Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mampukah ia memerintah ? adakah ia hanya seorang betina ...

Rakyat pakistan merayakan kemenangan benazir bhutto. ia orator ulung. militer tak turut urusan politik. pakistan negeri bersendikan islam. ppp dianggap sekuler, para ulama tak mau dipimpin wanita.

26 November 1988 | 00.00 WIB

Mampukah ia memerintah ?  adakah ia hanya seorang betina ...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
INI bukan pesta gila sesudah subuh. Pagi itu, ingar terdengar di depan sebuah rumah mewah di Kota Larkana, di Provinsi Sind, Pakistan. Ratusan orang berjingkrak-jingkrak sambil bernyanyi, diiringi dentuman tambur yang dipadu dengan tiupan klarinet dan bagpipe. Mereka tak peduli pada tetangga yang masih tidur nyenyak. Sayang, si empunya rumah, Benazir Bhutto, tak sanggup menahan rasa mengantuk dan letih. Dia tak keluar. Maklum, pada Kamis pekan lalu itu, dia harus memelototi pesawat TV sampai senja hari. Dia menyaksikan perhitungan terakhir hasil pemungutan suara dari pemilihan umum yang baru berlangsung, yang kemudian membuktikan keunggulannya. Meskipun ini sebuah keunggulan yang justru penuh kesulitan. Tapi toh pesta kemenangan marak di seantero Pakistan. Rakyat tumplek di jalanan. Mereka mengarak ribuan poster Benair dan ayahnya, mendiang Perdana Menteri Ali Bhutto. Ribuan kendaraan bermotor memekakkan telinga dengan bunyi klakson tiada henti. Lalu lintas di seiap kota macet. Memang wajar kalau rakyat Pakistan mendadak jadi urakan. Saat itu adalah hari pertama bagi mereka menikmati kemenangan politik setelah 11 tahun ditongkrongi oleh mendiang Presiden Zia ul Haq. Terlebih bagi para pengikut Ali Bhutto, yang di tahun 1979 dihukum gantung mati di bawah kekuasaan Zia. Dan ternyata, Partai Rakyat Pakistan (PPP), yang dikomando oleh duet Benazir dan ibunya, memang menang. Dari 205 kursi parlemen yang diperebutkan, partai oposisi itu berhasil menyabet 92 kursi. Sedangkan Aliansi Demokratik Islami (IDA), lawan terberat PPP, cuma berhasil menggaet 54 kursi. Sisanya dicomot oleh 8 partai kecil dan politikus independen. Belum termasuk 30 kursi tambahan yang dicadangkan bagi 10 politikus non-Islam dan 20 wanita. Tak tanggung-tanggung pula, Benazir sendiri sukses merebut tiga kursi sekaligus. Yaitu dari daerah pemilihan Kota Larkana, Lahore, dan Karachi. Dan itu sah, karena konstitusi Pakistan tak melarang seorang calon maju di beberapa daerah sekaligus. Sebaliknya, IDA hanya berhasil mengegolkan Nawaz Sharif, Menteri Besar Negara Bagian Punjab, seorang pengagum fanatik Zia. Calon-calon utama lainnya keok. Termasuk ketua IDA Mustafa Jatoi, dan bekas Perdana Menteri Mohamad Khan Junejo. Persoalan pertama yang pokok: relakah pejabat Presiden Ghulam Ishaq Khan memberikan kursi perdana menteri kepada Benazir? Di hari pesta kemenangan itu, jawabnya tak sepenuhnya jelas. Ghulam adalah pendukung Zia. Dan pada masa kampanye, Benazir berjanji, "Saya akan menendang semua orang Zia." Akan ditendang atau tidak, posisi Ghulam penting, karena konstitusi Pakistan memberi hak penuh pada presiden untuk mengangkat dan memberhentikan perdana menteri. Mendiang Presiden Zia pernah membuktikan keampuhan hak itu bulan Mei lalu. Dia memecat Perdana Menteri Mohamad Khan Junejo dan membubarkan parlemen hasil pemilu tahun 1985. Bedanya kini, Ghulam jelas bukan Zia, yang didukung penuh oleh militer, sehingga tak bisa berbuat seenaknya. Karena itu, dia tak bisa memberi jawaban segera. Ia harus berunding dulu dengan pihak militer agar tak salah mengambil keputusan. Sebab, bisa jadi, para jenderal di sana tak mau melihat demokrasi sebebas itu mengacaukan Pakistan kembali. Siapa tahu, mereka menghendakl berbagai konsesi dari Benazir. Kabar pekan lalu cukup cerah. Satu sumber menyatakan bahwa Pangab Pakistan, Jenderal Mirza Aslam Beg, sudah menelepon Benazir mengucapkan selamat. Dikatakan juga, orang nomor satu di kalangan militer, ini menjanjikan pengalihan kekuasaan akan berjalan damai. Pihak militer tampaknya ingin menunjukkan itikadnya, untuk tidak sekali lagi terjebak dalam rawa-rawa politik. Pemilu kali ini pun bisa berjalan mulus lantaran militer tak mau lagi ikut campur dalam soal politik. Yang dikhawatirkan adalah kalau sikap itu diambil karena semula para jenderal yakin betul para pengikut Zia bakal keluar sebagai pemenang. Kemenangan Benazir -- dan mungkin kesulitannya dalam memerintah nanti bisa saja mengubah sikap militer yang semula membiarkan. Apalagi dulu, di masa Zia, mereka bisa bebas malang-melintang di kancah bisnis tanpa, misalnya, dihantui oleh petugas pajak, di samping menghambat karier orang lain, karena banyak di antara perwira yang setelah pensiun jadi pejabat tinggi di pemerintahan. Niat baik militer terhadap kehidupan politik baru ini memang selama ini masih diragukan. Sebelum pemilu, pemerintah mewajibkan semua pemilih memiliki kartu identitas khusus agar tak bisa memberikan lebih dari satu suara. Bagi Benazir, kewajiban itu tak masuk akal lantaran 3/4 pemilih buta huruf, sehingga mereka akan mengalami kesulitan untuk mengurus kartu semacam itu. Gugatan lewat pengadilan untuk membatalkan kewajiban itu sudah dilakukan Benazir sejak beberapa bulan lalu. Sayangnya, sampai pemilu berakhir, gugatan itu belum mendapat jawaban. Maka, para perancang taktik dan strategi PPP menjatuhkan vonis, persentase pemasukan suara yang rendah adalah akibat dari kewajiban itu. Di Larkana, misalnya, diperkirakan jumlah pemilih yang menggunakan haknya kurang dari 50%. Yang menarik adalah sikap panitia pemilu di Lahore. Para pemilih harus menunjukkan kartu asli, bukan fotokopi, dan surat keterangan polisi tentang kehilangan kartu itu dianggap tak berlaku. Sementara itu, "banyak pemilih tak punya kartu," kata seorang pengawas pos pemungutan suara dekat Islamabad. Menurut PPP, karena kartu mereka tak dikeluarkan. Entah siapa sebenarnya yang beritikad tidak baik. Yang jelas, banyak orang percaya, rakyat lebih banyak yang berpihak pada PPP lantaran bosan menyaksikan penyalahgunaan kekuasaan dan gaya hidup wah orang-orang dekat Zia. Tapi juga harus diakui, masih ada faktor-faktor lain yang mendukung kejayaan Benazir. Perpecahan dalam tubuh IDA juga berjasa bagi Benazir. Bukan rahasia lagi, kekuatan aliansi itu terpecah pada dua kutub: Junejo dan Nawaz. Keduanya berasal dari Liga Muslim Pakistan (PML), bekas partai yang menjadi tulang punggung IDA. Maka, penampilan IDA tak pernah mengesankan sebagai sebuah kekuatan politik yang utuh. Apalagi para calon utamanya juga menunjukkan mimat menjadi perdana menteri. Junejo, di satu pihak, tak bisa menerima pemecatannya sebagai perdana menteri oleh Zia. Dia tak mau mencabut janji yang diucapkan ketika dipecat. "Saya tak mau berkompromi dengan Zia." Nawaz sebaliknya. Selama masa kampanye, dia selalu menampilkan diri sebagai penerus cita-cita Zia dan suka menyebut istilah Ziaisme. PML adalah partai berasas ajaran Islam yang didirikan oleh Zia. Hanya saja, sejak Junejo berhasil menggaet kursi perdana menteri pada pemilu non-partai pada tahun 1985, PMI jadi cenderung melepaskan diri dari cengkeraman Zia. Junejo, yang juga ketua PML, beberapa bulan sebelum dipecat bahkan merencanakan untuk memotong anggaran militer. Padahal, itu jelas bertentangan dengan kehendak Zia. Nama besar Zulfikar Ali Bhutto tentu juga tak bisa diabaikan. Buktinya, para pendukung PPP selalu mengarak poster bekas perdana menteri itu di setiap acara kampanye. Sedangkan para calon PPP selalu mengungkit peristiwa penggantungan Ali Bhutto oleh rezim Zia. Mereka mengibaratkan Zia sebagai "pembunuh demokrasi" dan "sumber ketidakadilan", sedangkan keluarga Bhutto adalah "penegak demokrasi". Maka, gambar panah yang dijadikan simbol oleh PPP di kertas pemungutan suara dijadikan sumber tema yang paling disukai oleh para juru kampanye. "Pilihlah panah, yang langsung mengarah ke jantung ketidakadilan." Serangan IDA lain lagi. PPP dituduh sebagai penebar sekularisasi dan kolaborator musuh bebuyutan Pakistan -- Uni Soviet dan India. Itu memang ada benarnya, karena PPI adalah partai sosialis. Di masa kejayaan Ali Bhutto, Pakistan selalu bersikap anti-Amerika dan mempraktekkan pengambilalihan pemerintah terhadap industri-industri hulu. Benazir menjawab serangan itu dengan memberi prioritas pencalonan kepada para jutawan dan bangsawan termasyhur, terutama yang berasal dari Punjab. Ini tentu untuk mengambil hati kalangan yang takut kepada pengambilalihan dunia bisnis oleh pemerintah. Apalagi Punjab adalah propinsi paling menentukan dalam setiap pemilu. Bayangkan, dalam pemilu kali ini, misalnya, Punjab mendapat jatah 115 kursi parlemen. Atau lebih dari separuh dari seluruh kursi yang diperebutkan, sesuai dengan persentase penduduk Pakistan yang bermukim di sana. Bagaimana sikapnya terhadap Soviet? Ia mau mempererat hubungan dengan Soviet. Tapi dengan dua syarat: pasukan Soviet harus ditarik lebih dulu dari Afghanistan, dan rakyat Afghanistan bebas membentuk pemerintahan. Tapi Benazir hampir tak berbicara soal India. Memang risikonya besar. India masih memegang wilayah Kashmir, yang tetap diklaim sebagai milik Pakistan. Sebagian kaum Muhajir -- orang Islam India yang kabur ke Pakistan sejak pemisahan India-Pakistan pada tahun 1947 -- berasal dari sana. Dan dalam pemilu kali ini, Gerakan Nasional Muhajir (MNM) berhasil merebut 13 kursi: peringkat ketiga setelah IDA. Dengan begitu, mereka harus diperhitungkan Benazir. Apalagi, sesuai dengan konstitusi, seorang calon kepala pemerintahan harus dapat suara mayoritas di parlemen. Untuk itu PPP masih butuh 17 suara. Ada kemungkinan PPP akan mengajak MNM berkoalisi. Terakhir dikabarkan, 14 wakil IDA menyeberang masuk PPP. Tapi dengan kemenangan yang ciut, juga di tingkat provinsi, Benazir memang harus luwes. Apalagi ekonomi sedang rawan. Tahun lalu, Produk Domestik Bruto Pakistan memang naik 6,8%, dan laju inflasi turun dari 5% jadi 4%. Tapi di balik itu, kondisi anggaran belanjanya berat. Defisit mencapai US$3 milyar, atau sekitar 9% dari Produk Domestik Bruto (GDP). Sementara itu, utang bertumpuk dari US$9,7 milyar jadi US$11,7 milyar, dan cadangan devisa rontok menjadi US$1 milyar dari US$3,8 milyar yang pernah dicapai pada 1984. Selain itu, Benazir juga masih dibebani oleh laju pertumbuhan penduduk yang mencapai di atas 3% per tahun. Dan manusia yang kini 104 juta itu tiga perempatnya buta huruf. Handikapnya: dia perempuan di tengah masyarakat yang cenderung memandang wanita (bahkan termasuk Benazir) sejenis perabot dapur. Sejumlah ulama Pakistan bergabung dengan lawan PPP, karena selain PPP itu berbau "sekuler" -- tak mau dipimpin oleh wanita. Dikatakan, ajaran agama tak mengizinkan pria memakai wanita sebagai imam dalam sembahyang bersama -- maka, jadi pemimpin wanita juga tak boleh. Tapi pemilih Pakistan membuktikan, bahwa mereka, seperti orang Filipina, bisa menerima Si "Singa Betina" itu, tanpa peduli jenis kelaminnya. Apalagi Benazir bisa nampak tak seradikal suaranya. Baik PPP yang dipimpinnya maupun IDA yang dimusuhinya bicara sama: mau menegakkan ajaran Islam -- meskipun mungkin dengan isi yang lain. Maklum, ini Pakistan. Dan itu setidaknya satu isyarat kompromi: hal yang sering tak bisa dielakkan dalam proses demokrasi. Praginanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus