TIMUR Tengah makin panas. Sebuah medan perang baru kemungkinan besar bakal tergelar di kawasan yang sudah berbau mesiu dan bom itu, menyusul tindakan Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Terbukti, belum 24 jam pemutusan hubungan diplomatik itu diumumkan, sebuah bom meledak di kantor penerbangan Arab Saudi di Kuwait. Memang belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas ledakan tanpa korban tersebut. Tapi pemerintah Kuwait dan Saudi percaya benar, bom itu jawaban Teheran terhadap keputusan Saudi. Keesokan harinya Raja Fahd langsung mengancam. "Kalau kami dipaksa untuk memakai kekuatan militer, kami tak punya pilihan," ujarnya kepada koran al-Seyassa terbitan Kuwait, Kamis pekan lalu. Keputusan Saudi bukan tiba-tiba datangnya. Sejarah hubungan kedua negara meman menyimpan potensi konflik yang tinggi. Antara Saudi dan Iran, meski sama-sama menegakkan Islam, terdapat perbedaan paham yang prinsip. Yang satu Suni, yang lain Syiah. Selain itu, Saudi selama ini suka menuduh Iran sebagai biang keladi terorisme Timur Tengah - dari peledakan bom di tempat-tempat umum penculikan warga asing di Libanon, pemasangan ranjau di Teluk Persia, sampai pembajakan pesawat terbang. Dan kata Raja Fahd dalam pembukaan konperensi puncak Dewan Kerja Sama Negara-Negara Teluk (GCC), Desember lalu, "Iran selalu menolak perdamaian dengan negara-negara Arab dan Islam" (Lihat Mengamankan ....). Puncak saling sikut antara Arab dan Iran terjadi dalam kerusuhan kolosal di musim haji tahun lalu. Waktu itu, di suatu hari Jumat, sehabis asar, jemaah haji Iran menggelar demonstrasi raksasa di Mekah. Sebenarnya sasaran gerakan itu Israel, Amerika dan Rusia. Sepanjang jalan, arak-arakan puluhan ribu orang Iran menuju Masjidil Haram itu kompak meneriakkan, "Lailahaillallah, Israel musuh Allah, Amerika musuh Allah, Rusia musuh Allah." Tapi di Mekah, yang kemudian datang menertibkan para demonstran tentu saja bukan polisi Israel, Amerika, atau Rusia. Yang datang adalah polisi dan tentara Arab Saudi. Bentrokan pun tak terhindarkan. Akibatnya, 400 jemaah, sebagian besar dari Iran, tewas. Petugas intelijen Saudi menemukan 90 kopor berisi bahan peledak. Maka, kali ini pemerintah Saudi bukan cuma menuduh, tapi resmi memprotes, bahwa Iran telah melanggar prinsip-prinsip kehidupan saling menghormati antartetangga. Iran, kata Saudi, mengeksploitasi agama demi politik. Sebaliknya, kemarahan juga meledak di Iran, yang menuduh kerusuhan itu didalangi oleh Amerika dan Arab Saudi. Terdengar suara dari Teheran yang menyerukan agar ada yang mengmbil alih kekuasaan Tanah Suci dari tangan Saudi. Kedubes Saudi di Teheran pun diserbu demonstran, gambar Raja Fahd dibakar. Tak jelas adakah aksi Iran terhadap Arab Saudi belakangan ini masih ada kaitan G dengan huru-hara akhir Juli 1987 atau tidak. Yang pasti, Iran seperti sengaja mencari gara-gara. Soal ranjau, gempuran roket, atau serangan speedboat bersenapan mesin terhadap kapal-kapal tanker yang mondar-mandir dari dan ke Saudi sepanjang Teluk Persia, bukan lagi aneh. Tapi dua pekan lalu, rudal Ulat Sutera buatan RRC milik Iran menghajar sebuah instalasi kilang dan gudang minyak Kuwait-Saudi di gurun Kuwait. Kerugian diperkirakan lebih dari US$ 100 juta. Iran memancing perang terbuka? Yang pasti, akhir-akhir ini belanja persenjataan Arab Saudi juga meningkat. Dua bulan lalu Saudi memborong peluru kendali jarak menengah tipe CSS2 buatan Cina yang lebih ampuh daripada Ulat Sutera milik Iran. Memang, keampuhan rudal Cina itu masih disangsikan karena belum teruji di medan tempuar. Janganjangan akan mengalami nasib serupa dengan Ulat Sutera, yang dalam insiden Iran-AS baru-baru ini, lima Ulat Sutera dengan mudah ditipu "awan elektronik"-nya AS, hingga melenceng dari sasaran semuanya. Tapi di atas kertas, inilah rudal yang punya daya jangkau 2.600 km. Artinya, dari pangkalan rudal di mana saja di Saudi, Teheran adalah sasaran empuk CSS2. Sementara itu, bukannya mustahil bila Iran memang memancing perang terbuka. Sejak meletusnya Perang Iran-Irak 7 tahun lalu, Saudi adalah penyumbang dana terbesar bersama negara-negara Teluk yang lain - Oman, Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Qatar - dan Yordania bagi Irak. Diperkirakan bantuan itu mencapai semilyar dolar per tahun. Dan sudah sering terdengar Iran mengancam Saudi agar menghentikan bantuan ke Irak. Bagi Iran tentunya tak enak benar sementara Saudi (lewat Irak) bisa memukul Iran, negeri itu sendiri tak menanggung kerugian apa pun dari perang Iran-Irak. Hanya dengan perang terbuka Iran bisa membalas Saudi. Terakhir, terdengar ancaman, Ayatullah Khomeini akan mengirimkan jemaah haji Iran sebesar-besarnya untuk berdemonstrasi di Tanah Suci bila Saudi tetap membantu Irak. Meski, untuk musim haji tahun ini Saudi memberlakukan kuota bagi jemaah haji: setiap negara hanya mendapat jatah seribu jemaah per sejuta penduduk. Selain itu, ditegaskan lewat peraturan bahwa jemaah haji dilarang berdemonstrasi. Alasan pihak Saudi, karena Kota Suci Mekah sedang direnovasi, sehingga daya tampungnyar terbatas. Bagi Iran, pembatasan jumlah jemaah itu semata-mata berdasarkan alasan politis. Maka, Ayatullah Khomeini berjanji akan nekat mengirim 150.000 jemaah seperti tahun lalu, meski Saudi hanya mengizinkan 45.000 orang bagi Iran. Bagaimana jemaah sebanyak itu akan dikirimkan oleh Khomeini, sementara hubungan diplomatik putus ? Maukah negeri seperti Turki atau Libya memberikan kesempatan jemaah Iran mengambil visa di kedutaan Arab dinegeri-negeri itu? Seandainya memang meletus perang terbuka, Saudi tampaknya sudah siap. Dewan Kerja Sama Teluk sudah terbentuk. Sejumlah peralatan perang mutakhir dari AS, bernilai US$ 825 juta, sebagian sudah disetujui. Yakni berupa 200 tank Bradley dan 4.460 buah roket antitank. Sisanya, yang bernilai US$ 450 juta, masih seru diperdebatkan oleh para senator AS, karena duit sebanyak itu akan dipakai untuk memperbarui stasiun penangkap sinyal elektronik pesawat terbang AWACS (Sistem kontrol dan Peringatan Pesawat) Arab Saudi. Berbeda dengan persenjataan tersebut pertama, AWACS dianggap AS tak hanya jadi ancaman bagi Iran, tapi bisa mengubah peta kekuatan militer Timur Tengah. Sistem kontrol ini telah terbukti keampuhannya dalam pertempuran Israel-Syria 4 tahun lalu. Lebih dari 20 pesawat Syria rontok sementara Israel tak kehilangan sebiji pun pesawatnya. Posisi dan jarak tembak pesawat lawan otomatis terlaporkan kepada semua pesawat tempur Israel ketika itu. Maka, dengan sistem kontrol tersebut Saudi kebal terhadap serangan udara. Sebaliknya, dengan rudal Cinanya, negeri ini mampu menggempur semua daratan Timur Tengah dan Persia, termasuk Israel. Lebih menakutkan lagi, rudal-rudal Cina itu ternyata bisa dimuati kepala nuklir. Kemungkinan besar, Saudi memang bakal memiliki AWACS baru. Persyaratan yang diminta Amerika - Saudi harus menandatangani perjanjian untuk tak memiliki senjata nuklir dan bersedia menerima perlindungan internasional dari ancaman perang nuklir (sudah 130 negara menandatangani perjanjian ini) dikabarkan segera diterima. Kantor berita resmi pemerintah Saudi (SPA) mengatakan, Raja Fahd dan Dewan Menteri Kerajaan siap menandatangani perjanjian yang disponsori AS itu. Kalau kabar itu benar, tinggal satu permintaan AS yang belum dipenuhi. Yakni, Saudi harus menghentikan pembelian rudal jarak menengah dari RRC. Bagi Saudi, permintaan yang terakhir sungguh berat untuk diluluskan. Sebab, selama ini AS selalu menolak menjual senjata semacam itu kepada Saudi, sementara ancaman Iran dianggap makin menakutkan. Apalagi sejak meledaknya perang kota Iran-Irak sejak bulan lalu, Raja Fahd cemas, jangan-jangan perang yang paling banyak memangsa penduduk sipil itu merembet ke negaranya. Sementara itu, RRC, yang sudah lama mengincar negara-negara minyak di Teluk Persia sebagai pasar, memanfaatkan perdagangan senjata Saudi-AS yang tak lancar itu. Delegasi demi delegasi terus berdatangan ke sana. Terakhir, awal bulan lalu, delegasi Deputi Menteri Luar Negeri RRC Qi Huaiyuan menghadap Raja Fahd. Delegasi itu membawa pesan dari Presiden RRC, waktu itu masih Li Xiannian, tentang sikap Cina terhadap Perang Teluk serta kerusuhan di Jalur Gaa dan Tepi Barat Sungai Yordan. Dan misi delegasi terpenting, menawarkan senjata. Mungkin untuk lebih mendorong Arab Saudi membeli senjata dari RRC, pekan lalu Kementerian Luar Negeri Cina mengirim pesan kepada Duta Besar AS di Beijing, bahwa RRC akan ikut ambil bagian dalam embargo senjata bagi Iran. Mengejutkan, karena sebelumnya RRC selalu menyambut dingin rencana semacam itu. Memang, kesediaan RRC ada syaratnya. Yakni, kalau semua anggota Dewan Keamanan PBB juga ambil bagian. Adakah RRC ingin mengeroyok Iran dengan menjual senjata ke Saudi? Mungkin tidak. Ini sekadar mencerminkan betapa Cina sekarang lebih suka membangun daripada berpolitik. Bisnis dengan Saudi, yang punya duit lebih banyak dan mau membayar kontan, tentu lebih menguntungkan. Apalagi Saudi sebagai pemimpin Dewan Kerja Sama Negara-Negara Teluk, bisa diharapkan menjadi batu loncatan untuk membuka peluang bisnis baru dengan negara-negara minyak lainnya. Bagi Iran nasib sial tampaknya sudah di muka pintu. Bila RRC benar-benar ikut menjatuhkan embargo, Iran kehilangan pemasok senjata dengan harga murah. Di saat ekonomi negeri Pasdaran itu runyam, memborong senjata dari pasar bebas jelas makin berat. Selain tak bisa dibarter dengan minyak, kondisi barang dagangan di pasar bebas sering tak terjamin. Sering senjata rongsokan yang dipoles yang dijual sebagai barang baru. Repotnya, muslihat itu biasanya baru terbongkar di medan perang, setelah persenjataan itu menyalak beberapa kali. Harapan Iran kini tinggal Libya, yang juga tak menjual mahal produksi penyebar mautnya. Hanya saja Presiden Muammar Qadhafi, sejak nyaris tewas digempur pesawat tempur AS tiga tahun lalu, kini lebih banyak berdiam diri. Kalau dia masih bersedia memasok senjata ke Iran, jumlahnya tentu terbatas dan tak mau rugi, karena masih harus menghadapi ancaman pemerintah Chad dukungan Prancis, di perbatasan selatan. Padahal, bahwa Iran sebenarnya tak cukup punya senjata, sudah bukan rahasia lagi. Ingat kasus Irangate, yang terbongkar dua tahun lalu dan masih ramai disidangkan oleh pengadilan AS kini. Sampai-sampai Iran membuka kontak dengan AS, yang selama ini dianggap musuh nomor satu, untuk membeli perlengkapan militer. Untuk berpaling kepada Uni Soviet, tampaknya sulit bagi Iran. Negara superkuat satu ini adalah sekutu dekat Irak, sejak partai sosialis Baath di bawah pimpinan Presiden Saddam Hussein berkuasa. Meski belakangan hubungan kedua sekutu itu renggang, karena Irak lebih banyak memborong senjata dari negara-negara Barat untuk menghadapi Iran. Tapi Soviet tentu tak mengharap bercerai dari Irak, yang bagaimanapun berideologi sosialis setelah Baath berkuasa, dengan menjual senjata kepada Iran. Lain daripada itu, Saudi sudah lebih dahulu mengadakan pendekatan dengan Soviet. Febuari lalu, sebuah delegasi besar Saudi, langsung dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Pangeran Saud al-Feisal, bertandang ke Moskow. Mereka bertemu Mikhail Gorbachev, membicarakan kemungkinan Soviet berperan sebagai penengahkonflik Iran-Irak. Mengejutkan. Sebelumnya tak pernah ada kontak langsung Riyadh-Moskow. Di medan tempur Iran pun makin tersudut. Semenanjung Faw, yang tahun lalu dapat direbut, dua pekan lalu jatuh kembali ke tangan Irak. Sayang, belum jelas apakah kemenangan itu bisa membungkam serangan Iran terhadap Kuwait atau kapal-kapal tanker di Teluk. Kalau kabar-kabar burung, yang bilang bahwa basis roket-roket Ulat Sutera ada di Pulau Bubiyan, itu benar, jelas berat bagi Iran. Sebab, Irak mampu langsung melancarkan serangan ke sarang Ulat itu dari Faw. Dan setelah insiden perang laut Iran-AS, 18 April lalu, Reagan tak menganggap sepl ancaman Iran. Akibatnya, posisi Iran makin terkepung. Pekan lalu, Menteri Pertahanan AS Frank Carlucci mengumumkan siap menambah kekuatan armada tempurnya di Teluk Persia. Kali ini pasukan penjaga pantai yang akan dikerahkan. Dengan kapal-kapal berukuran lebih kecil, geraknya akan lebih gesit dan cepat menghadapi serangan dari pantai. Selama ini, sebagian besar dari 28 kapal perang di sana, dari jenis untuk menghadapi perang di laut terbuka - termasuk kapal-kapal induk. Maka, praktis hanya helikopter yang bisa diandalkan dalam operasi tempur, dengan kelemahan keterbatasan jam terbang. Tak mengherankan bila Minggu dua pekan lalu armada tempur AS masih kecolongan. Ketika itu sebuah perahu motor Iran meluncurkan sebuah roket ke sebuah kapal tanker Saudi di mulut Selat Hormuz. Adakah peluang bagi Iran untuk menghadapi kepungan armada AS? Sehari sebelum pengumuman Carlucci, kelompok bawah tanah Libanon pro-Iran, Organisasi Keadilan Revolusi, mengancam akan membunuh dua sandera AS, kalau Iran digempur. Kedua sandera itu adalah Joseph James cicipio, seorang staf universitas di Beirut, dan Edward Tracy, seorang penulis. Lalu, menurut laporan intelijen AS, Iran juga akan menghantam kedutaan besar AS di Kabul, Afghanistan, sebagai balas dendam atas serangan AS terhadap dua anjungan minyak lepas pantai Iran dua pekan lalu. Ancaman itu dianggap serius tampaknya - 6 staf diplomatik AS buru-buru ditarik dari Kabul. Tinggal 6 anggota marinir yang bertanggung jawab atas keamanan kedutaan AS itu. Konon, AS mensinyalir belum lama ini muncul sebuah kelompok gerilya pro-Iran di Afghanistan. Beberapa ledakan bom di Kabul sudah diklaim oleh kelompok tersebut, merekalah pelakunya. Dengan peta kekuatan seperti itu, mungkinkah Iran berani melakukan perang terbuka melawan Saudi beserta sekutunya? Seandainya pun terjadi, itu akan sangat merugikan Iran. Keputusan Arab Saudi kini sudah barang tentu sangat diperhitungkan. Pada 1984, Saudi sedikit banyak masih merasa berutang budi kepada Iran. Yakni ketika Selat Hormuz, sebagai pintu lalu lintas tanker minyak negaranegara Teluk, ditutup Irak. Hanya karena tekanan Iran, pintu itu kembali dibuka - meski Saudi pun hingga kini punya persediaan minyak yang sewaktu waktu bisa diekspor tanpa harus lewat Teluk. Itu sebabnya Saudi di sekitar tahun 1984 menahan diri untuk tak terlibat langsung Perang Teluk. Walau, waktu itu sebuah tanker digasak roket Irak, dan tak lama kemudian dua tanker lagi digasak Iran. Hanya sekali Saudi membalas, merontokkan sebuah pesawat Iran. Itu pun karena pesawat itu melanggar wilayah udara Saudi. Bahkan kemudian pernah Saudi dicurigai hendak meninggalkan Irak, mendekati Iran. Yakni ketika terbongkar kasus Irangate. Kata beberapa negara Arab waktu itu, tak mungkin AS bisa mendekati Iran tanpa perantara Saudi. Dalam sidang OPEC Desember 1986, Saudi dan Iran, untuk pertama kalinya sejalan - meski tak berarti akur - menolak permintaan Irak untuk menaikkan kuota ekspor minyaknya. Tapi, setelah masa itU, Iran makin merajalela di Teluk, dengan ranjau-ranjau lautnya. Kebijaksanaan negeri Ayatullah ini memang sulit ditebak. Dalam situasi sekarang pun Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Velayati, suaranya lantang terdengar: "Iran akan melakukan balasan menentukan terhadap semua intervensi AS di Teluk." Siapa tahu rakyat Khomeini kini tengah merencanakan penggunaan senjata "pamungkas"-nya: gelombang manusia. Lain daripada itu, Iran sudah mempersiapkan pabrik senjatanya sendiri sebaik mungkin. Dan sementara Iran menuduh Irak menggunakan senjata kimia, terbetik berita Iran kini sedang menyiapkan produksi senjata kimia juga (lihat Senjata Kimia Khomeini). Akan tetapi bila benar Iran menggunakan senjata terlarang dalam perang terbuka, negeri ini akan semakin terpencil. Kuwait dan Bahrain, misalnya, yang kini sedang menimbang-nimbang mengikuti jejak Saudi - memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran - tentu akan langsung melaksanakannya. Tampaknya, Timur Tengah memang akan semakin retak. Parginanto, Julian Surja (Riset)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini