SUASANA gedung kedutaan Jerman Timur bertingkat dua yang terletak di Jalan Raden Saleh 56, Jakarta Pusat, itu tampak lengang. Membuat arsitektur gedung berusia puluhan tahun yang ditopang beberapa kolom-kolom beton penyangga terasa makin kukuh. Di halaman depan terpancang tiang bendera berdiameter sekitar 20 cm, menjulang setinggi 8 meter. Tapi tidak ada bendera yang berkibar. Tidak ada nama atau simbol yang menunjukkan identitas gedung itu, baik yang baru maupun yang lama. Hanya ada dua wanita penjaga. Memang, staf kedutaan -- 7 orang, antara lain atase pers dan konsul perdagangan -- sudah pulang sehari sebelum Jerman bersatu, 2 Oktober lalu. Bahkan Dubes Siegfried Kuehnel, yang bertugas di Jakarta sejak 1986, sudah terbang ke Jerman Timur pada 25 September. Sementara pegawai yang warga negara Indonesia terpaksa diberhentikan dengan pesangon "Semua kegiatan dan gedung-gedung Jerman Timur diambil alih oleh Jerman Barat, sejak 3 Oktober lalu," kata Matthias Hoepfner, kepala bagian pers dan informasi Kedutaan Jerman (Barat), kepada Gindo Tampubolon dari TEMPO. Tak semua orang Jerman Timur bahagia dengan Jerman ~~~~~bersatu. Para staf kedutaan yang pulang dari Jakarta itu, misalnya, adalah sebagian dari 2.000 karyawan departemen luar negeri Jerman (Timur) yang 1.850 di antaranya diberhentikan sejak Jerman bersatu. Sisanya, 150 orang, mereka yang ditawari tetap bekerja karena menguasai bahasa Rusia. Mereka diperlukan untuk mengatur pemulangan kembali tentara Soviet. Memang, salah satu ketentuan dalam perjanjian penyatuan Jerman disebutkan, pegawai Jerman Timur "yang dianggap cocok bisa dipekerjakan terus". Tapi, kata sebuah komentar, kriteria "dianggap cocok" bisa relatif. Yang pasti, di lembaga-lembaga yang dinilai vital, yakni yang langsung berkaitan dengan ideologi komunisme -- misalnya Stasi, polisi rahasia -- karyawannya sulit diterima di Jerman bersatu. Departemen luar negeri dinilai termasuk lemba~ga yang vital. Tentu, gedung-gedung milik bekas kedutaan Jerman Timur beserta peralatan tekniknya senilai 1,063 milyar mark di seluruh dunia jadi milik Jerman (Barat~). Misalnya, menurut Hoepfner dari Kedubes Jerman (Barat) di Jakarta itu, semua kunci gedung kedubes bekas Jerman Timur di Jakarta sejak minggu lalu sudah dipegang oleh kedutaannya. Pengambilalihan seperti ini, menurut Hoepfner, berlaku di seluruh dunia. Menurut Hoepfner, jika ingin tetap mengabdi negara, para diplomat yang dipanggil pulang ini diminta memasukkan lamaran baru. Kemudian akan ada screening lima halaman mengenai bermacam hal termasuk yang berkaitan dengan hukum. Para karyawan departemen luar negeri Jerman (Timur) itu hanya sebagian dari 650.000 pegawai negeri yang juga kehilangan pekerjaannya. Mereka, terutama para bekas diplomat, diberi kesempatan masuk pendidikan kejuruan, untuk dipekerjakan di industri-industri. Pendidikan itu akan berlangsung tiga bulan. Kurikulum kursus antara lain, demokrasi dan ekonomi pasar konstitusi dan hukum dan peraturan-peraturan formal~ dan tak formal yang selama ini berlaku di Jerman Barat. Menurut Edgar Uher, bekas diplomat Jerman Timur, dalam artikelnya di surat kabar International Herald Tribune, para diplomat banyak yang menilai kurikulum itu tak ubahnya seperti "cuci otak" di zaman Hitler. Diduga, mereka tetap akan sulit cari pekerjaan, bahkan hanya sebagai tukang pos. Sementara itu, kedutaan Indonesia di Jerman Timur, menurut Pieter Taruyu Vau, kepala bagian hubungan masyarakat Departemen Luar Negeri RI, akan tetap buka sebagai cabang dari kedutaan besar Indonesia yang berkedudukan di Bonn. Namanya, The Embassy of Republic Indonesia Berlin Branch Office. Dan tetap akan dipimpin oleh I Gusti Ngurah Gede sebagai kepala cabang. Itu sesuai dengan alternatif yang diberikan oleh Pemerintah Jerman. R~udy Novrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini