Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menuju Bamiyan, mereka menemukan maut. Dua wartawan Jerman itu, Karen Fischer, 30 tahun, dan Christian Struwe, 38 tahun, ditemukan tewas di Baglan, Afganistan Utara, pertengahan pekan lalu. Kedua wartawan lepas televisi Jerman, Deutsche Welle, ini diduga dibunuh dalam perjalanan ke Bamiyan. Mereka berencana membuat film dokumenter tentang arca-arca Buddha raksasa yang dihancurkan rezim Taliban pada Maret 2001 dan peninggalan Buddha lainnya di Bamiyan.
”Kami sudah mengidentifikasi empat dari enam pelaku pembunuhan,” ujar Gubernur Baglan, Sayed Ikram Mahsomi. Boleh jadi, kematian dua jurnalis ini merupakan peringatan dari kelompok Taliban.
Sebelumnya, Jerman memang mengirim 2.750 tentara ke Afganistan untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Karena itu, Jerman juga dianggap musuh Taliban.
Sebelumnya, Taliban di Gazni, Afganistan Selatan juga menyerang patroli militer tentara NATO. Dua tentara NATO tewas terkena bom bunuh diri, 14 orang luka-luka. ”Kami tak memiliki helikopter dan pesawat jet tempur, tapi kami memberi Amerika dan sekutunya kejutan bom di jalan-jalan, serangan bunuh diri dan sergapan maut dari gua-gua,” ujar juru bicara Taliban di Afganistan Selatan, Qari Mohammed Yusuf Ahmadi. Hal itu benar adanya. Menurut data terbaru NATO yang dikeluarkan Senin 9 Oktober lalu, sepanjang 2006 Taliban telah melakukan 78 serangan bom bunuh diri di berbagai tempat di Afganistan yang menewaskan hampir 200 orang. Bandingkan dengan korban serangan bom tahun lalu yang 50-60 orang.
Taliban memang makin berotot, terutama di Paktika, Khost, Gazni, Paktiya dan Logar, dan tentu saja Kandahar serta kawasan Balukistan yang terletak di perbatasan Afganistan-Pakistan. Intelijen AS memperkirakan sekitar 6.000 serdadu Taliban beroperasi di Afganistan memiliki basis di kawasan tribal yang dikuasai para warlords di perbatasan Pakistan-Afganistan itu. Dalam Operasi Medusa NATO bulan lalu, intelijen melihat gerakan pasukan Taliban keluar dari dan ke arah perbatasan itu. Bahkan menurut seorang komandan NATO, Jenderal James Jones, di hadapan Senat AS bulan lalu, intelijen menemukan lokasi tokoh tetua Taliban yang pernah menjadi pelindung utama Usamah bin Ladin, Mullah Muhammad Umar di Quetta, Pakistan, yang berbatasan dengan kawasan Balukistan.
Banyak pihak menyebutkan, pertempuran dengan Taliban tahun ini adalah yang terburuk setelah serangan tentara AS pada Oktober 2001. Hal inilah yang membuat pihak AS dan sekutunya gusar: lima tahun diberantas, Taliban tidak lenyap dari muka bumi. Mereka malah tumbuh subur. Jadi, Taliban pasti mendapat bantuan dari pihak luar. Tidak heran jika NATO mencurigai Pakistan melalui dinas intelijennya, ISI, mendukung operasi Taliban. Tuduhan terbuka itu disampaikan Komandan NATO dari Inggris, Jenderal David Richards, pada 8 Oktober lalu.
Pihak Barat sangat yakin Taliban mendapat bantuan dari Pakistan, karena sejarah Taliban memang bermula dari Pakistan. Kelompok ini didirikan pada 1993-1994 oleh Menteri Dalam Negeri Pakistan waktu itu, Naseerullah Babar. Para anggotanya—hingga kini—berasal dari murid-murid madrasah salafiah di Pakistan. Awalnya, Taliban digunakan Pakistan untuk menaklukkan pasukan para komandan militer suku-suku di kawasan perbatasan Pakistan-Afganistan. Itulah sebabnya Taliban sangat menguasai kawasan perbatasan.
”Tak mungkin Taliban tidak mendapat bantuan dari ISI,” ujar perwira senior NATO. Bukti tentang bantuan Pakistan itu juga diperoleh NATO dari 160 orang tawanan Taliban, yang mayoritas orang Pakistan. Dari mereka, para pemeriksa mendapat pengakuan terperinci soal bantuan ISI kepada Taliban.
