Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kantor Oval Menjengkelkan

Presiden Ronald Reagan menyatakan bahwa diangkatnya George Shultz sebagai menlu, kebijaksanaan politik luar negeri AS tidak berubah belakangan ini politik luar negeri AS menjadi sasaran kecaman. (ln)

10 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEAKAN-akan memaklumkan kepada seluruh dunia, pekan lalu di Gedung Putih Presiden Reagan menyaakan, "Tidak ada perubahan dalam politik luar negeri." Alexander Haig memang berhenti jadi menteri, dan George Shult telah ditunjuk menggantikannya, tapi beleid luar negeri akan tetap. Sebab, kata Reagan, beleid itu datang dari "Kantor Oval" -- artinya dari kantor kepresidenan sendiri. Bagi beberapa kalangan, pernyataan seperti itu justru tak menenteramkan. Politik luar negeri AS jadi sasaran kecaman hebat belakangan ini, justru karena dari Kantor Oval itu muncul hal-hal yang menjengkelkan. Yang paling jengkel: sekutu AS sendiri di Eropa dan Jepang. Khususnya ketika Reagan memaklumkan sanksi bagi perusahaan yang memakai teknologi dengan lisensi Amerika untuk pembangunan pipa gas alam dari Uni Soviet ke Eropa Barat. Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, misalnya, pekan lalu mengecam sikap AS itu sebagai sesuatu yang "salah" dalam satu pernyataan paling keras dari seorang sekutu setia. Kanselir Jerman Barat Helmut Schmidt sebelumnya malah sudah lebih dulu menyatakan, bahwa tindakan Gedung Putih itu "berbahaya bagi hubungan seberang Atlantik." Di Paris, Presiden Prancis Mitterand disebut mengatakan bahwa dia tak bisa lagi mempercayai kepala negara AS yang sekarang. Di Brussels, utusan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) untuk AS yang baru, Sir Roy Denman, melihat ikatan MEE dengan AS memburuk. Hubungan ekonomi memang pokok soalnya. Dalam keadaan resesi dunia seperti kini, pokok soal itu sangat menentukan kiranya: tiap negara terpaksa memperhatikan koceknya sendiri. Pembangunan pipa gas alam sepanjang hampir 6000 km dari Siberia ke Eropa Barat oleh perusahaan Eropa tentu penting bagi uang masuk dan lapangan kerja di seluruh MEE -- mengingat biayanya yang US$10 milyar. Begitu pula kontrak Soviet-Jepang untuk pembangunan proyek perminyakan di Sakhalin, yang ditentang Reagan itu. Tak ayal, pekan lalupun dari Tokyo terdengar keluhan (atau kecaman) keras terhadap Kantor Oval. Bagi Reagan, itu semua tak akan melunakkan sikapnya. Dalam pernyataan pers di Washington pekan lalu itu dia menyebut beleidnya sebagai "soal prinsip". Mungkin karena itu pula Reagan dinilai lebih berpegang pada ideologi yang gampangan ketimbang pada perhitungan pragmatis. "Ideologi presiden yang simplistis itu juga bertarung dengan kepentingan Amerika yang lain," tulis tajuk harian terkemuka The New York Times akhir Juni lalu. BETAPA pun, ada harapan bahwa Reagan juga akan memperhatikan kenyataan politik di sekitarnya. Contohnya: sejak pekan lalu di Jenewa, Swiss, para perunding AS dan Uni Soviet memulai lagi pembicaraan pembatasan persenjataan strategis. Delapan belas bulan sebelumnya Reagan tak nampak berniat meneruskan perundingan semacam itu -- yang di bawah Presiden Nixon dan Carter dulu disebut SALT-I dan SALT-II, serangkaian kesepakatan untuk membatasi persenjataan strategis. Alasan Reagan AS terkebelakang dibanding Uni Soviet dalam persenjataan nuklir. Itulah sebabnya Reagan berani menanggung defisit dalam anggaran belanjanya, dengan lebih memberi dana bagi pertahanan. Kini Reagan nampaknya harus memperhatikan derasnya gerakan antisenjata nuklir yang melanda Eropa dan AS. Pembicaraan di Jenewa yang disebut START itu (dari Strategic Arms Reduction Talks, atau rundingan tentang pengurangan senjata strategis) sebagian disebabkan oleh kian derasnya protes untuk perdamaian itu. Toh tak berarti Reagan lebih lunak kata dan langkahnya terhadap Uni Soviet. Di depan Sidang Perlucutan Senjata PBB bulan lalu ia menyerang Uni Soviet sebagai "tirani". Usul pokoknya dalam START juga terutama diarahkan untuk mengurangi kekuatan misil balistik antarbenua (ICBM). Senjata itu merupakan 75% kekuatan nuklir Soviet, sedangkan cuma 25% kekuatan nuklir AS yang berpangkalan di darat. AS memang lebih banyak punya SLBM, atau misil balistik dari kapal selam. Perbandingannya sekitar 5: 1,5 dengan Soviet. Orang pun memperhitungkan, bahwa perundingan START yang dilakukan dua kali seminggu itu bakal berlangsung lama sekali. Sementara ia berjalan, banyak kejadian bisa mempengaruhi hasilnya. Pengalaman menunjukkan bahwa gara-gara invasi Soviet ke Afghanistan, misalnya, Kongres AS belum juga mau meratifikasi SALT-II setelah tujuh tahun berunding. Kini, suatu keadaan yang gawat seperti yang bisa berkembang dari kasus Libanon (baca Laporan Utama) bisa saja menggagalkan START sama sekali, meskipun tentang invasi Israel itu, Uni Soviet cuma omong besar. Melihat itu semua, sama dengan melihat soal-soal besar yang teronggok di depan menteri luar negeri baru George Shultz. Dia dinilai bisa bekerja dalam tim, para pembantu dekat Reagan di Kantor Oval. Siapa tahu, dia juga bisa memperkaya ide-ide di Gedung Putih, hingga tak ada kesan lagi bahwa di sana yang ada hanya gambar hitam-putih tentang dunia internasional. Shultz banyak bepergian. Dia teman dekat Kanselir Jerman Barat Schmidt. Ia bisa melucu di depan pemimpin Soviet, Brezhnev. Dia juga tentu bisa melucu di depan Reagan -- lebih menyenangkan ketimbang Haig.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus