Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Cara damai negeri minyak

Karena ekonomi timur tengah terancam muncul keputusan untuk mengeroyok iran agar perang cepat usai. dewan kerja sama teluk(gcc) mempersenjatai diri. iran membangun pabrik senjata.

7 Mei 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETA bumi Timur Tengah yang cerah memang terbayangkan. Ladang-ladang minyak yang terus mengucur. Tanah gurun yang disulap jadi kota dan pusat industri ultramodern. Rakyatnya yang mampu menebar ke mancanegara, mencari hiburan dan ilmu, sembari menanam modal di berbagai perusahaan multinasional. Tapi peta bumi Timur Tengah yang suram dan retak karena perang adalah kemungkinan yang dekat. Dulu negara-negara Arab harus berbagi rezeki untuk melawan Israel. Gagal. Negara Yahudi itu malah berhasil mencaploki wilayah Mesir, Yordania, dan Syria. Mendadak muncul perang saudara di Libanon, 1971, yang memecah-belah negeri itu sampai sekarang. Kini mereka sangat direpotkan oleh Perang Iran-Irak, yang meledak pada 1980. Dan perang di Teluk tak cuma melibatkan negara yang langsung angkat senjata. Dalam Perang Iran-Irak, misalnya, roket tak lagi hanya tertuju kepada seteru. Kapal-kapal tanker yang lewat - entah milik siapa - dan negara tetangga ikut jadi sasaran. Toh ketika harga minyak masih melambung tinggi, soal perang rasanya bukan hal yang serius. Memihak Irak atau Iran sama saja. Bantuan sekian juta dolar bagi yang berperang tak jadi soal benar, asalkan perang tak merembet ke neeri sendiri. Tapi sejak rontoknya harga minyak di pasar dunia, awal 1980-an, yang disusul lagi dengan kemelut minyak pada 1985, negara-negara Timur Tengah rasanya harus memilih: perang harus berhenti bila tak mau bangkrut. Soalnya kemudian, bagaimana cara menghentikan perang. Idealnya tentu lewat meja perundingan. Tapi itu sudah terbukti nihil. Ada cara lain, meski mungkin kurang etis. Yakni mengeroyok salah satu pihak supaya cepat keok. Itukah yang kini diputuskan oleh Arab Saudi, yang oleh Iran dituduh diotaki oleh Amerika Serikat? Bisa jadi. Sebab, sebagai negeri Syiah, Iran memang terpencil, karena para penguasa Timur Tengah berpaham Suni. Ditambah semangat Iran mengekspor revolusinya, agaknya tak ada alasan untuk mengeroyok Irak. Yang mungkir perlu diperhitungkan, Iran bukannya sama sekali tak berteman. Adalah negeri Muammar Qadhafi, Libya, dan negeri yang kini kembali bersahabat dengan PLO, Syria, yang terang-terangan berpihak kepada Iran. Memang, kini Libya dan Syria lebih banyak diam. Sebab utamanya, kedua negara dilanda kemelut ekonomi. Sampai-sampai Syria bersedia menerima bantuan US$ 2 milyar dari Liga Arab untuk bersikap netral. Sedangkan Libya, yang beberapa tahun lalu sempat mencapai penghasilan kotor sebesar US$ 12.000 per penduduk per tahun, kini bingung mencari duit untuk membiayai proyek-proyek pembangunannya. Misalnya, pembangunan pabrik besi baja Misurata seharga US$ 3,3 milyar, yang direncanakan selesai pertengahan 1985, sampai sekarang belum tuntas. Sementara itu, negara-negara yang bergabung dengan Dewan Kerja Sama Teluk paling berkepentingan untuk menutup Perang Iran-Irak. Maklum, lalu lintas ekspor minyak negara-negara itu sangat tergantung Teluk Persia. Akibat-runyam sudah terasa tahun ini. Anggaran belanja anggota GCC, Dewan Kerja Sama Teluk, yang terkenal sebagai kelompok negara-negara minyak terkaya dunia ternyata defisit. Defisit terbesar dicatat oleh Kuwait dan Arab Saudi, masing-masing US$ 4,975 milyar dan US$ 8 milyar. Memang, defisit itu tak semata karena perang. Juga karena rontoknya nilai dolar terhadap mata uang kuat dunia, sementara sebagian nilai impor mereka justru berasal dari negara-negara yang mata uangnya menguat. Usaha untuk mengatasi ketergantungan minyak pada dolar sebenarnya tengah diusahakan oleh GCC. Yaitu dengan membuat mata uang bersama, agar mereka punya mata uang berpengaruh kuat di pasar internasional. Sayang, upaya itu masih mentok, lantaran tiap anggota belum bersedia menyeragamkan kebijaksanaan fiskal dan moneter. Yang tak tampak, tapi teraba, adalah alasan di balik itu. Melepaskan diri dari dolar bisa jauh akibatnya. Yakni renggangnya hubungan dengan AS. Padahal, AS pegang peran dalam keamanan kapal-kapal tanker yang lalu lalang d Teluk, terutama ketika perang makin seru. Yang paling runyam terkena dampak merosotnya nilai dolar adalah Saudi. Jaringan infrastruktur industri, yang baru dirampungkan tahun lalu, ternyata tak laku. Padahal, sudah sekitar US$ 200 milyar dihabiskan untuk itu. Para pemilik duit masih ogah menanam modal di dalam negeri. Seperti kata Abdullah Dabbagh, Sekretaris Jenderal Kamar Dagang Saudi, "Kecuali kalau pemerintah mau melakukan kebijaksanaan proteksionisme, supaya kami tak mendapat saingan barang impor." Padahal, pemerintah Saudi sudah menggariskan bahwa negaranya harus mengikuti sistem pasar bebas. Perseisihan sesama GCC pun sudah makin terbuka. Terutama antara Saudi, Kuwait, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA), yang sama-sama anggota OPEC. Dan dua anggota GCC lain yang non OPEC Oman dan Bahrain. Yang satu menuduh yang lain telah melanggar kuota produksi dan menjual minyak di pasar eceran-tunai, yang harganya tak terikat pada patokan OPEC. Alasan mereka tak pernah lepas dari Perang Iran-Irak. Misalnya untuk menambah bantuan bagi Irak, mengganti minyak yang tumpah di laut karena dihajar Iran, atau untuk membeli senjata menghadapi ancaman Iran. Ketakutan mereka terutama pada ancaman rudal Ulat Sutera buatan RRC, yang kini jadi senjata andalan Iran. Senjata, terutama jenis mutakhir, memang sangat penting bagi anggota Dewan Kerja Sama Teluk. Mustahil mereka mengandalkan manusia menghadapi Iran. Jumlah total serdadu mereka hanya 140.000 orang. Karena itu, sejak tahun 1981, nilai senjata yang diborong GCC mencapai US$ 50 milyar lebih dari dua kali lipat anggaran belanja Indonesia tahun ini. Toh mereka mengaku belum punya senjata penangkal Ulat Sutera. Kecuali Saudi, yang sudah punya sejumlah rudal jarak menengah CSS2, yang juga buatan Cina. Tapi tujuan inti semuanya sama: agar Teluk Persia tetap terbuka. Seumpama Teluk tertutup karena perang, atau karena dikuasai oleh Iran, ekspor negara-negara itu bakal lumpuh. Sebab, hanya Teluk yang bisa dilewati tanker-tanker raksasa dengan muatan jutaan barel minyak setiap hari. Kekhawatiran AS kurang lebih juga sama. Hampir sepertiga kebutuhan minyak AS dipasok lewat Teluk. Karena itu, wilayah Teluk, dalam strategi global AS, dicatat sebagai kawasan minyak strategis. Kalau Teluk sampai tertutup, harga minyak akan langsung melesat, AS rugi besar. Kecuali kalau Paman Sam bisa merajuk Iran. Iran lain lagi. Sampai sekarang negara itu bebas utang, kendati harus mengeluarkan US$ 15 juta per hari untuk membiayai perang. Padahal, hasil penjualan minyaknya paling banter US$ 12 juta sehari. Soal bagaimana bisa terus bertempur, tak lain, karena rakyat yang menanggung. Pajak digen)ot, sehingga harga sekaleng kopi instant lokal mencapai US$ 200 (Rp 325.000,00), sebungkus rokok Rp 13.000,00, dan sebuah ban mobil Rp 1,6 juta. Tapi rakyat Iran tak boleh tahu berapa besar sumbangan mereka untuk menopang perang. Buktinya, dalam pemilihan anggota parlemen bulan lalu, semua calon dilarang keras menyinggung soal perang melawan Irak dalam kampanye mereka. Di luar itu apa pun boleh dijadikan bahan kampanye, asal tetap menunjukkan kesetiaan kepada Ayatullah Khomeini. Rakyat Iran kini hanya tahu bahwa ekonomi memang makin sulit. Sekarang mereka harus antre untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Semua itu - kecemasan negara-negara Teluk, kekhawatiran AS, penderitaan rakyat Iran - mungkin baru berakhir kalau Saudi serta para sekutunya membuka perang dengan Iran. Terdengarnya memang paradoksal, berperang untuk mengakhiri penderitaan. Tapi logikanya bisa diterima. Sebab dengan begitu diperhitungkan Iran segera keok, lalu perang pun berakhir. Atau, perdamaian tanpa lewat perang, lewat meja perundingan. Tapi, seperti sudah disinggung, kemungkinan untuk ini justru kecil. Iulah. Keputusan Raja Fahd memang keputusan strategis, dengan melihat dampaknya di masa depan. Itu berarti, Arab Saudi sebenarnya sudah siap - dan agaknya lebih suka - terlibat perang terbuka. Risiko perang bagi Saudi dianggap lebih bisa diterima, daripada terus digerogoti Iran tanpa bisa membalas - bila tak ingin dimaki sebagai agresor, atau pencetus perang terlebih dahulu. Bila begitu, tentunya para jenderal Saudi sudah memperhitungkan: bila perang benar meletus, pihaknyalah yang menang. Di kertas, kemenangan memang jelas bisa dicapai. Sebab, AS tentu akan memihak GCC. Sementara itu, negara superkuat yang lain, Soviet, kecil kemungkinan mengulurkan tangan kepada Iran. Memang, dunia Timur Tengah bisa jadi neraka, yang pengaruhnya akan terasa di seluruh dunia karena produksi minyak terganggu, bila ternyata Soviet berubah sikap. Namun, mengingat Gorbachev yang bersedia menarik pasukannya dan Afghanistan pertengahan bulan ini, tampaknya semangat agresi Soviet sudah terkendali. Kali ini langkah Raja Fahd di petak percaturan Timur Tengah dan dunia, rasanya, tepat. Prg., Kristoforus Moan Nong (Riset)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus