SEAKAN-akan memaklumkan kepada seluruh dunia, pekan lalu di
Gedung Putih Presiden Reagan menyaakan, "Tidak ada perubahan
dalam politik luar negeri." Alexander Haig memang berhenti jadi
menteri, dan George Shult telah ditunjuk menggantikannya, tapi
beleid luar negeri akan tetap. Sebab, kata Reagan, beleid itu
datang dari "Kantor Oval" -- artinya dari kantor kepresidenan
sendiri.
Bagi beberapa kalangan, pernyataan seperti itu justru tak
menenteramkan. Politik luar negeri AS jadi sasaran kecaman hebat
belakangan ini, justru karena dari Kantor Oval itu muncul
hal-hal yang menjengkelkan. Yang paling jengkel: sekutu AS
sendiri di Eropa dan Jepang. Khususnya ketika Reagan memaklumkan
sanksi bagi perusahaan yang memakai teknologi dengan lisensi
Amerika untuk pembangunan pipa gas alam dari Uni Soviet ke Eropa
Barat.
Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, misalnya, pekan lalu
mengecam sikap AS itu sebagai sesuatu yang "salah" dalam satu
pernyataan paling keras dari seorang sekutu setia. Kanselir
Jerman Barat Helmut Schmidt sebelumnya malah sudah lebih dulu
menyatakan, bahwa tindakan Gedung Putih itu "berbahaya bagi
hubungan seberang Atlantik." Di Paris, Presiden Prancis
Mitterand disebut mengatakan bahwa dia tak bisa lagi mempercayai
kepala negara AS yang sekarang. Di Brussels, utusan Masyarakat
Ekonomi Eropa (MEE) untuk AS yang baru, Sir Roy Denman, melihat
ikatan MEE dengan AS memburuk.
Hubungan ekonomi memang pokok soalnya. Dalam keadaan resesi
dunia seperti kini, pokok soal itu sangat menentukan kiranya:
tiap negara terpaksa memperhatikan koceknya sendiri. Pembangunan
pipa gas alam sepanjang hampir 6000 km dari Siberia ke Eropa
Barat oleh perusahaan Eropa tentu penting bagi uang masuk dan
lapangan kerja di seluruh MEE -- mengingat biayanya yang US$10
milyar. Begitu pula kontrak Soviet-Jepang untuk pembangunan
proyek perminyakan di Sakhalin, yang ditentang Reagan itu. Tak
ayal, pekan lalupun dari Tokyo terdengar keluhan (atau kecaman)
keras terhadap Kantor Oval.
Bagi Reagan, itu semua tak akan melunakkan sikapnya. Dalam
pernyataan pers di Washington pekan lalu itu dia menyebut
beleidnya sebagai "soal prinsip". Mungkin karena itu pula Reagan
dinilai lebih berpegang pada ideologi yang gampangan ketimbang
pada perhitungan pragmatis. "Ideologi presiden yang simplistis
itu juga bertarung dengan kepentingan Amerika yang lain," tulis
tajuk harian terkemuka The New York Times akhir Juni lalu.
BETAPA pun, ada harapan bahwa Reagan juga akan memperhatikan
kenyataan politik di sekitarnya. Contohnya: sejak pekan lalu di
Jenewa, Swiss, para perunding AS dan Uni Soviet memulai lagi
pembicaraan pembatasan persenjataan strategis.
Delapan belas bulan sebelumnya Reagan tak nampak berniat
meneruskan perundingan semacam itu -- yang di bawah Presiden
Nixon dan Carter dulu disebut SALT-I dan SALT-II, serangkaian
kesepakatan untuk membatasi persenjataan strategis. Alasan
Reagan AS terkebelakang dibanding Uni Soviet dalam persenjataan
nuklir. Itulah sebabnya Reagan berani menanggung defisit dalam
anggaran belanjanya, dengan lebih memberi dana bagi pertahanan.
Kini Reagan nampaknya harus memperhatikan derasnya gerakan
antisenjata nuklir yang melanda Eropa dan AS. Pembicaraan di
Jenewa yang disebut START itu (dari Strategic Arms Reduction
Talks, atau rundingan tentang pengurangan senjata strategis)
sebagian disebabkan oleh kian derasnya protes untuk perdamaian
itu.
Toh tak berarti Reagan lebih lunak kata dan langkahnya terhadap
Uni Soviet. Di depan Sidang Perlucutan Senjata PBB bulan lalu ia
menyerang Uni Soviet sebagai "tirani". Usul pokoknya dalam START
juga terutama diarahkan untuk mengurangi kekuatan misil balistik
antarbenua (ICBM). Senjata itu merupakan 75% kekuatan nuklir
Soviet, sedangkan cuma 25% kekuatan nuklir AS yang berpangkalan
di darat. AS memang lebih banyak punya SLBM, atau misil balistik
dari kapal selam. Perbandingannya sekitar 5: 1,5 dengan Soviet.
Orang pun memperhitungkan, bahwa perundingan START yang
dilakukan dua kali seminggu itu bakal berlangsung lama sekali.
Sementara ia berjalan, banyak kejadian bisa mempengaruhi
hasilnya. Pengalaman menunjukkan bahwa gara-gara invasi Soviet
ke Afghanistan, misalnya, Kongres AS belum juga mau meratifikasi
SALT-II setelah tujuh tahun berunding. Kini, suatu keadaan yang
gawat seperti yang bisa berkembang dari kasus Libanon (baca
Laporan Utama) bisa saja menggagalkan START sama sekali,
meskipun tentang invasi Israel itu, Uni Soviet cuma omong besar.
Melihat itu semua, sama dengan melihat soal-soal besar yang
teronggok di depan menteri luar negeri baru George Shultz. Dia
dinilai bisa bekerja dalam tim, para pembantu dekat Reagan di
Kantor Oval. Siapa tahu, dia juga bisa memperkaya ide-ide di
Gedung Putih, hingga tak ada kesan lagi bahwa di sana yang ada
hanya gambar hitam-putih tentang dunia internasional. Shultz
banyak bepergian. Dia teman dekat Kanselir Jerman Barat Schmidt.
Ia bisa melucu di depan pemimpin Soviet, Brezhnev. Dia juga
tentu bisa melucu di depan Reagan -- lebih menyenangkan
ketimbang Haig.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini