Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Hong Kong – Sejumlah konglomerat Hong Kong dikabarkan mulai mengalihkan aset yang dimilikinya ke negara lain pasca merebaknya kontroversi pembahasan RUU Ekstradisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca juga: 5 Poin Menarik Soal Kontroversi RUU Ekstradisi Hong Kong
Ini karena RUU itu menimbulkan kekhawatiran tersangka kriminal bisa diekstradisi ke Cina, yang memiliki sistem hukum tidak transparan seperti di Hong Kong.
Seorang konglomerat mengatakan dia mulai mengalihkan penyimpanan uang senilai US$100 juta atau sekitar Rp1.4 triliun ke sebuah rekening di Singapura.
“Ini sudah dimulai. Kami mendengar yang lain juga melakukannya. Tapi tidak seorangpun akan melakukan parade bahwa dia meninggalkan Hong Kong,” kata seorang penasehat keuangan seperti dilansir Channel News Asia mengutip Reuters pada Jumat, 14 Juni 2019.
Baca juga: Cina Dukung Hong Kong Soal RUU Ekstradisi
Penasehat keuangan yang meminta identitasnya dirahasiakan ini melanjutkan,”Ada kekhawatiran Beijing bisa mendapatkan aset Anda di Hong Kong. Singapura menjadi destinasi penyimpanan aset yang favorit.”
Hong Kong dan Singapura berkompetisi secara ketat menjadi pusat keuangan internasional. Jumlah kekayaan yang dimiliki para konglomerat Hong Kong membuat wilayah semi-otonomi ini menjadi pangkalan dana pribadi yang lebih besar.
Baca juga: Unjuk Rasa Menolak RUU Ekstradisi Hong Kong Digelar di Sydney
Menurut laporan dari lembaga keuangan Credit Suisse, ada sekitar 853 individu yang memiliki dana di atas US$100 juta. Ini membuat jumlahnya lebih dari dua kali lipat jumlah di Singapura.
RUU Ekstradisi yang sedang dibahas di Hong Kong saat ini menimbulkan kekhawatiran bagi warga, ekspatriat ataupun turis yang sedang melakukan perjalanan di sana.
Ketentuan ekstradisi yang diatur dianggap mengancam kedaulatan hukum Hong Kong, yang menjadi ciri khas sebagai pusat keuangan global.
Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, seperti dilansir Reuters sebelumnya, mengatakan tetap bakal menyelesaikan pembahasan RUU Ekstradisi ini. Dia beralasan ketentuan ekstradisi itu bisa menutup celah hukum yang kerap dimanfaatkan oleh para buron, yang membuat masalah di Cina.
Baca juga: Empat Organisasi Jurnalis Tolak RUU Ekstradisi Hong Kong
Menurut dia, pengadilan akan tetap menjaga HAM publik dalam penerapan ketentuan ini.
Sikap pemerintah ini memicu dua kali aksi unjuk rasa pada Ahad, yang diperkirakan diikuti ratusan ribu orang, dan aksi unjuk rasa kedua pada Rabu kemarin, yang berakhir bentrok.
Polisi menembaki pengunjuk rasa menggunakan peluru karet dan gas air mata. Mereka juga menggunakan tongkat serta semprotan merica untuk membubarkan massa yang memaksa masuk ke gedung parlemen, tempat pembahasan RUU Ekstradisi sedang berlangsung.
Akibat kerusuhan ini, pemerintah dan parlemen atau Dewan Legislatif Hong Kong memutuskan untuk menunda tanpa batas waktu pembahasan RUU kontroversial ini. Belakangan muncul isu pemerintah kemungkinan tidak akan mengejar target pengesahan yaitu pada 20 Juni sehingga bisa molor hingga Juli atau seusai masa reses.