Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Mantan Diktator Korea Selatan Chun Doo-hwan Meninggal

Mantan Presiden Korea Selatan Chun Doo-hwan, yang memerintah Korea Selatan dengan tangan besi setelah kudeta militer 1979, meninggap pada usia 90.

23 November 2021 | 10.48 WIB

Mantan Presiden Korea Selatan Chun Doo-hwan berangkat ke pengadilan di Seoul, Korea Selatan, 9 Agustus 2021. [Yonhap via REUTERS]
material-symbols:fullscreenPerbesar
Mantan Presiden Korea Selatan Chun Doo-hwan berangkat ke pengadilan di Seoul, Korea Selatan, 9 Agustus 2021. [Yonhap via REUTERS]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Presiden Korea Selatan Chun Doo-hwan, yang memerintah Korea Selatan dengan tangan besi setelah kudeta militer 1979 yang memicu protes demokrasi besar-besaran, meninggal pada Selasa dalam usia 90 tahun, kata mantan ajudan persnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Chun Doo-hwan menderita komplikasi myeloma, kanker darah yang sedang dalam remisi, dan kesehatannya memburuk baru-baru ini, kata mantan sekretaris persnya Min Chung-ki, dikutip dari Reuters, 23 November 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia meninggal di rumahnya di Seoul pagi hari dan tubuhnya akan dipindahkan ke rumah sakit untuk pemakaman di kemudian hari.

Sebagai seorang mantan komandan militer, Chun memimpin pembantaian tentara Gwangju tahun 1980 terhadap demonstran pro-demokrasi. Dia divonis hukuman mati tetapi hukumannya diringankan kemudian.

Mantan jenderal Angkatan Darat itu naik ke tampuk kekuasaan setelah melakukan kudeta setelah pembunuhan Presiden Park Chung-hee pada tahun 1979 dan memerintah Korea Selatan hingga 1988.

Pada tahun 1980, Chun memerintahkan tindakan keras mematikan terhadap pemberontakan sipil Gwangju, menyebabkan lebih dari 200 orang tewas dan 1.800 lainnya terluka, menurut data resmi konservatif, dilaporkan Yonhap.

Kematiannya terjadi sekitar sebulan setelah mantan presiden lainnya dan rekan kudetanya Roh Tae-woo, yang memainkan peran penting namun kontroversial dalam transisi negara yang bermasalah menuju demokrasi, meninggal pada usia 88 tahun.

Chun, selama persidangan pertengahan 1990-an, membela diri bahwa kudeta diperlukan untuk menyelamatkan bangsa dari krisis politik dan membantah mengirim pasukan ke Gwangju.

"Saya yakin saya akan mengambil tindakan yang sama, jika situasi yang sama muncul," kata Chun di pengadilan.

Chun lahir pada tanggal 6 Maret 1931, di Yulgok-myeon, sebuah kota pertanian miskin di daerah tenggara Hapcheon, selama pemerintahan Jepang atas Korea.

Dia bergabung dengan militer langsung dari sekolah menengah, naik pangkat sampai dia diangkat menjadi komandan pada tahun 1979. Mengambil alih penyelidikan pembunuhan Presiden Park Chung-hee tahun itu, Chun mendekati sekutu militer kunci dan mendapatkan kendali badan intelijen Korea Selatan untuk memimpin kudeta 12 Desember.

"Di depan organisasi paling kuat di bawah kepresidenan Park Chung-hee, itu mengejutkan saya betapa mudahnya (Chun) menguasai mereka dan betapa terampilnya dia memanfaatkan keadaan. Dalam sekejap dia tampak telah tumbuh menjadi raksasa," Park Jun-kwang, bawahan Chun selama kudeta.

Mantan presiden Korea Selatan Chun Doo-hwan, dikelilingi oleh pengawal, berjalan di bawah lentera doa Buddha di kuil Chogye di Seoul, 30 Desember 1997. [REUTERS/Lee Young Ho]

Delapan tahun pemerintahan Chun di Gedung Biru kepresidenan ditandai dengan kebrutalan dan represi politik. Namun, hal itu juga ditandai dengan meningkatnya kemakmuran ekonomi.

Chun mengundurkan diri dari jabatannya di tengah gerakan demokrasi nasional yang dipimpin mahasiswa pada tahun 1987 menuntut sistem pemilihan langsung.

Pada tahun 1995, ia didakwa dengan pemberontakan, pengkhianatan dan ditangkap setelah menolak untuk hadir di kantor kejaksaan dan melarikan diri ke kampung halamannya.

Selama persidangan, dia dan rekan konspirator kudeta dan Presiden penerus Roh Tae-Woo dinyatakan bersalah atas pemberontakan, pengkhianatan, dan penyuapan. Dalam putusannya, hakim mengatakan bahwa kenaikan kekuasaan Chun dilakukan melalui cara ilegal yang menimbulkan kerusakan besar pada rakyat.

Ribuan mahasiswa diyakini telah tewas di Gwangju, menurut kesaksian para penyintas, mantan perwira militer dan penyelidik.

Roh diberi hukuman penjara yang lama sementara Chun dijatuhi hukuman mati. Namun, hukuman diringankan oleh Pengadilan Tinggi Seoul karena peran Chun Doo-hwan dalam membangun ekonomi Korea Selatan menjadi macan Asia dan peralihan kepresidenan secara damai ke Roh pada tahun 1988.

Kedua pria tersebut diampuni dan dibebaskan dari penjara pada tahun 1997 oleh Presiden Kim Young-sam, dalam apa yang disebutnya sebagai upaya untuk mempromosikan "persatuan nasional."

Chun Doo-hwan kembali menjadi sorotan. Dia menyebabkan kehebohan nasional pada tahun 2003 ketika dia mengklaim total aset 291.000 won uang tunai, dua anjing dan beberapa peralatan rumah, sementara berutang sekitar 220,5 miliar won untuk denda. Keempat anaknya dan kerabat lainnya kemudian ditemukan memiliki petak besar tanah di Seoul dan vila-vila mewah di Amerika Serikat.

Keluarga Chun Doo-hwan pada tahun 2013 bersumpah untuk melunasi sebagian besar utangnya, tetapi denda yang belum dibayarnya masih berjumlah sekitar 100 miliar won hingga Desember 2020.

Pada tahun 2020, Chun dinyatakan bersalah dan menerima hukuman percobaan delapan bulan karena mencemarkan nama baik mendiang aktivis demokrasi dan imam Katolik dalam memoarnya pada 2017. Jaksa telah mengajukan banding dan Chun Doo-hwan menghadapi persidangan minggu depan.

REUTERS | YONHAP

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus