Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senin, 9 Oktober 2006, sekitar pukul 10 pagi, ledakan itu membahana dari dasar gunung di timur laut Provinsi Hamgyong. Itulah uji coba nuklir Korea Utara yang guncangannya mengakibatkan gempa dengan kekuatan 3,5 skala Richter—menurut versi lain 4,5. Presiden Kim Jong Il mengumumkan, tes nuklir pertama ini berhasil dengan sangat baik. Uji coba ini, menurut Kim, bertujuan mempertahankan ”perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea dan kawasan sekitarnya”.
Awalnya, negara-negara besar meragukan kebenaran tes nuklir bawah tanah ini. Namun, setelah adanya konfirmasi beberapa badan geologi Amerika dan Jepang, mereka mulai percaya. Ya, telah terjadi sebuah guncangan sekeras gempa bumi kecil. Di Jepang sendiri, ledakan itu telah menggetarkan sebagian wilayah utara yang berbatasan dengan Korea Utara.
Tak ayal lagi, dunia yang pekan ini tengah menunggu-nunggu keputusan Dewan Keamanan PBB soal sanksi terhadap Iran itu pun terperangah. Iran memang tak bisa ditawar akan melanjutkan pengayaan uraniumnya, tapi Korea Utara melangkah jauh melampaui titik itu: uji coba senjata nuklir.
Presiden Korea Selatan, Roh Moohyun, menggambarkan tes ini sebagai ancaman perdamaian. Sedangkan Perdana Menteri Jepang yang baru, Shinzo Abe, melukiskan Korea Utara baru saja mengantar ”abad nuklir baru yang berbahaya”. Ada kemungkinan, unjuk kekuatan Korea Utara ini akan memicu perlombaan nuklir di kawasan Asia Timur, dengan dua pemain baru: Jepang dan Korea Selatan. Sedangkan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer, setelah bertemu dengan Duta Besar Korea Utara, khawatir Korea Utara segera akan melakukan tes kedua.
Sebenarnya seberapa besar ancaman nuklir Korea Utara, negara kesembilan—setelah Israel—yang menyatakan diri sebagai negara nuklir?
Hasil analisis lembaga-lembaga teknologi nuklir yang telah dipublikasikan beberapa media massa menunjukkan: kekuatan ledakan bawah tanah di Hamgyong kecil saja, yaitu sekitar satu kiloton atau kurang. Selama ini, biasanya uji coba nuklir menghasilkan ledakan 10 ribu hingga 60 ribu kiloton. Dengan kata lain, kemampuan nuklir Korea Utara masih jauh di bawah negara-negara nuklir. Tapi harus diakui, ada ancaman lain yang terus membayang: ledakan yang berdaya hancur rendah biasanya menebarkan lebih banyak radioaktif terhadap lingkungan.
Para tetangga, Korea Selatan, Jepang, dan Cina, sekarang cemas. Para ilmuwannya telah memperingatkan kemungkinan dampak radioaktif yang menjalar melalui udara dan air bawah tanah.
Korea Utara memang tak terlalu mencemaskan negara-negara nuklir. Kepada Tempo, Asisten Kementerian Luar Negeri AS untuk Asia Timur dan Pasifik, Christopher R. Hill, mengungkapkan bahwa AS tidak terlalu khawatir dengan ancaman rudal berkepala nuklir Korea Utara, Taepodong. Rudal Taepodong mungkin bisa menjangkau Hawaii. Tapi, menurut Hill, sistem pertahanan AS dengan mudah dan cepat bisa mendeteksi apabila Taepodong diluncurkan ke tanah AS.
Kenyataannya, pemerintah AS memang tidak terlalu hirau dengan nuklir Korea Utara—The Economist menyebut inilah sikap ”mengabaikan namun memusuhi”. Semua tahu, perhatian AS lebih banyak tersedot ke Timur Tengah dan ”perang melawan teroris”. Pemerintah AS memang pernah memberi label kepada Korea Utara, Iran, dan Irak sebagai ”poros setan”, tapi yang benar-benar menjadi sasaran AS adalah Iran dan Irak.
Pun sejak Korea Utara keluar dari kelompok negara-negara yang menandatangani perjanjian non-proliferasi (NPT) sejak 2002 dan menolak inspeksi badan nuklir dunia, IAEA, pemerintah AS juga tidak terlalu serius memperhatikan nuklir Korea Utara. Buktinya, perundingan ”enam pihak” antara negara-negara besar (Rusia, Cina, Jepang, Korea Selatan, AS) dan Korea Utara relatif (dibiarkan) mandek, masing-masing dengan alasannya sendiri.
Cina, yang menjadi mitra dagang utama Korea Utara, memilih menutup mata asal bisnisnya lancar. Sedangkan Korea Selatan juga memilih jalan aman dengan rezim Kim Jong Il melalui kebijakan ”matahari terbit”-nya: memberi bantuan kemanusiaan kepada rakyat Korea Utara. Dan, AS membiarkan semua itu berjalan.
Lalu apa yang membuat Presiden AS, George W. Bush, kali ini panik sehingga bergegas menghubungi negara-negara besar yang tergabung dalam ”enam pihak”? Bush bahkan menyatakan uji coba nuklir ini sebagai ”ancaman bagi perdamaian dan keamanan dunia”.
Tes nuklir Korea Utara ini dengan ”cantik” memang telah berhasil merebut perhatian AS dan negara-negara besar lainnya yang sedang tertuju ke Iran. Menurut Kaveh L. Afrasiabi, seorang doktor ahli nuklir Iran yang menulis beberapa artikel dan buku tentang nuklir Iran, kejadian ini menguntungkan Iran secara geostrategis. Dalam karyanya ”Iran’s Nuclear Program: Debating Facts Versus Fiction”, ia menyebut: negara-negara besar tidak bisa bertindak keras tanpa mempertimbangkan kasus Korea Utara.
Apalagi, di atas kertas, rapor Iran lebih baik ketimbang Korea Utara. Iran tidak pernah keluar dari pakta non-proliferasi dan tidak pernah menyatakan menggunakan teknologi nuklir untuk senjata. Sedangkan Korea Utara, selain keluar dari NPT juga terang-terangan menyatakan mengembangkan senjata nuklir.
Korea Utara memang sudah menerima serangkaian sanksi PBB dan negara-negara Barat. Bahkan pada uji coba peluncuran Taepodong, Juli lalu, Dewan Keamanan melarang semua pasokan teknologi nuklir ke Korea Utara. Tapi, jika Dewan ingin menjatuhkan sanksi yang lebih berat kepada Korea Utara kali ini—seperti yang diserukan Presiden Bush—maka faktor Iran juga harus sangat diperhitungkan.
Apalagi Iran sudah melanggar tenggat yang diberikan Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan pengayaan uranium 31 Agustus lalu. Iran juga tidak menghiraukan ancaman sanksi yang akan segera dijatuhkan, seperti disebutkan para menteri anggota tetap Dewan Keamanan plus Jerman, Jumat 6 Oktober lalu di Inggris. Dewan pun yakin, hampir pasti Iran akan menolak menghentikan pengayaan uraniumnya.
Lalu, bagaimana melihat ”keseimbangan” baru ini? Menurut Afrasiabi, yang juga pernah menjadi penasihat nuklir Iran, semuanya harus dilihat setelah ”kabut debu” uji nuklir Korea Utara menghilang. Artinya, kali ini, belum ada yang terlalu jelas.
Tapi, tetap ada beberapa yang pasti, menurut Afrasiabi. Iran akan benar-benar memanfaatkan momen Korea Utara ini sebagai pendongkrak posisi tawarnya. Salah satunya, Iran bisa lebih membuka kerja sama teknologi nuklir dengan Korea Utara. Apalagi, intelijen Barat percaya bahwa Korea Utara telah membantu Iran dalam pelatihan ahli nuklir. Yang juga pasti, menurut ahli nuklir Iran yang kini tinggal di Boston itu, pemerintah AS mau tidak mau harus mengalokasikan sumber daya militer lebih banyak untuk mengawasi gerak-gerik Korea Utara.
Andari Karina Anom, Bina Bektiati(BBC, The Economist, Reuters, Guardian, Reuters, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo