Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Telepon dari jenderal beg

Panglima ab pakistan mirza aslam beg mengucapkan selamat atas kemenangan benazir bhutto. militer tak turut campur dalam pemilu. diduga kerusuhan di pakistan acap didalangi pihak militer.

26 November 1988 | 00.00 WIB

Telepon dari jenderal beg
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DI antara ratusan telepon yang diterima Benazir Bhutto pekan lalu, ada satu yang penting. Itulah panggilan dari Jenderal Mirza Aslam Beg, Panglima Angkatan Bersenjata Pakistan. Sebab, selain mengucapkan selamat pada Benazir atas perolehan suara yang diraih partainya, penguasa militer Pakistan ini juga menjanjikan bahwa perpindahan kekuasaan akan berjalan mulus. Jaminan sang jenderal pasti melegakan Benazir. Sebab, peranan militer dalam politik negeri ini amat besar. Terbukti kekuasaan militer sempat menguasai negara ini cukup lama. Lebih dari separuh umur negara yang 1 tahun itu. Keluarga Bhutto sendiri yang merasakan betul pahit manisnya berhubungan dengan militer. Mendiang Ali Bhutto naik ke kursi perdana menteri setelah Jenderal Yahya Khan mengundurkan diri setelah Pakistan Timur jadi Bangladesh di tahun 1971. Tapi Bhutto kemudian tewas di tiang gantungan atas perintah Jenderal Zia, yang dipilihnya menjadi Pangab, kendati tak disetujui dewan jenderalnya. Maka, wajarlah jika ada kekhawatiran bahwa hubungan Benazir dan militer akan dipenuhi ranjau dendam. Namun, Benazir ternyata cukup bijak. "Saya hanya memusuhi yang menandatangani surat perintah penggantungan ayah saya," katanya dengan tegas. Dan untuk menangkis tuduhan bahwa ia antimiliter, Benazir mengingatkan massa betapa di zaman mendiang ayahnya berkuasa anggaran militer mencapai puncak tertingginya. Upaya merangkul militer memang sangat penting bagi Benazir. "PPP hanya dapat memenangkan pemilu jika pihak militer tak turut campur," kata Nasir Abas, wartawan politik harian independen, The Muslim. Terbukti dalam pemilihan lalu pihak militer mematuhi perintah Panglimanya untuk tidak main dalam politik. Perintah itu sebetulnya berlebihan. Sebab, konstitusi Pakistan jelas-jelas menetapkan kepemimpinan sipil di atas militer. Hanya saja, kekacauan politik pada 1958 memaksa Jenderal Ayub Khan mengambil alih kekuasaan "untuk menyelamatkan negara" suatu awal dari zaman "hukum darurat perang". Langkah militer itu ternyata disambut rakyat dengan hangat. Maklum, ketika itu kemuakan terhadap para politikus sedang memuncak: seperti di Indonesia sebelum 1958, pemerintahan politik jatuh bangun dalam waktu sangat singkat. "Bayangkan, dalam tempo dua setengah tahun kami mempunyai empat perdana menteri dengan empat kabinet," tutur Brigjen. (Purn.) Noor Hussain, bekas direktur Institute of Strategic and International Studies yang aktif menjadi kolomnis politik. Pemerintahan militer waktu itu memang membuktikan dirinya tak jatuh bangun. Ayub Khan mungkin akan berkuasa seumur hidup jika tak dikudeta Pangabnya, Jenderal Yahya Khan, 25 Maret 1969. Dan Yahya Khan mungkin tetap akan berkuasa jika Pakistan Timur tidak merdeka menjadi Bangladesh, 1971. Namun, jatuhnya Yahya Khan tak berarti berakhirnya era hukum darurat perang. Perdana Menteri Ali Bhutto memanfaatkan kekuasaan istimewa ini untuk melahirkan UUD 1973, yang lebih memperkuat posisinya ketimbang pendahulunya, UUD 1956. Konstitusi 1973 ini memang terbukti ampuh mempertahankan Bhutto di puncak kekuasan. Namun, tak berdaya menghadapi ambisi Jenderal Zia ul Haq yang merebut kekuasaan, 1977. Hukum darurat perang pun kembali berlaku. Hukum darurat perang memang selalu dijadikan andalan para tokoh militer Pakistan. Di zaman mendiang Jenderal Zia ul Haq, misalnya, alasan yang digunakan adalah kestabilan negara. Terlibatnya Pakistan dalam konflik Afghanistan membantu Zia menambah alasan baru. Sebab, kehadiran jutaan pengungsi -- kebanyakan bersenjata -- tentu cukup menggoyangkan ketertiban. Belum lagi arus senjata dari medan perang yang memasuki pasar gelap Pakistan. Diperkirakan, terdapat 300 ribu AK 47 beredar di pasar gelap itu, belum lagi dari jenis lainnya. Pengaruh kekerasan memang terasa. Perang antarsuku dengan menggunakan senjata api menghiasi berita rutin di media Pakistan. Di Karachi sedikitnya sempat terjadi dua kerusuhan antar puak yang menewaskan lebih dari seratus orang. Anehnya, kerusuhan itu menjadi senyap menyusul tewasnya Zia Agustus lalu. "Ini membuktikan bahwa kerusuhan selama ini didalangi pihak militer," kata Nasir Abas. Apalagi Zia tak mati sendirian, melainkan bersama 20 perwira tinggi andalannya. Termasuk Jenderal Akhtar, yang dikenal sebagai ahli siasat politik itu. Tentu saja tuduhan Abas sulit dibuktikan. Namun, kenyataannya keadaan tenteram sempat berjalan cukup lama. Baru menjelang pemilihan umum beberapa kerusuhan kembali meledak. Sesuatu yang wajar, mengingat suhu politik selalu meningkat di saat-saat seperti itu. Ada juga kemungkinan mendiang Zia tak secara sengaja mengobarkan kerusuhan antarpuak. Niatnya menghancurkan pengaruh partai politik, dengan cara mengadakan pemilihan umum tanpa partai politik, memang mempunyai dampak samping. "Sistem ini menyebabkan timbul perpecahan berdasarkan sekte dan etnis," kata Noor Hussain. Maklum, tanpa naungan partai, apa lagi yang dapat diandalkan sebagai pemersatu massa selain masalah sekte dan etnis. Kini, diharapkan semua itu sudah jadi masa silam. Kini, militer membiarkan pemilu berjalan tanpa intervensi mereka. Sejauh ini belum perlu memang meragukan jaminan Jenderal Beg. Namun, Benazir tentu tak lupa: Zia juga pernah memberi jaminan serupa kepada mendiang ayahnya. Bambang Harymurti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus