Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir lima tahun setelah memutuskan bergabung dengan militer Ukraina, Yaros-lava Nykonenko mengikuti jejak ayahnya ke liang kubur. Sang ayah, Serhiy Nykonenko, adalah tentara yang ditugasi ke garis depan pertempuran di wilayah konflik Donetsk dan Luhansk, Ukraina timur. Ia tewas terkena ledakan peluru kendali Grad yang ditembakkan milisi separatis pro-Rusia pada 18 -Januari 2015.
Serhiy, veteran perang Afganistan, meninggal pada usia 52 tahun. Saat jenazahnya dimakamkan di kampung halamannya di Myrhorod, kota kecil sejauh 250 kilometer di timur Ibu Kota Kiev, ribuan orang datang melayat. Mengiringi peti matinya digotong ke kuburan, terdengar sayup-sayup suara mereka: “Pahlawan tidak pernah mati. Pahlawan tidak pernah mati.”
Yaroslava menyusul ayahnya saat ia terkena peluru penembak jitu pada 15 Okto-ber lalu. Perempuan 36 tahun ini satu dari sedikitnya lima tentara Ukraina yang hari itu tewas di Donetsk dan Luhansk, dua kawasan yang biasa disebut Donbas. Yaro-s-lava, yang menjadi tentara tidak lama se-telah kematian ayahnya, adalah perwira di pasukan keamanan elite Staf Umum Mili-ter. Ia pergi meninggalkan putrinya yang ma--sih berusia 13 tahun dan adik perempuan-nya yang menjadi petugas paramedis.
Sejak konflik bersenjata meletus di Donbas pada April 2014, satu per satu tentara Ukraina tumbang. Sehari setelah Yaroslava tewas, Stephan Kryl dari Brigade Angkatan Laut Ke-36 terbunuh dalam baku tembak di dekat Mariupol, kota pesisir di selatan Donetsk. Bulan lalu, sedikitnya 13 serdadu kehilangan nyawa akibat terkena tembakan, mortir, atau rudal. Sepanjang tahun ini saja, sudah 90 lebih tentara Ukraina yang tewas dalam konflik melawan milisi pro-Rusia di daerah itu.
Situasi makin runyam setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menunda pengiriman paket bantuan militer untuk Ukraina pada 18 Juli lalu. Bantuan senilai US$ 391 juta (sekitar Rp 5,4 triliun) itu berupa senjata, pelatihan militer, obat, dan sistem pertahanan, seperti radar pendeteksi serangan artileri. “Sebuah kesalahan besar menahan bantuan ini untuk alasan apa pun, terutama untuk pertimbang-an domestik,” kata James Stavridis, veter-an jenderal bintang empat yang memimpin pasukan Amerika di Eropa pada 2009-2013. “Melakukannya sama saja memberikan hadiah kepada (Presiden Rusia) Vladimir Putin.”
Ketika Trump membekukan bantuan militer untuk negara sekutu Amerika di Eropa timur itu, Oleksandr Markiv dan batalionnya tengah bertempur di Svitlodarsk, salah satu lokasi yang terkenal berbahaya. Dua bulan kemudian, Markiv tewas terkena pecahan peluru selama pasukan separatis membombardir batalionnya dengan mortir. “Bantuan ini bukan hanya uang dari bank, tapi juga senjata dan peralatan tempur,” ujar juru bicara Departemen Pertahanan Ukraina, Oleksandr Motuzyk.
Area yang dikuasai separatis
Krisis di Ukraina bermula dari protes di Kiev pada November 2013. Saat itu, ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan menentang keputusan Presiden Viktor Yanukovych yang menolak kesepakatan integrasi ekonomi dengan Uni Eropa. Tindakan represif pasukan keamanan memicu gelombang demonstrasi besar-besaran dan berujung pada meletusnya revolusi Maidan, yang melengserkan rezim. Yanukovych, yang dituding dekat dengan Moskow, hengkang ke Rusia pada Februari 2014.
Di tengah kekisruhan politik itu, pasuk-an Rusia mengambil kendali Krimea sebulan kemudian. Moskow mencaplok wilayah semenanjung itu setelah mayoritas penduduknya setuju bergabung dengan Federasi Rusia lewat referendum yang kontroversial. Krisis meluas ke Donbas, yang berbatasan dengan Rusia, saat milisi separatis yang diperkirakan mencapai 35 ribu orang mengambil alih gedung-gedung pemerintah dan mendesak referendum untuk melepaskan diri dari Ukraina.
Tak ingin kehilangan wilayahnya seperti Krimea, militer Ukraina menerjunkan ribuan pasukannya ke Donbas. Tapi, selama di bawah kekuasaan Presiden Petro Poros-henko, pemerintah Ukraina belum dapat me----nuntaskan konflik bersenjata yang, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah me--ne-waskan lebih dari 13 ribu orang, termasuk 4.000 tentara Ukraina, dan membuat 1,5 juta penduduk telantar. Pertempur-an berlanjut sporadis di sejumlah lokasi meskipun ada perjanjian gencatan senjata.
Pemerintah Rusia berkali-kali menyangkal keterlibatannya di Donbas meskipun Ukraina dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) telah melaporkan terjadinya penum-pukan pasukan Rusia serta pera-latan militer di dekat Donetsk dan jalur lintas perbatasan Negeri Beruang Merah. “Kremlin berkeras bahwa orang Rusia yang berperang di sisi pasukan separatis adalah ‘sukarelawan’,” tulis Politico.
Konflik yang terus berkecamuk di Donbas tak menyurutkan langkah presiden baru Ukraina, Volodymyr Zelensky. Dalam pertemuannya dengan Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier, Rabu, 23 Oktober lalu, bekas aktor dan komedian yang menjabat sejak Mei lalu itu mengatakan peme-rintahnya bakal terus mengupayakan perdamaian di Donbas. “Mengakhiri pertumpahan darah adalah prioritas mutlak bagi saya. Saya sangat berterima kasih atas usaha Anda untuk penyelesaian politik dan diplomatik dalam perang Donbas serta pemulihan integritas teritorial Ukraina,” tuturnya kepada Steinmeier.
Zelensky meneken Formula Steinmeier, kesepakatan damai yang dirumuskan Presiden Steinmeier, pada awal Oktober lalu. Sesuai dengan kesepakatan itu, Zelensky menyetujui pemilihan lokal yang bebas dan adil di Donbas. Donbas kemudian akan diberi status khusus setelah pemilihan sesuai dengan hukum Ukraina. Keputusan ini bukan tanpa risiko untuk Zelen-sky, yang dituduh telah mengambil langkah yang terlalu menguntungkan Moskow.
Formula Steinmeier, yang juga ditandatangani pemerintah Rusia dan delegasi kelompok separatis Donbas, adalah prasyarat kunci untuk pertemuan puncak pemimpin Ukraina, Rusia, Prancis, dan Jerman, yang dikenal sebagai Empat Normandia. Pertemuan yang akan ditengahi Prancis dan Jerman pada November mendatang itu bakal membahas banyak hal penting. “Kami antara lain akan membicarakan hukum untuk status khusus Donbas,” ucap Zelensky.
Jalur negosiasi kini menjadi opsi yang paling masuk akal bagi Zelensky. Apalagi uluran tangan dari Washington ditengarai berbuntut pamrih. Di Amerika Serikat, Partai Demokrat menuduh Donald Trump se-ngaja menyandera bantuan militer Ukraina dengan imbalan janji dari Zelensky untuk menyelidiki transaksi Hunter Biden, petinggi di salah satu perusahaan gas terbesar di sana. Hunter adalah putra bontot Joe Biden, wakil presiden era Barack Obama dan kandidat calon presiden terkuat penan-tang Trump.
“Jika Amerika Serikat akan menyeret kami ke urusan dalam negeri mereka, lalu kami harus mengandalkan dukungan siapa?” kata Hanna Hopko, mantan anggota parlemen Ukraina. Tapi, menurut Vik-tor Muzhenko, bekas kepala staf militer Ukraina, negaranya kali ini akan dapat membela diri dari Rusia tanpa bantuan Amerika. “Tapi kerugian Kiev menjadi lebih berat.”
Di tengah medan tempur Svitlodarsk, Oleksiy Tikhonchuk, komandan batalion Oleksandr Markiv, turut menyayangkan keputusan Washington. Menurut dia, wakilnya itu tidak akan tewas jika pasukan-nya memiliki sistem radar Amerika untuk mendeteksi serangan mortir. “Semua tentara bersembunyi di parit-parit, tapi Sasha memutuskan naik untuk dapat melihat sumber serangan. Dia melakukan itu dengan mempertaruhkan nyawanya,” ujar Tikhonchuk, merujuk pada nama panggil-an koleganya tersebut.
Kematian Markiv membuat istrinya, Anas-tasia Golota, dan keluarganya sangat terpukul. Putra semata wayang mereka, Svetoslav, 9 tahun, tak henti menangis saat menghadiri pemakaman ayahnya di kota kelahirannya di Obukhiv. “Dia bilang dia tidak berpikir ayahnya berada di sana,” ucap Golota.
MAHARDIKA SATRIA HADI (KYIV POST, RADIO FREE EUROPE, CFR, LA TIMES)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo