Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Luar Negeri Malaysia pada Kamis, 6 Februari 2025, menilai proposal relokasi terhadap warga Palestina sebagai tindakan pembersihan etnis dan melanggar hukum internasional. Komentar itu disampaikan untuk membalas usulan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang ingin mengambil alih Gaza.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Malaysia menentang segala bentuk proposal yang bisa mengarah pada relokasi atau gerakan memindahkan warga Palestina dari Tanah Air mereka. Tidakan tidak berperikemanusiaan itu adalah pembersihan etnis dan melanggar hukum internasional serta sejumlah resolusi PBB,” demikian keterangan Kementerian Luar Negeri Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Luar Negeri Malaysia mendukung solusi dua negara sebagai jalan untuk mewujudkan perdamaian dan stabilitas. Malaysia yang sebagian besar warganya beragama Islam, sangat mendukung warga Palestina dan menyuarakan solusi dua negara atas konflik Israel Palestina. Malaysia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel.
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menjalin hubungan yang baik dengan Hamas, namun tidak punya sangkut-paut dengan kelompok bersenjata itu.
Penolakan usulan relokasi terhadap warga Palestina di Gaza, juga ditentang Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Rabu, 5 Februari 2025,. Dia menekankan pentingnya mencegah "segala bentuk pembersihan etnis" terhadap warga Palestina di tengah gencatan senjata di Jalur Gaza.
Dia menyinggung kehancuran dan "horor yang sulit dibayangkan" akibat genosida di Gaza. Jumlah korban tewas akibat genosida Israel di Gaza hampir mencapai 50.000 jiwa, 70 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
"Sebagian besar infrastruktur sipil di Gaza, termasuk rumah sakit, sekolah, dan fasilitas air, telah hancur. Hampir seluruh penduduknya harus mengungsi berkali-kali, menghadapi kelaparan dan penyakit," kata dia.
Dia menambahkan anak-anak di Gaza juga kehilangan akses terhadap pendidikan, yang menciptakan "generasi tanpa tempat tinggal dan mengalami trauma." Guterres pun mengungkapkan rasa "keprihatinan yang mendalam" atas meningkatnya kekerasan oleh pemukim ilegal di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Sumber: Reuters
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini