Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Druze yang mendiami Dataran Tinggi Golan kini ketakutan. Tewasnya 12 anak dan remaja akibat serangan rudal pada akhir pekan lalu membuat mereka amat terkejut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski sudah berbulan-bulan Israel dan Hizbullah saling menembakkan roket, serangan pada akhir pekan lalu adalah yang terburuk. Saat roket terbang di tempat lain, masyarakat merasa sebagian besar aman, kata Raya Fakher Aldeen, penduduk Majdal Shams. Di desa itu, anak-anak dan remaja Druze tewas akibat serangan rudal ketika mereka sedang bermain sepak bola.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Itu mengejutkan karena tidak sekali pun dalam sembilan bulan terakhir, bahkan ketika sirene berbunyi, kami merasa menjadi sasaran," katanya.
Israel menuduh kelompok Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon melakukan serangan itu. Selama kunjungan ke Majdal Shams, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menjanjikan akan membalasnya.
Hizbullah membantah telah membunuh anak-anak muda tersebut. Kelompok militan dari Lebanon ini mengatakan telah melancarkan serangan terhadap target militer di daerah terdekat Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel.
Sebagai anggota minoritas Arab yang tinggal di Israel, Lebanon, Yordania, Suriah, dan Dataran Tinggi Golan, Druze, yang mempraktikkan ajaran Islam dan menempati tempat khusus dalam politik rumit di wilayah tersebut.
Tidak seperti kebanyakan warga Palestina Israel, banyak orang Druze di Israel yang bertugas di militer dan polisi, termasuk selama perang di Gaza. Beberapa di antara suku Druze ini telah mencapai pangkat tinggi.
Namun di Dataran Tinggi Golan, wilayah yang direbut dari Suriah dalam perang Timur Tengah tahun 1967, banyak masyarakat Druze yang masih mengidentifikasi diri sebagai warga Suriah dan menolak kewarganegaraan Israel.
Ketidakjelasan posisi Druze tercermin dalam pemakaman yang sama sekali tidak bernuansa politik. Ribuan orang berduka di Majdal Shams pada hari Minggu, tetapi tidak ada tanda-tanda bendera Israel atau Suriah dan pembicaraan politik sebagian besar tidak ada.
"Banyak warga Druze merasa marah dan tidak ingin menjadi bahan bakar dalam perang ini bagi pihak mana pun," kata Fakher Aldeen.
Sultan Abu Jabal, seorang pria berusia 62 tahun yang bekerja dan tinggal di Majdal, kehilangan cucunya dalam serangan itu. Ia mengecam tembakan rudal itu sebagai perang gila.
"Mereka semua orang yang tidak bersalah. Mengapa menjadi masalah saya jika ada masalah antara Hizbullah dan Israel?"
Usai penembakan itu, tak ada pihak yang mengaku telah melakukannya. Meski warga Druze tak memiliki kewarganegaraan Israel, para pejabat Israel termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant menyatakan mereka adalah warganya.
"Seorang anak Yahudi yang dibunuh di perbatasan Gaza pada 7 Oktober dan seorang anak Druze yang dibunuh di Dataran Tinggi Golan adalah orang yang sama. Mereka adalah anak-anak kita," kata Gallant saat berkunjung ke Majdal Shams.
Di pihak Suriah, Sheikh Druze Yousef al-Jarbou menyampaikan doa bagi mereka yang tewas. Ia menuduh Israel melakukan pembantaian harian dalam pidato yang diterbitkan oleh media pemerintah Suriah.
REUTERS
Pilihan editor: Kim Jong Un Dilaporkan Cari Obat terkait Obesitas hingga Keluar Negeri