Fakta-fakta Taliban mendapat bantuan juga cukup terang. Di Panjwai, salah satu distrik di Kandahar, misalnya, Taliban mendirikan kamp pelatihan militer untuk melatih para gerilyawan, termasuk pasukan bom bunuh diri. Pasukan tersebut dipersiapkan untuk merebut kembali Kandahar, kota yang pernah menjadi ibu kota Afganistan ketika Taliban berkuasa, dari tangan tentara NATO. Untuk kebutuhan kamp di Panjwai, NATO memperkirakan Taliban menghabiskan sekitar US$ 5 juta (sekitar Rp 46 miliar) untuk pengadaan amunisi.
Lima tahun belakangan ini, Taliban diperkirakan menghabiskan 400 ribu amunisi, 2.000 ribu roket, dan 1.000 pelontar mortar, yang datang dari Panjwai. Pasokan senjata itu diduga dari Quetta, yang masuk ke Afganistan dengan menyogok polisi perbatasan. Menurut Mojaddedi, seorang penyelundup senjata amatir, hanya diperlukan 5.000 afganis (sekitar Rp 9 juta) untuk menyuap petugas agar meloloskan senjata yang dia bawa. ”Kami akan perang melawan kafir, dan petugas yang telah mendapatkan uang itu pun hengkang,” cerita Mojaddedi.
Kini, NATO sedang memetakan kelompok pendukung Taliban di Balukistan, tempat tersebut secara tradisional sudah menjadi daerah jelajah Taliban. NATO mencurigai ISI memiliki sebuah tempat latihan kemiliteran dekat Quetta. Intelijen NATO menduga tempat tersebut digunakan sebagai tempat pertemuan para pemimpin Taliban dari berbagai provinsi dan persenjataan dipasok.
Keadaan sekarang memang sudah jauh berbeda. Sebelum AS dan sekutunya melancarkan ”perang terhadap teroris” pascaserangan 11 September 2001, mayoritas dari 31 juta penduduk Afganistan tak suka pada Taliban. Karena selama berkuasa, Taliban melarang perempuan bekerja, para gadis bersekolah, serta menutup 300 sekolah. Mereka melarang musik, televisi, radio, kecuali yang berada di bawah pengawasan Taliban. Mereka juga memaksakan hukum Islam menurut tafsir mereka sendiri, menghukum orang secara sadis di muka umum. Selama berkuasa, mereka membantai suku minoritas di Afganistan seperti Tajik, Hazara, dan Uzbek. Taliban menganggap hanya Pashtun yang boleh hidup di Afganistan.
Lalu, Afganistan di bawah Presiden Hamid Karzai tak membawa banyak perubahan bagi kesejahteraan rakyat. Hal itu ditambah dengan kelakuan tentara AS dan sekutunya yang semena-mena, membuat sikap rakyat Afganistan lambat-laun berbalik. Yang terjadi di Afganistan tenggara bisa dijadikan contoh. Tentara AS tiap hari menyergap dan menyerang pertambangan milik rakyat setempat dan meledakkannya. Akibatnya, masyarakat Dilla di Provinsi Paktiya dan pimpinan suku Pasthun setempat berbalik mendukung Taliban.
Tingginya tingkat perlawanan Taliban terhadap kekuatan Barat dan kemungkinan makin meningkatnya dukungan warga Afganistan terhadap Taliban harus benar-benar diperhitungkan AS dan sekutunya. Sudah sangat banyak salah kalkulasi yang dilakukan AS dalam ”perang melawan teroris”. Irak, Guantanamo, penjara-penjara rahasia yang mulai terkuak, kasus-kasus penculikan, penyiksaan, bertubi-tubi meminta pertanggungjawaban pemerintah AS. Publik dunia mempertanyakan kebenaran misi pemberantasan teroris yang dikomandoi Presiden AS, George W. Bush.
NATO dengan kekuatan 40 ribu tentara berharap mampu segera menghabisi Taliban. Dalam pertemuan antara Bush, Presiden Pakistan Pervez Musharraf, dan Presiden Afganistan Hamid Karzai di Washington, akhir bulan lalu, Musharraf berjanji akan menutup madrasah yang mendukung Taliban. Tapi, belajar dari sejarah dan becermin pada cara AS melancarkan perang melawan teroris, hanya menutup madrasah tidak akan menyelesaikan masalah.
Ahmad Taufik (Canada.com, Guardian, Eurasianet, dan Mercury News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo