Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehari setelah tragedi 11 September 2001, Presiden Pakistan Jenderal Pervez Musharraf mendapat telepon dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat—ketika itu Colin Powell.
”Anda bisa memilih: bersama kami atau melawan kami,” kata Powell, seperti ditirukan Musharraf. Meski, menurut Musharraf, pesan Powell itu tidak jelas maksudnya, dia tetap menjawab: Pakistan tetap bersama AS dalam memerangi terorisme. ”Saya tidak punya waktu berpikir lebih jauh apa yang akan terjadi kemudian,” demikian tulis Musharraf dalam buku otobiografinya, In the Line of Fire: A Memoir.
Berikutnya, direktur jenderal kantor intelijen Pakistan, Inter Services Intelligence (ISI), yang pada saat itu sedang berada di Washington, DC, menelepon Musharraf. Dia menyatakan bertemu dengan deputi Powell, Richard Armitage. Menurut Musharraf, Armitage telah ”membuat pernyataan yang paling tidak diplomatis”. Armitage mengancam, bila Pakistan memilih bersama teroris, Pakistan harus bersiap-siap dengan serangan bom AS yang akan membumihanguskan negara itu hingga kembali ke Zaman Batu. Musharraf berpikir sangat keras, menganalisis keadaan.
”Keputusan saya berdasar pada kepentingan rakyat saya dan negara saya—Pakistan selalu yang utama. Dalam sebuah peperangan, kami tidak mau berada di posisi musuh dengan AS. Akan ada reaksi berupa kebrutalan dan kemarahan jika kami tidak mendukung AS. Pertanyaannya adalah: jika kami tidak bergabung dengan mereka, mampukah kami melawan mereka dan menahan serangan mereka (AS)? Jawabannya adalah tidak, kami tidak mampu, karena tiga alasan.”
Itu kutipan tulisan Musharraf dalam memoarnya, In the Line of Fire, ketika ia memilih membantu AS dalam ”perang melawan teroris”. Adapun tiga hal yang menjadi pertimbangannya adalah: India—negara tetangga sekaligus musuh bebuyutan Pakistan—telah menawarkan pangkalan kepada AS; aset kekuatan militer Pakistan akan hancur lebur jika menolak mendukung AS; dan akan luruhnya infrastruktur ekonomi yang telah dibangun 50-an tahun.
Tiga alasan Musharraf itu sangat dipengaruhi oleh kekhawatirannya dengan makin kuatnya posisi India jika Pakistan menolak tekanan AS. Dia khawatir Kashmir, daerah yang diperebutkan oleh India dan Pakistan, akan jatuh ke tangan India. Selain itu, AS yang menurut Musharraf ”tidak pernah suka dengan kekuatan nuklir negara Islam” sudah dapat dipastikan akan membuat Pakistan sengsara jika tidak mendukung perang AS.
Petikan dari bab 20, ”Satu Hari yang Mengubah Dunia” dalam In the Line of Fire itu pun cepat memancing reaksi. Powell dan Armitage langsung membantah, juga beberapa tokoh yang namanya disebut dalam otobiografi jenderal yang diterbitkan di New York, 25 September lalu itu.
In the Line of Fire pun tidak hanya menjadi kontroversi, buku ini langsung melesat ke jajaran 10 buku terlaris Amazon, situs penjualan buku terbesar melalui Internet. Menurut The Economist, meskipun In the Line merupakan otobiografi yang bombastis, tapi tutur katanya membosankan, tanpa humor. Apa pun, yang jelas buku ini luar biasa karena ia menceritakan peristiwa-peristiwa dramatis yang belum lama terjadi.
Ya, dramatis, karena Musharraf termasuk bertanggung jawab atas terjadinya efek bola salju ”perang melawan terorisme” yang digelar AS setelah 11 September 2001. Perang yang belakangan ini mendapat kecaman dari berbagai pihak—dari warga biasa AS yang semula sangat mendukung pemerintahan Presiden George W. Bush, kalangan aktivis hak asasi manusia, hingga banyak pihak di kalangan penting AS dan sekutunya. Siapa pun tahu, itulah perang yang menyimpang dari tujuan awal. Sasaran utama ”perang melawan teroris” ini—pemimpin Al-Qaidah, Usamah bin Ladin, dan tokoh Taliban, Mullah Muhammad Umar—masih bebas di kawasan perbatasan Afganistan-Pakistan.
Jenderal David Richards, komandan 33 ribu anggota pasukan NATO di Afganistan, untuk pertama kali mengkritik Musharraf secara terbuka tentang ketidakmampuan Pakistan menepati janji menghabisi kekuatan Al-Qaidah dan Taliban di perbatasan Afganistan-Pakistan. Minggu lalu (8/10), Richards menyatakan: dalam setahun Taliban melancarkan 78 serangan bom bunuh yang menewaskan hampir 200 orang di Afganistan. Pihak NATO yakin Mullah Umar ada di Quetta, Balukistan, namun Pakistan seperti tak berdaya menangkapnya. Sedangkan Bin Ladin masih belum jelas keberadaannya. Dan belakangan ini, malahan Taliban mulai kembali menunjukkan otot mereka di beberapa kawasan Afganistan, terutama di Kandahar dan sekitarnya.
Di samping Inggris, lembaga-lembaga hak asasi manusia internasional juga mengeluhkan Pakistan—meski dengan sikap berbeda. Amnesty International dan Human Rights Watch menyebut, ”Jalan ke Guantanamo bermula dari Pakistan.” Menurut laporan kedua lembaga itu akhir September lalu, lebih dari 85 persen tahanan di Guantanamo adalah hasil tangkapan tentara Aliansi Utara dan Pakistan. Bahkan ada imbalan hingga US$ 5.000 (sekitar Rp 46 juta) per kepala bagi orang-orang biasa—bukan tokoh—tapi dikira teroris.
Mereka tidak hanya ditangkap tanpa tuduhan jelas, tetapi juga disiksa, dipindahkan beberapa kali ke tempat-tempat tahanan rahasia AS, sebelum diserahkan ke Guantanamo. Ada juga dari mereka yang menghilang dan tidak jelas hingga kini. Warga Pakistan Khalid Mahmud Rashid, yang diserahkan pemerintah Afrika Selatan kepada aparat Pakistan pada 6 November 2005, tidak jelas keberadaannya hingga kini. Kementerian dalam negeri Pakistan juga tidak merespons pertanyaan keluarga Rashid.
Akibat keputusan Musharraf, masih banyak lagi yang bernasib seperti Rashid atau yang ”sedikit lebih baik”—orang-orang yang ditangkap, kemudian bebas seperti 300 tahanan Guantanamo yang dilepas karena tidak terbukti teroris. Untuk itu, pihak keluarga korban penangkapan sewenang-wenang, para pengacara, dan aktivis hak asasi manusia berkumpul di Islamabad pada 29 dan 30 September lalu, merencanakan aksi menghapuskan penangkapan semena-mena, pemenjaraan dan penyiksaan, dalam ”perang melawan teroris” yang dilakukan pemerintah Pakistan. ”Pemerintah Pakistan bertanggung jawab langsung atas nasib banyak tahanan Guantanamo, orang-orang yang ’dihilangkan’,” demikian salah satu keputusan pertemuan tersebut.
Akan seperti apakah aksi tersebut? Hingga kini, yang tampak di permukaan adalah upaya advokasi terus-menerus, protes atas penyiksaan tahanan di Guantanamo, penahanan di penjara-penjara rahasia, hingga langkah-langkah hukum yang dilakukan para pengacara untuk membawa kasus para tahanan Guantanamo ke pengadilan. Selain itu, Amnesty, HRW, dan lembaga hak asasi manusia lainnya terus mengumpulkan testimoni dan fakta-fakta para korban ”perang terhadap teroris”.
Pemerintah AS sudah menjadi sasaran gerakan tersebut. Tidak lama lagi pemerintah Pakistan juga akan merasakan hal yang sama.
”...Keputusan seorang pemimpin menentukan nasib jutaan orang dan masa depan negaranya…. Dia mungkin mendengarkan berbagai saran, tapi pada akhirnya dia sendiri yang harus mengambil keputusan….”
Itu disebut Musharraf dalam bukunya. Dan, Musharraf sudah mengambil keputusan itu….
Bina Bektiati (Reuters, The Economist, Guardian, AI)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo