ARAB Saudi dan Iran tak mungkin dipersatukan. Kedua bangsa, meski sama-sama menegakkan kebudayaan Islam dan mempengaruhi hampir setiap fase sejarah Islam di dunia, juga dikenal sebagai saingan yang saling berebut pengaruh dan kekuasaan di Timur Tengah. Nabi Muhammad saw. sendiri sebetulnya sudah sejak awal berusaha mempersatukan keduanya. Dalam sejarah tercatat bahwa Salman al-Farisi, seorang sahabat besar asal Persia - dikenal sebagai arsitek pertama dalam Islam yang merancang pembangunan parit sekeliling Kota Madinah untuk menghambat serangan musuh - mendapat perlakuan cukup istimewa dari Nabi. Kata Nabi, dalam salah satu hadisnya "Salman adalah bagian dari kita." Atau dalam kalimat yang banyak dikutip kelompok Syiah, "Salman adalah anggota ahlulbait (rumah tangga) Nabi." Bagi orang Syiah, kedudukan ahli-bait hanya dikalahkan oleh kemuliaan Quran, sementara, .agl kelompok Suni, hadislah yang mesti dipegang setelah Quran. Perbedaan dalam memandang ahl bait itulah rupanya akan menjadi pertentangan dasar kedua kelompok, hingga sekarang. Kelompok Suni, sekitar 800 juta jiwa sekarang, menjadi mayoritas yang mendominasi dunia Islam - mulai dari Maroko hingga ke Indonesia. Sementara itu, sekitar 100 juta orang Syiah sebagian memerintah negeri Iran, sebagian menjadi mayoritas di Libanon, Irak, dan Bahrain. Pada awalnya, Iran didominasi kelompok Suni. Sesungguhnya, dari Khurasan (Iran)lah pembelaan teologis terhadap Sunisme datang. Yakni pada abad ke-10 dan ke-II, oleh guru-guru teologis seperti al-Ghazali dan al-Juwaini, ketika negara-negara Islam lainnya dikungkungi paham Syiah. Selain kedua tokoh itu, Iran juga melahirkan banyak tokoh keagamaan Suni, termasuk al-Razi dan ahli hadis al-Bukhari. Iran sendiri baru dipeluk pemerintahan Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab, abad ke-7. Umar dikenal sebagai sahabat besar Nabi yang menggantikan Khalifah Abubakar, penerus jejak Islam sepeninggal Nabi. Umar, yang dikenal tegas itu, tidak saja menaklukkan Persia (kala itu negeri perkuat kedua di dunia), tapi Juga menundukkan Romawi (superkuat pertama). Bagi sementara sahabat Nabi, kekhalifahan Abubakar dianggap tidak sah. Menurut mereka, Ali bin Abi Thalib yang mestinya jadi pewaris Nabi. Ali adalah ahlul-bait, orang terdekat (menantu sekaligus sepupu) Nabi yang - menurut pengikutnya - paling berhak meneruskan jabatan kekhalifahan. Tapi sebagian sahabat tetap bersiteguh dan membaiat Abubakar sebagai Khalifah di Saqifah Bani Saidah. Pada pembaiatan itu, Ali dan keluarganya serta sebagian sahabat lain sedan mengurusi jenazah Nabi. Alhasil, terjadilah sebuah pertentangan yang kemudian makin meruncing dan menimbulkan keretakan yang nyata. Ali sendiri tidak menempuh jalan keras, dengan alasan persatuan umat. Tapi ia, misalnya, sempat menolak salat Jumat selama 6 bulan pemerintahan Abubakar. Atas dasar inilah, antara lain, ulama Syiah menolak salat Jumat dalam masa pemerintahan Shah Reza Pahlevi di Iran. Sepeninggal Umar, di zaman Khalifah Usman, kondisi bertambah ricuh, dengan campur tangannya Muawiyah, sepupu Usman. Muawiyah sendiri, harus diakui, adalah politikus ulung yang juga berjasa menyebarkan Islam sampai ke Afrika dan Andalusia. Di belakang hari, setelah Usman terbunuh Muawiyah mengangkat dirinya sebagai khalifah dan sekaligus raja. Itulah imperium rertama dalam sejarah bansa Arab. Sebagai politikus yang hcin, Muawiyah berhasil merebut kekuasaan dari tangan Khalifah Ali, yang menggantikan Usman. Meletus peperangan antara Ali dan Muawiyah. Putra Ali, Husain, kemudian menggantikan kedudukan ayahnya dan bertarung melawan putra Muawiyah, Yazid. Husain, dengan balatentara yang sangat sedikit, syahid di tangan pengikut Yazid, di padang pasir Karbala, Irak. Kepala cucu Nabi itu kemudian diarak dan dihinakan tentara Yazid. Bagi Syiah, inilah tragedi terbesar yang setiap tahun diperingati de ngan cara yang sangat mengharukan. Pada abad-abad berikutnya, selama ratusan tahun para pengikut Syiah menjadi kelompok minoritas. Mereka bisa bertahan, konon, karena menganut garis pasif, tak aktif dalam politik. Baru belakangan ini tampaknya garis keras mulai muncul, setidaknya seperti ditunjukkan oleh Ayatullah Khomeini. Bagi Sylah penganut garis keras, semua rezlm yang tjak merunut garis warisan Nabi merupakan penguasa yang patut dibenci. Lebih-lebih bila pemerintahan itu berupa kerajaan, sebuah bentuk pemerintahan yang dianggap tidak Islami. Itu mengapa Syiah memusuhi Kerajaan Arab Saudi. Tidak hanya dalam soal politik global. Bahkan dalam soal-soal kecil pun Arab Saudi, yang melegitimasikan mazhab Suni puritan yang disebut Wahabisme, tidak sejalan dengan Syiah. Begitulah. Kalau dalam soal yang tidak prinsip saja keduanya sudah tak sejalan, maka orang tak perlu heran meliht kebencian Iran terhadap keberpihakan Saudi kepada Irak dan Barat, khususnya Amerika, yang dianggap Iran sebagai "Setan Besar." Permusuhan terhadap Saudi tak cuma datang dari kelompok Ikhwan seperti Juhaiman bin Muhamma al-Utaibi, yang menduduki Ka'bah (Masjidil Haram), pada akhir 1979. Tapi juga bisa datang dari negeri seberang semacam Iran. Akibat gema revolusi Islam Iran, banyak pengamat melihat perbedaan besar sekali antara Saudi yang Suni dan Iran yang Syiah. Hingga ada yang menyangkutkan pembatasan jemaah haji Iran tahun ini dimaksudkan untuk mencegah masuknya pengaruh revolusi Iran kepada Syiah dl Saudi. Sekarang ini, terdapat tak kurang dari 300 ribuan warga Syiah Saudi yang tinggal di bagian timur negeri itu, pusat industri minyak dan industri besar lain. Dan, meski berada dalam negeri bergelimang petrodolar, mereka ini tidak adem ayem. Pada saat berlangsungnya aksi kelompok Juhaiman di Mekah sembilan tahun lalu itu, di daerah timur terjadi pula kericuhan yang dilakukan kelompok Syiah Saudi. Ketika itu hari Asyura, 10 Muharam Hijriah, yang dipercaya oleh umat Syiah sedunia, sebagai hari berkabung paling agung. Itulah peringatan buat tragedi Karbala. Kejadian serupa di Masjidil Haram terulang lagi pada Februari 1980. Meskipun warga Syiah Saudi mengisi 35% posisi di Aramco (perusahaan minyak Arab-Amerika), banyak dari mereka tak merasakan kemakmuran petrodolar seperti yang dirasakan warga mayoritas Suni. Bahkan orang-orang Syiah Saudi sempat merasakan diskriminasi yang dilakukan oleh keluarga al-Jiluwi yang menjadi gubernur wilayah itu sejak 1913 (yang baru digantikan Pangeran Muhammad bin Fahd pada Februari 1986). Sebuah perkembangan tak menggembirakan lain bagi rezim Saudi adalah partisipasi sementara warga Saudi dalam usaha menggulingkan pemerintahan Bahrain, negeri kecil di timur Saudi, pada Desember 1981. Bahrain, seperti diketahui, 70% penduduknya Syiah. Bila diingat jumlah pemeluk Syiah di tiap negara di Timur Tengah, Arab Saudi sebenarnya tak perlu cemas. Sebenarnya, yang harusnya sangat kuatir adalah Kuwait, Bahrain, dan Uni Emirat Arab, yang penduduk Syiahnya banyak. Kecil kemungkinan Iran blsa mempengaruhi negara Islam yang Suni, dari luar. Bila toh ada gerakan mempengaruhi Saudi, itu bisa terjadi bila di kerajaan Suni ini muncul gerakan Islam fundamentalis. Dan bagi orang Arab, pergerakan pembaruan Islam tak akan dibiarkan dilakukan oleh orang Persia, melainkan oleh orang Arab. Maka, tampaknya pertentangan Suni-Syiah dalam permusuhan Iran-Arab Saudi bukan merupakan sebab utama. Dari konflik-konflik kedua negara selama ini, kepentingan politik-ekonomilah yang jadi pangkal persoalan. Atau, bila salah satu melanggar kedaulatan yang lain, lalu meletlklah api permusuhan ke permukaan. Umpamanya bila Iran sengaja menembak kapal tanker Arab Saudi, tentu saja Saudi akan membalas. Atau bila pesawat Iran melayang di wilayah udara Saudi, biasa sekali bila lantas antiserangan udara negeri Raja Fahd lalu memuntahkan pelurunya. Maka, pemutusan hubungan diplomatik oleh Raja Fahd tampaknya memang harus lebih dilihat dari soal-soal sekular. Dengan mudah Arab Saudi mati kutu bila Teluk Persia dikuasi oleh Iran, umpamanya. Sementara itu, jalan berunding selama ini tipis kemungkinan menghasilkan sesuatu, Arab Saudi tentunya sangat berkepentingan bila lalu lintas di Teluk tanpa gangguan. Dan jalan ke arah itu, bila Iran tetap keras kepala, adalah tindakan keras - bila perlu sebuah perang terbuka. Syafiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini