Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun lalu, Sofia menempuh perjalanan jauh dari Prancis menuju Dubai, Uni Emirat Arab. Pekerjaan di bidang periklanan sudah menunggu. Di mata perempuan lajang berusia 34 tahun itu, Dubai adalah masa depan. Ekonomi Dubai yang tumbuh dengan cepat membuatnya yakin bisa hidup layak. Ia pun membeli sebuah apartemen seharga US$ 300 ribu (sekitar Rp 3,3 miliar) dengan kredit properti selama 15 tahun.
Akhir bulan lalu, mimpi Sofia runtuh berkeping-keping. Ia diberhentikan dari pekerjaan karena perusahaan multinasional tempatnya bekerja dilanda krisis. Ia harus menghadapi nasib yang tak jelas: hengkang dari kota di Teluk Persia itu atau dipenjara karena mengemplang utang. ”Saya takut menghadapi apa yang akan terjadi,” katanya dengan wajah murung.
Sofia hanya satu dari lebih dari sejuta ekspatriat yang menetap dan bekerja di Dubai. Kota dengan luas hampir menyamai Pulau Bali ini merupakan kota nomor dua terpadat di Uni Emirat Arab. Penduduknya sekitar 2 juta orang dan 90 persen di antaranya adalah ekspatriat.
Berbeda dengan sebagian besar negara di Teluk Persia lain, minyak bukan penyumbang terbesar pendapatan negara. Total hanya 6 persen dari pendapatan negara—US$ 37 miliar pada 2006—yang berasal dari minyak.
Penyangga ekonomi Dubai adalah turisme, yang membuat Dubai menjadi surga belanja di Timur Tengah. Perdagangan dan proyek properti juga membuat wilayah yang diperintah dinasti Al-Maktoum ini menjadi ladang hidup yang menjanjikan. Pantas jika para ekspatriat mengadu nasib di sini. Termasuk para imigran tanpa keahlian yang bekerja kasar atau menjadi pembantu rumah tangga.
Sebagian besar pendatang adalah warga Amerika dan Eropa yang punya jabatan tinggi dan berpenghasilan ratusan ribu dolar sebulan. Mereka hidup mewah. Membeli properti dan mobil mewah keluaran terbaru merupakan hal biasa. Ketika krisis finansial global merontokkan Amerika dan Eropa, proyek properti yang dimiliki asing serta-merta menanggung derita. Para pekerja asing diberhentikan dan manajer dipanggil pulang.
Karena ekonomi utama ditunjang proyek properti milik asing itu, Dubai ikut terseret ke jurang krisis. Dubai pun berubah menjadi kota hantu. Jalan-jalan mulus yang semula disesaki mobil mewah kini lengang. Ratusan mobil dilelang dengan harga yang jatuh hampir separuhnya.
Di bandar udara Dubai, pemandangan jauh lebih menyedihkan. Ribuan mobil mewah keluaran terbaru dibiarkan parkir begitu saja oleh pemiliknya. Mereka memilih pulang kampung dan menelantarkan mobil kinclong yang baru saja mereka beli lewat kredit. Di antara mobil mewah itu, ada yang menyelipkan kartu kredit pemiliknya, disertai catatan permintaan maaf karena tak mampu mencicil, yang ditempel di kaca depan.
Tanda-tanda badai ekonomi sebenarnya sudah terasa sejak akhir tahun lalu. Pemerintah membatalkan tak kurang dari 1.500 visa kerja setiap hari. Pihak bank juga mencatat kredit properti menjadi penyumbang terbesar runtuhnya ekonomi. Simon Williams, kepala bank HSBC di Dubai, menyebut harga properti anjlok sekitar 30 persen dalam dua-tiga bulan terakhir. Padahal enam tahun lalu Dubai menikmati pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan karena penjualan properti yang menggiurkan.
Kini proyek properti itu terbengkalai begitu saja. Palm Jumeira, pulau buatan yang menjadi landmark pertumbuhan kota, disebut-sebut bakal tenggelam. Hotel-hotel yang dibangun di puncaknya hanya diisi kecoak.
”Orang-orang mulai panik,” kata Hamza Thiab, warga Irak berusia 27 tahun, yang mengadu nasib di Dubai. Ia meninggalkan Bagdad tiga tahun lalu untuk bekerja di perusahaan konstruksi. Seorang insinyur sekelas Thiab dibayar 15 ribu dirham atau sekitar US$ 4.000 sebulan. Bulan lalu ia diberhentikan. ”Saya diberi waktu hingga akhir bulan ini untuk mencari pekerjaan baru,” katanya dengan wajah lesu. ”Jika tidak, saya harus pergi.”
Dalam dua bulan, ia hanya dipanggil wawancara oleh dua perusahaan. ”Pusing. Saya harus mencari cara mencicil Honda Civic yang baru saya beli,” katanya.
Kini, seraya menghabiskan hari-harinya sebagai pengangguran, Thiab duduk di Costa Coffee Shop, tempat kongko para bujangan. Jika tidak, hari-harinya ia lewati dengan merokok atau tidur. ”Dulu kami hidup senang di sini,” katanya. ”Kini, membayar cicilan pun kami tak mampu. Yang ada hanya sakit kepala.” Matanya menerawang jauh.
Angela Dewi (AP, NY Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo