Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Senin Hitam di Koran Australia

Halaman muka koran-koran Australia serentak diblok hitam. Buntut penggeledahan terhadap jurnalis dan kantor media oleh polisi.

26 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Halaman depan sebagian besar koran Australia di Canberra, 21 Oktober 2019./ AAP Image/Lukas Coch/via REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang itu, Jaksa Agung Christian Porter tampak bergegas masuk kantor ABC TV di Sydney, Australia, Jumat, 25 Oktober lalu. Tapi dia berhenti sejenak di hadapan sejumlah wartawan yang menunggu kabar terbaru tentang kasus pemberangusan kebebasan pers. Porter berusaha meyakinkan perusahaan media yang memperjuangkan kebebasan pers bahwa dia sangat tidak setuju dengan penuntutan atas jurnalis.

Komentarnya ini berkaitan dengan kasus penggerebekan Kepolisian Federal Australia (AFP) ke rumah wartawan News Corporation Australia, Annika Smethurst, di Canberra, 4 Juni lalu. Keesokan harinya, polisi menggeledah kantor perusahaan media Australian Broadcasting Corporation (ABC) di Sydney.

Rumah Annika Smethurst digeledah karena ia menulis berita soal rencana pemerintah memberikan kewenangan baru kepada badan intelijen negara agar bisa memata-matai masyarakat. Adapun ABC digeledah karena liputan jurnalisnya, Dan Oakes dan Sam Clark, tentang penyalahgunaan wewenang oleh pasukan khusus Australia selama bertugas di Afganistan. Laporan terakhir ini berdasarkan bocoran dokumen dari Departemen Pertahanan Australia.

Jumat, 25 Oktober lalu, Porter mengambil langkah intervensi luar biasa terhadap pengadilan tinggi dalam kasus penggeledahan rumah Smethurst. Dia meminta pengadilan mencegah upaya penghancuran barang bukti kasus itu karena dapat digunakan untuk penuntutan lain di masa depan.

“Jika dakwaan diajukan, data yang disita dari telepon Smethurst mungkin penting. Dalam keadaan semacam itu, pengadilan seharusnya tidak memerintahkan data tersebut dihancurkan,” kata Porter.

Pada Senin, 21 Oktober lalu, halaman muka selusin lebih koran Australia diblok hitam. Hanya ada satu kalimat yang terbaca: “Ketika pemerintah menahan kebenaran dari Anda, apa yang mereka tutup-tutupi?”. Pada hari yang sama, sejumlah stasiun televisi menayangkan iklan 30 detik dengan pesan serupa pada jam-jam utama. Ini sebagai tanda protes mereka atas pemberangusan kebebasan pers di negeri itu.

Organisasi media dan jurnalis di Negeri Kanguru sudah lama khawatir akan nasib kebebasannya. Negara yang tergolong maju itu ternyata tak memiliki undang-undang yang menjamin kebebasan pers, seperti pada Amendemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat. Kebebasan mereka makin terancam oleh sejumlah undang-undang terkait dengan rahasia dan mata-mata serta terorisme yang terbit pada 2001.

Menurut The Guardian, selama 2001-2007 saja setidaknya ada 23 undang-undang atau regulasi baru yang berhubungan dengan terorisme, perluasan kewenangan polisi melakukan penggeledahan, dan lahirnya Komisi Kriminal. Termasuk di dalamnya perluasan kewenangan bagi Organisasi Intelijen Keamanan Australia (ASIO), badan intelijen negeri itu, melakukan interogasi dan pengintaian.

Hal ini mendorong setidaknya 19 perusahaan media dan jurnalis di Australia bergabung dalam Koalisi Hak untuk Tahu pada 2007. Koalisi itu dibentuk untuk menghadapi konsekuensi yang tidak diinginkan dari lahirnya sejumlah undang-undang yang berdampak pada kebebasan pers. Selain berkampanye, mereka mengajukan revisi terhadap sejumlah undang-undang yang dinilai bermasalah.

Paul Murphy, CEO Media, Entertainment and Arts Alliance (MEAA), serikat pekerja dan profesi wartawan Australia, menyebutkan sejumlah undang-undang itu telah memakan korban kebebasan media dalam menyelidiki sejumlah kasus besar. “Ini membuat jurnalis terekspos pada penuntutan karena menerbitkan informasi rahasia dan meningkatkan risiko terhadap sumbernya lantaran metadata mereka bisa disita tanpa surat perintah,” ujar Murphy kepada Tempo, Jumat, 25 Oktober lalu.

Murphy, yang memimpin organisasi pekerja media terbesar di Australia itu, melihat gerakan bersama perusahaan media ini sebagai perkembangan baik. “Sangat menggembirakan melihat organisasi media yang sering kali bersaing itu kini bekerja sama untuk reformasi penting yang hendak dicapai dalam kampanye Hak untuk Tahu ini,” katanya.

===

SEMUA berawal dari “Spying shock: Shades- of Big Brother as cyber-security vision comes to light”, berita yang ditulis Annika Smethurst pada 29 April 2018 di Daily Telegraph, anak perusahaan News Corp Australia. Smethurst menulis soal rencana dua lembaga pemerintah menambah kewenangan pengintaian baru kepada badan intelijen bidang persinyalan, Direktorat Sinyal Australia (ASD), buat memantau warga Australia untuk pertama kalinya.

Di bawah rencana itu, e-mail, catatan bank, dan pesan teks orang Australia dapat diakses secara diam-diam oleh mata-mata digital tanpa jejak oleh ASD, asalkan Menteri Pertahanan dan Menteri Dalam Negeri menyetujuinya. Undang-undang yang berlaku sekarang masih melarang hal tersebut.

Informasi ini diketahui Daily Telegraph melalui surat-menyurat rahasia antara Menteri Dalam Negeri Mike Pezzullo dan Menteri Pertahanan Greg Moriarty pada Februari 2018. Pezzullo menulis kepada Moriarty tentang rencana yang memungkinkan peretas pemerintah untuk “secara proaktif mengganggu dan secara diam-diam menghapus” ancaman siber di darat dengan “menyusup ke infrastruktur penting”.

Adapun kantor ABC digeledah polisi karena liputan jurnalisnya, Dan Oakes dan Sam Clark, yang dipublikasikan berseri pada Juli 2017. Berdasarkan hasil dokumen bocoran dari Departemen Pertahanan Australia, mereka mengungkap tuduhan pembunuhan dan pelanggaran hukum oleh pasukan khusus Australia di Afganistan.

Laporan yang diberi judul “Afghanistan File” itu mengungkap operasi pasukan elite Australia, merinci insiden yang menewaskan orang-orang dan anak-anak yang tidak bersenjata, serta kekhawatiran tentang “budaya prajurit” di kalangan tentara. Laporan itu antara lain menyebutkan bahwa tentara telah membunuh seorang lelaki dan anaknya yang sedang tidur serta seorang tahanan Afganistan ditembak mati setelah diduga mencoba merebut senjata dari prajurit Australia.

Penyelidik Badan Investigasi Angkatan Pertahanan Australia (ADFIS), yang bertugas menyelidiki kasus-kasus yang melibatkan militer, dikirim untuk menyelidiki insiden tersebut. Tapi komandan Kelompok Tugas Operasi Khusus di Tarin Kowt menolak menyerahkan bukti kepada penyelidik tanpa surat perintah. Penolakan ini berujung pada konfrontasi yang buruk antara petugas dari pasukan khusus dan penyelidik ADFIS.

Buntutnya, polisi menggeledah kantor ABC di Sydney, 5 Juni lalu. Berbekal surat perintah pengadilan, mereka meminta akses terhadap surat elektronik orang-orang yang disebutkan dalam surat itu serta data antara April 2016 dan Juli 2017. Menurut John Lyons, kepala desk jurnalisme investigasi ABC News, para petugas mendapatkan akses ke server ABC dan mencari kata kunci yang terkait dengan laporan itu. Mereka mengunduh sekumpulan file dan mulai membacanya di layar lebar di kantor ABC.

Secara keseluruhan, mereka mengunduh 9.214 dokumen, termasuk e-mail antara reporter dan editor serta draf dan skrip yang tidak dipublikasikan yang berkaitan dengan berita. Yang mengejutkan, para petugas juga berwenang “menambah, menyalin, menghapus, atau mengubah” file tersebut. Setelah menggeledah selama sembilan jam, mereka membawa serta dua flash drive yang berisi sejumlah file.

Baik dalam penggeledahan rumah Annika Smethurst maupun kantor ABC, polisi menggunakan pasal mengenai larangan penerbitan informasi rahasia dalam Undang-Undang Pidana 1914. Menurut pengacara dari Aliansi Pengacara Australia, Greg Barns, pelanggaran atas undang-undang ini diancam hukuman hingga tujuh tahun penjara. “Ini mengirimkan pesan yang jelas kepada organisasi media, jur-nalis, dan narasumber bahwa mereka berisiko jika mempublikasikan informasi yang pemerintah tidak ingin mereka publi-kasikan,” ucapnya.

Perdana Menteri Scott Morrison membela tindakan polisi dan membantah jika penggeledahan itu disebut sebagai bentuk serangan terhadap kebebasan pers. “Austra-lia sangat meyakini kebebasan pers dan kami memiliki aturan serta perlindung-an yang jelas untuk kebebasan pers,” katanya.

ABDUL MANAN (ABC, THE GUARDIAN, DAILY TELEGRAPH, CNN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus