Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Pakistan, politik tak lagi berhenti di gedung parlemen. Pertikaian antara dua partai politik yang pernah bahu-membahu melawan musuh bersama telah meluap ke jalan-jalan.
”Kami akan melanjutkan protes di dalam dan di luar parlemen,” ujar pemimpin oposisi, Chaudhry Nisar Ali Khan, Rabu pekan lalu. Anggota parlemen dari Partai Liga Muslim (PML-N) itu hanya sekejap berada di dalam ruang sidang. Hari itu mereka punya agenda kedua: boikot sidang parlemen.
Di Lahore, beberapa hari sebelumnya situasi lebih liar. Sekitar 3.000 pendukung partai yang dipimpin bekas perdana menteri Nawaz Sharif itu mengumbar kemarahan di jalanan utama Lahore, ibu kota Provinsi Punjab. Mereka berteriak mengutuk Presiden Asif Ali Zardari yang juga pemimpin Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang berkuasa: ”Enyahlah Zardari!” Batu melesat ke arah polisi, yang membalasnya dengan tembakan gas air mata.
Massa merusak baliho iklan, foto raksasa Presiden Asif Ali Zardari compang-camping, lampu lalu lintas pecah, dan arus lalu lintas macet karena bakaran ban. ”Jika seseorang berpikir mereka dapat berpolitik tanpa Nawaz Sharif di negeri ini, dia salah besar,” kata Raja Nasir Mahfoz, pengunjuk rasa. Di istana presiden, Zardari gusar. Ia menetapkan keadaan darurat di Punjab selama dua bulan. Bursa saham panik karena investor membayangkan bencana: stabilitas politik akan goyang-ganjing.
Kemarahan massa pendukung PML-N disulut keputusan Mahkamah Agung di Lahore yang melarang Nawaz Sharif terlibat kegiatan politik menantang Presiden Asif Ali Zardari dalam pemilihan presiden pada 2013. Hakim menuduh Nawaz terlibat tindak kriminal dan korupsi.
Menurut hakim, Nawaz saat menjabat perdana menteri terbukti melarang pesawat Pakistan yang membawa Jenderal Pervez Musharraf mendarat pada 12 Oktober 1999. Saat itu Musharraf menjabat komandan angkatan darat. Pesawat itu akhirnya mendarat di bumi Pakistan, dan Musharraf menggulingkan Nawaz lewat kudeta militer.
Pengadilan juga mencopot jabatan saudara lelaki Nawaz, Shahbaz Sharif, sebagai kepala pemerintahan di Negara Bagian Punjab. Tuduhannya banyak: pembunuhan, mengemplang utang bank, dan mencemooh pengadilan. Shahbaz ditendang dari kantornya tanpa upacara protokoler di Lahore. Dengan vonis hakim itu, Sharif bersaudara tak akan pernah lagi menjadi anggota parlemen. ”Saya belum pernah melihat vonis seperti ini dalam karier saya,” ujar ahli hukum S.M. Zafar.
Meski berseteru pada masa lalu, kongsi politik PPP dan PML-N sebenarnya ideal bagi stabilitas politik Pakistan, karena keduanya partai besar. Tapi persekutuan mulai goyang setelah Zardari terpilih sebagai presiden. Penyebabnya, Zardari menolak janjinya mengembalikan jabatan bekas Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Mohammed Chaudhry dan sejumlah hakim agung lainnya yang didepak bekas presiden Musharraf. Nawaz menuduh Zardari menghalangi Chaudhry kembali ke Mahkamah Agung, karena khawatir kasus korupsinya kembali dibuka. ”Agenda Pak Zardari sangat berbeda dengan agenda nasional,” ujar Nawaz.
Bagi Nawaz, Zardari sama saja dengan Musharraf, yang menggunakan kekuasaannya mempengaruhi pengadilan untuk menggusur Nawaz dari panggung politik. Nawaz pun ngotot. ”Tak kan ada rekonsiliasi tanpa pengembalian jabatan Chaudhry,” ujar Nawaz. Tapi pendukung Zardari membantah tuduhan itu. ”Ini vonis hakim,” ujar Ketua Partai Kekuatan Rakyat Punjab Qazim Zia.
Luka lama kembali menganga. Konflik Sharif dan Zardari dikhawatirkan kembali menggoyang stabilitas politik Pakistan sebagaimana yang terjadi pada 1990-an, ketika PPP yang masih dipimpin mendiang Benazir Bhutto—istri Zardari—dan Nawaz Sharif, pemimpin PML, saling menjatuhkan. Puncaknya malah Musharraf menggelar kudeta militer pada 1999. ”Masa depan demokrasi akan menjadi tanda tanya besar,” ujar Hasan Askari Rizvi, analis politik di Lahore.
Menurut Hasan, kabinet akan sulit menjalankan pemerintahan karena PPP dan PML-N cakar-cakaran. ”Kami sangat butuh rekonsiliasi nasional,” ujar Asfandyar Wali, pemimpin Partai Nasional Awami, Asfandyar Wali.
Apalagi konflik Sharif dan Zardari ini dapat melemahkan upaya menghadapi kelompok Taliban dan Al-Qaidah, yang telah menewaskan 1.600 orang dalam dua tahun ini. ”Pengadilan seharusnya mempertimbangkan situasi. Konflik ini hanya akan menghasilkan konfrontasi politik,” ujar analis politik Shafqat Mahmud.
Suhu politik bakal makin runyam ketika asosiasi pengacara mendukung tuntutan Nawaz Syarif memulihkan jabatan hakim Iftikhar Mohammed Chaudhry. Bagi pengacara itu, Chaudhry adalah simbol independensi lembaga peradilan. Kini mereka menyiapkan pawai pada 12 Maret mulai dari Queta, Karachi, Rawalpindi, Lahore, dan berakhir di ibu kota Islamabad pada 16 Maret.
Kekuatan asosiasi pengacara sudah terbukti saat menggulingkan Presiden Musharraf. Merekalah yang mulai menggelar demonstrasi menentang Musharraf dan yang belakangan mengundang partai oposisi ikut menggedor kekuasaan Musharraf. Kini sasaran mereka Presiden Asif Ali Zardari.
Raihul Fadjri (Dawn, The News, AP, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo