MEREKA menolak Undang-Undang Pembauran Kebudayaan. Mereka tak mau mengganti nama Turki mereka dengan nama Slavia. Mereka menolak menanggalkan adat-istiadat muslim yang mengakar sejak 500 tahun lalu. Maka, mereka, warga Bulgaria keturunan Turki, diusir. Hingga awal pekan ini sudah sekitar 37.000 orang dikirimkan kembali ke Turki dengan cara memasukkan mereka ke dalam kereta api dan menurunkannya di perbatasan negeri itu. Upaya warga mereka -- populasinya cuma sepersepuluh dari 9 juta penduduk Bulgaria -- agar tetap diterima sebagai warga Bulgaria dengan identitas khas, gagal. Aksi unjuk rasa orang-orang itu sejak bulan lalu, agar diizinkan mempertahankan budaya moyang mereka, malah memancing bentrok dengan polisi dan tentara. Menurut Pemerintah Bulgaria, 6 orang keturunan Turki meninggal akibat bentrokan dengan angkatan bersenjata di berbagai kota. Sementara itu, Badan Amnesti Internasional menyatakan angka kematian sekitar 100 orang. Tentu saja kini Pemerintah Turki yang repot. Untuk sementara orang usiran itu ditampung di wilayah Turki perbatasan, dengan tenda-tenda sebagai tempat berteduh. Turki berusaha berunding dengan Bulgaria untuk mengatasi masalah ini. Sebab, bila arus eksodus ini berlanjut, pada akhir Juli diperkirakan 100.000 keturunan Turki harus ditampun. Tapi reaksi Bulgaria malah lebih galak. Dua pekan lalu polisi dan tentara, lengkap dengan tanknya, mengepung permukiman keturunan Turki dan memaksa mereka menerima paspor yang hanya berlaku untuk ke Turki. Mereka dipaksa meninggalkan negeri itu dalam 24 jam. Sejak itu, sekitar 2.000 orang tiap hari menyeberangi perbatasan dan memadati tempat penampungan di tepi batas Turki. Mereka rupanya tak cuma diusir. "Hampir semua harta benda mereka disita polisi di perbatasan," kata juru bicara Kedubes Turki di Belgrado. Mereka, yang umumnya sudah menjadi penduduk Bulgaria selama berpuluh-puluh generasi, tak diizinkan membawa harta benda. Bahkan simpanan di bank pun dibekukan. Tak jelas sebenarnya alasan keturunan Turki ini menolak pembauran. Bulgaria memang pernah dikuasai dinasti Ottoman dari Turki sampai sekitar 500 tahun sejak 1386. Bisa jadi, di bawah sadar para keturunan Turki itu masih merasa superior. Tapi mungkin ada juga alasan lain. Sebagian besar orang itu bekerja di tanah pertanian dan pabrik-pabrik, pekerjaan yang sulit mereka dapatkan bila kembali ke Turki. Perdana Menteri Turki Turgut Ozal, ketika mengunjungi kamp penampungan para pengungsi itu, menyambut dengan optimisme: "Tanah kita masih luas. Selama ini mereka warga kelas dua di negeri orang. Lebih baik mereka bergabung dan kita bertambah kuat." Sementara itu, timbul kecemasan rakyat Bulgaria bahwa sebentar lagi mereka harus mengisi lowongan kerja yang ditinggalkan oleh keturunan Turki itu. Itu berarti mereka harus kerja keras. Dan bila ini gagal, artinya pengusiran ini akan berdampak pada merosotnya produksi pertanian dan industri. Bulgaria tentu saja tak mengaku mengusir mereka. "Mereka meninggalkan Bulgaria karena hasutan propaganda anti-ulgaria," kata seorang pejabat pemerintah. Selama ini mereka dianggap bukan keturunan Turki, tapi sebagai warga Bulgaria seperti yang lain. Lalu kenapa pembauran itu seperti dipaksakan? Akhir-akhir ini kegiatan di segala bidang keturunan Turki itu meningkat. Orang Bulgaria agaknya cemas bila keturunan Turki lalu mendominasi masyarakat -- sesuatu yang dekat dengan penjajahan model kuno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini