KETIKA Indira Gandhi diambil sumpahnya sebagai perdana menteri baru, tampilnya bapak dan anak berturut-turut sebagai pemimpin pemerintahan di India itu masih dianggap sebagai kebetulan sejarah. Tapi ketika pada 1984 Rajiv Gandhi naik menggantikan ibunya, mulai muncul pertanyaan, mengapa seolah-olah keluarga Nehru selalu ingin tetap berkuasa. Tapi di tahun-tahun pertama pemerintahan Rajiv, pertanyaan itu tenggelam oleh harapan baru yang ditawarkan oleh wajah-wajah muda di parlemen dan kabinet, wajah-wajah -menurut Rajiv sendiri -"generasi the Beatles". Menurut Steven Weisman, kepala biro The New York Times Magazine di New Delhi, satu pembangunan ekonomi dan teknologi yang dijanjikan Rajiv memberikan harapan bagi bangsa India untuk hidup lebih baik. Program itulah, menurut pihak mereka, yang membuat Rajiv terpilih menjadi perdana menteri. Jadi, bukan karena karisma Indira, ibu Rajiv. Buktinya, sebagian besar pemilih waktu itu memang orang-orang muda yang mengharapkan ada perbaikan ekonomi, dan mereka melihat Rajiv menjanjikan itu. Tapi "pembangunan" itu pun melahirkan musuh-musuh. Seorang wartawan, Romesh Thapar, waktu itu melontarkan kritiknya, "Saya khawatir, dengan komputer dan manajemen mereka, sepenuhnya perhatian mereka hanyalah tertuju untuk sedikit meningkatkan kenyamanan dan efektivitas hidup mereka sendiri." Yang lebih tajam adalah komentar Jaswant Singh, waktu itu tokoh oposisi di parlemen. Katanya, "Mereka cuma memikirkan diri sendiri. Mereka tak pernah menghadapi kesengsaraan." Kritik itu memang bisa diperdebatkan. Tapi apakah bukan itu yang kemudian membuat Rajiv kalah dalam pemilu 1989 lalu? Lawan-lawannya yang menggunakan isu korupsi, ekonomi yang macet, dan lebih mendekat ke rakyat jelata, ditambah munculnya kekuatan partai Hindu militan yang menuduh Rajiv merugikan mereka dengan melindungi kaum muslim, akhirnya mengurangi angka kemenangan Partai Kongres. Tapi kemudian terbukti bahwa di luar pemerintahan Partai Kongres, pemerintahan India kurang stabil. Bisa jadi kemenangan Partai Kongres yang sudah terlihat dari berbagai pengumpulan pendapat akhirnya membuat lawan politiknya ada yang menempuh jalan "menghalalkan cara demi tujuan", di negeri yang kekerasan dan politik seperti berendeng itu. Ini memang baru sebuah pemikiran spekulatif. Mungkin ada sebab lain yang membuat bom itu meledak dan mengakhiri dinasti Nehru-Gandhi. Soal ini baru bisa jelas bila segera diketahui siapa di belakang bom di Sriperumpudur itu. Artikel tentang hal tersebut mengawali Laporan Utama kali ini. Lantas, kosongnya kepemimpinan Partai Kongres dan penolakan Sonia Gandhi menduduki jabatan Ketua Partai jadi menarik diulas: siapa yang bakal dijagokan oleh partai yang begitu lama berkuasa di India itu dalam pemilu yang ditunda kini. Dari sini suatu peta kekuatan para kontestan pemilu bisa disusun. Dari sini siapa bakal memimpin negeri yang hampir semilyar penduduk ini bisa ditebak. Itulah bagian-bagian artikel dalam laporan tentang kasus di India kini, yang sebagian bahan langsung dikumpulkan di India oleh wartawan TEMPO Yuli Ismartono, dan Taufiq Ridwan, pembantu TEMPO. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini