Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Partai Gerakan Maju atau Move Forward Party (MFP) mengomentari situasi demokrasi di Thailand, mengatakan masih ada sisa-sisa rezim militer di negara yang telah secara berkala mengalami pergantian antara demokrasi dan pemerintahan militer tersebut.
MFP sedang mengalami kemungkinan pembubaran, menunggu keputusan dari Mahkamah Konstitusi Thailand yang tengah mengadili kasus yang diajukan oleh Komisi Pemilihan Umum Thailand (EC).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EC mengajukan sebuah petisi kepada Mahkamah pada 18 Maret lalu, memintanya membubarkan MFP karena percaya partai tersebut berusaha menggulingkan monarki konstitusional negeri.
Mahkamah dan EC dibentuk oleh Senat yang sepenuhnya ditunjuk oleh junta militer dan bukan suara rakyat, menurut juru bicara MFP Parit Wacharasindhu.
“Meskipun saat ini sudah ada pemilu, mantan pemimpin militer tidak lagi berkuasa, dan kami mempunyai pemerintahan baru yang dipimpin oleh seorang perdana menteri sipil, namun sisa-sisa rezim militer masih bersama kami,” kata Parit dalam wawancara khusus dengan Tempo di Jakarta, Kamis, 27 Juni 2024.
Thailand kini dipimpin oleh seorang perdana menteri sipil, Srettha Thavisin, setelah sebelumnya dikepalai Prayut Chan-o-cha, perwira militer yang merebut kekuasaan melalui kudeta militer pada 2014 dan menjabat perdana menteri hingga 2023.
Hingga baru-baru ini, anggota Senat tidak dipilih oleh rakyat lewat pemilu melainkan oleh militer. Para senator memiliki kekuatan untuk menentukan pembentukan pemerintah dan siapa yang menjadi perdana menteri di Thailand.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru pada 27 Juni 2024, negara itu mengumumkan hasil pemilu untuk membentuk Senat baru. Ini merupakan pemilu Senat pertama sejak kudeta militer satu dekade lalu.
Seluruh 250 senator yang ditunjuk militer tersebut juga sempat menghalangi MFP untuk membentuk pemerintahan tahun lalu, meski partai progresif itu berhasil meraih 151 dari total 500 kursi DPR pada pemilu legislatif Mei 2023.
Parit mengatakan MFP – kini sebagai partai oposisi utama – telah mengajukan 50 rancangan undang-undang ke parlemen, mencakup RUU mengenai reformasi militer, desentralisasi, demonopolisasi, serta peningkatan hak-hak sipil dan kebebasan.
Perihal reformasi militer, ada dua RUU yang diajukan MFP. Satu RUU mengusulkan penghapusan wajib militer di Thailand, dan yang lain menyangkut pembenahan struktur kementerian pertahanan, yang menurut Parit sangat penting.
"Karena saat ini kekuasaan tidak berada pada menteri sipil,” katanya, merujuk pada Sutin Klungsang yang merupakan menteri pertahanan dari kalangan sipil.
Ia menjelaskan, ada undang-undang di Thailand yang terbit sekitar 20 tahun lalu yang mengatur bahwa setiap keputusan penting terkait kebijakan, anggaran, atau personel terkait militer tidak boleh diputuskan oleh menteri tetapi melalui keputusan majelis militer, yang mayoritas adalah pejabat senior militer.
“Hal tersebut menghalangi prinsip kontrol sipil terhadap militer. Jadi, kami mengusulkan untuk mengubah undang-undang tersebut dan melakukan normalisasi serta memastikan adanya kendali sipil atas militer,” katanya.
Contoh terbesar sisa-sisa pengaruh rezim militer di Thailand, menurut Parit, adalah konstitusi Thailand sendiri yang menuai kritik karena dianggap memungkinkan militer mengendalikan pemerintah.
Parit berpendapat, kunci menyelesaikan masalah tersebut adalah menyerukan penyusunan konstitusi baru. Dalam pandangan MFP, katanya, jika Thailand menginginkan konstitusi baru yang demokratis maka memerlukan majelis konstituante yang dipilih sepenuhnya.
Pilihan Editor: Thailand Menyelesaikan Pemilihan Senat Pertama dalam Satu Dekade
NABIILA AZZAHRA