Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menyontek ? yes

Bahasa Inggris & persaingan masuk perguruan tinggi di bangladesh makin ketat. ribuan pelajar yang ikut ujian, menyontek terang-terangan. polisi dikerahkan, keributan pun terjadi. pemerintah turun tangan.

24 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SULIT dipercaya: terjadi gerakan menyontek secara masal di seluruh Bangladesh, pekan lalu. Akibatnya, polisi perlu didatangkan, hingga keributan pun meledak, membawa korban. Sudah lama penyakit klasik para pelajar itu diidap oleh dunia pendidikan di Bangladesh. Tapi yang terjadi di hari kedua ujian akhir sekolah menengah atas, Ahad pekan lalu, memang istimewa: penyontekan secara masal dan terang-terangan. Ribuan pelajar yang menempuh ujian hari itu bukannya berkeras berpikir di meja masing-masing. Tapi mereka sibuk mencoba mengirimkan lembar soal ke luar dari lokal. Sementara itu, di luar, sanak saudara sudah menunggu. Mereka inilah yang lalu mengisi lembar soal itu, atau membisikkan jawaban soal-soal itu. Mereka yang tak dibantu familinya dengan terus terang membuka-buka buku teks, mencari jawaban. Dan ajaib, seperti para siswa di seluruh Bangladesh sudah pada berjanji sebelumnya, ini terjadi di semua pusat ujian di seluruh negeri, tak cuma di Ibu Kota Dhaka. "Lha, ini bukan ujian namanya," kata seorang guru pengawas yang tak berdaya karena diancam oleh siswa-siswa yang rata-rata berusia tujuh belasan tahun itu. Maka, polisi pun didatangkan. Segera tindakan diambil. Mereka yang terbukti menyontek segera dikeluarkan. Hasilnya, menurut surat kabar Bangkok Post, di seluruh Banladesh hari itu sekitar 8.000 peserta ujian dikeluarkan. Celakanya, urusan tak cuma sampai di situ. Mereka yang dikeluarkan segera terlihat kembali menuju ke tempat ujian. Kali ini mereka tak membawa pensil atau kertas, tapi batu dan bom molotov. Dan ini pun terjadi di seluruh negeri -- seperti para siswa itu punya hubungan batin satu sama lain. Segera kerusuhan meledak. Kaca-kaca jendela sekolah pecah, genting rontok. Enam guru di Kota Barisal, 120 km di selatan Dhaka, dipukuli siswa sampai pingsan. Seorang siswa dikabarkan meninggal, sekitar 400, termasuk polisi dan guru, luka-luka. Seratus siswa ditahan. Senin esoknya Presiden Bangladesh Hussein Mohammad Ershad langsung turun tangan, mengunjungi tempat-tempat keributan. "Kerusuhan itu menjurus ke aksi-aksi politik," kata Ershad yang memenangkan kudeta tak berdarah pada 1982 itu. Mungkin Ershad benar, mungkin tidak. Yang jelas, dunia pendidikan Bangladesh memang memprihatinkan. Sebagaimana di Indonesia, daya tampung perguruan tinggi sangat terbatas. Benar, dari sekitar 10 juta siswa sekolah dasar, hanya sekitar 2,5 juta yang melanjutkan ke sekolah menengah. Taruhlah kemudian yang ingin melanjutkan ke universitas sekitar 10% atau sekitar 250.000. Maka, para siswa itu harus bersaing ketat karena daya tampung universitas hanya sekitar 40.000 -- negeri berpenduduk sekitar 110 juta ini hanya punya enam universitas. Bila keributan meledak pada hari kedua ujian akhir sekolah menengah, pasalnya pada hari itu diujikan bahasa Inggris. Bahasa ini menjadi pelajaran wajib di universitas, dan mahasiswa dituntut menguasainya. Maka, nilai bahasa Inggris di sekolah menengah sangat menentukan bagi mereka yang ingin melanjutkan ke universitas. Presiden Ershad, yang mengkhawatirkan keributan akan dimanfaatkan oleh oposisi, rupanya memahami masalah itu. "Para siswa tak dapat disalahkan," katanya. Ia mengakui perlunya suatu sistem pendidikan baru, yang mampu menyerap lulusan sekolah menengah. Sebenarnya, Ershad sudah berusaha menampung para lulusan dengan membuka pendidikan akademi dan kursus-kursus -- kini ada 500 buah akademi dan pusat kursus. Sayang, usaha Ershad itu kurang mendapat dukungan dari warga Bangladesh sendiri yang sebagian masih melihat menjadi atau punya anggota keluarga yang mahasiswa adalah gengsi. Itulah yang kemudian mendorong si calon mahasiswa melakukan segala cara agar lulus dan diterima di universitas, sementara para orangtua dan sanak keluarga membantunya dengan apa saja. Para orangtua di negeri dengan pendapatan per kapita US$ 115 di tahun 1986 (bandingkan dengan Indonesia yang US$ 560) ini tak segan-segan menjual harta bendanya sebagai uang pelicin. Tapi mengapa menyontek secara masal baru sekarang terjadi? Belum ada jawaban. Yang jelas, bagi mereka yang berbahasa Bengali, bahasa nasional di Bangladesh, mempelajari bahasa Inggris memang sulit sekali. Demikianlah keterangan yang kami sontek dari surat kabar berbahasa Bengali, Sangbad.Disi Prambadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum