena global setelah tragedi World Trade Center New York (11 September 2001),” katanya.

Amin menjelaskan, kasus serangan terorisme menimbulkan gelombang rasa permusuhan, ketakutan, dan kebencian terhadap umat Islam. Gejala Islamofobia, kata dia, seperti menjadi hal normal dalam budaya di Amerika dan Eropa. Menurut Amin, perlu adanya penyebaran tafsir mengenai keberagaman Islam.

“Menginterpretasi ulang teologi Islam di Eropa. Pemikiran Islam yang universal itu bagaimana supaya bisa diterima di Barat,” katanya.

Amin juga menyoroti Islamofobia yang mulanya pandangan dari Barat sampai masuk ke Indonesia. Di Indonesia, pandangan ini salah satunya dipengaruhi tragedi Bom Bali pada 2002. Ketakutan menyebar terhadap pria berjanggut dan keluarganya tak lepas dari kecurigaan. “Islamofobia tak hanya dari masyarakat non Islam, bahkan dari masyarakat Islam itu sendiri,” katanya. Tetapi, hanya orang Islam beratribut tertentu yang dicurigai dan ditakuti.

Andar Nubowo, doktor alumni Ecole Normale Superieure, Lyon, Prancis menjelaskan, Islamofobia berkembang dalam konteks hubungan agama, politik, ekonomi yang tak seimbang. “Di Prancis, Belanda, dan Italia, muncul politik ultranasionalis anti Islam dan imigrasi,” katanya.

Menurut Andar, Islamofobia cenderung bersumber gambaran fantasi budaya terhadap Islam dan umatnya. “Jadi, bukan pada fakta sejarah Islam. Fanatisme ini lahir dari pandangan ideologis, bukan saintifik,” ucapnya.

Mubalig Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Rakeeman R.A.M. Jumaan menuturkan, seringnya Ahmadiyah menjadi sasaran stigma. “Sasarannya tidak jelas dan ke mana-mana,” katanya. Ia memandang, Islamofobia seperti ekspresi permusuhan yang tak berdasar.

Menurut Rakeeman, Islamofobia bisa diredam melalui banyak perjumpaan dan sikap saling mengenal. "Ahmadiyah di Eropa menggunakan banyak ruang perjumpaan. Yang tadinya  konservatif dengan beberapa kali perjumpaan mengenal dan mengetahui Ahmadiyah yang sebenarnya, kemudian menjadi sahabat dekat," tuturnya.

BRAM SETIAWAN

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus