Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Paus Fransiskus untuk pertama kalinya mengizinkan perempuan memberikan suara dalam pertemuan dunia para uskup yang akan dilaksanakan pada Oktober 2023. Selama ini, pengambilan keputusan di Gereja Katolik Roma masih bersifat inklusivitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tahun-tahun sebelumnya perempuan diizinkan menghadiri sinode dan badan penasehat kepausan sebagai auditor tetapi tanpa hak untuk memilih. Aturan revolusioner ini diumumkan pada Rabu, 26 April 2023, di mana Paus mengizinkan lima biarawati memberikan hak suara.
Selain itu, Paus Fransiskus juga telah memutuskan untuk memasukkan apa yang disebut dokumen Vatikan sebagai "70 anggota non-uskup yang mewakili berbagai kelompok umat Allah".
Ke-70 imam, suster, diakon, dan umat awam Katolik akan dipilih oleh Paus Fransiskus dari daftar 140 orang yang direkomendasikan oleh konferensi uskup nasional. Konferensi-konferensi itu didorong untuk mengikutsertakan kalangan muda. Vatikan telah meminta agar 50 persen dari 140 orang itu, 70-nya adalah perempuan.
Sinode biasanya dihadiri oleh sekitar 300 orang sehingga sebagian besar dari mereka yang memiliki hak suara masih menjadi uskup. Namun perubahan itu tetap luar biasa bagi sebuah institusi yang telah didominasi laki-laki selama berabad-abad.
Aturan baru tersebut mengikuti dua langkah besar yang diambil Paus Fransiskus pada tahun lalu untuk menempatkan perempuan dalam posisi pengambilan keputusan di Vatikan. Salah satunya, dia memperkenalkan reformasi penting yang memungkinkan umat Katolik awam yang dibaptis, termasuk perempuan untuk memimpin sebagian besar departemen di Vatikan di bawah konstitusi baru untuk administrasi pusat Takhta Suci.
Pada tahun lalu, Paus Fransiskus menunjuk tiga perempuan ke komite yang sebelumnya semuanya laki-laki yang menasihatinya dalam memilih uskup dunia.
Hak untuk memilih
Kelompok perempuan di Gereja selama bertahun-tahun telah menuntut hak agar bisa memberikan hak pilih di sinode-sinode terkenal, yang menyiapkan resolusi yang biasanya menghasilkan dokumen kepausan.
Sinode 2018 menjadi titik nyala ketika dua saudara dan laki-laki awam yang tidak ditahbiskan, diizinkan memilih dalam kapasitas mereka sebagai pemimpin umum dari ordo religius mereka. Tetapi Suster Sally Marie Hodgdon, seorang warga Amerika yang juga tidak ditahbiskan, tidak diizinkan untuk memilih meskipun dia adalah pemimpin umum di ordonya.
Pada 2021 Paus Fransiskus untuk pertama kalinya mengangkat seorang perempuan ke posisi nomor dua dalam jabatan gubernur Kota Vatikan dan menjadikan Suster Raffaella Petrini sebagai perempuan berpangkat tertinggi di Vatikan.
Pada tahun yang sama, Paus Fransiskus mengangkat biarawati asal Italia Suster Alessandra Smerilli ke posisi nomor dua di kantor pembangunan Vatikan, yang menangani masalah keadilan dan perdamaian.
Paus Fransiskus juga menunjuk Nathalie Becquart dari Xaviere Missionary Sisters, sebagai wakil sekretaris departemen Vatikan yang mempersiapkan sinode. Becquart adalah warga negara Prancis.
Sinode yang akan datang telah dipersiapkan selama dua tahun, di mana umat Katolik di seluruh dunia ditanya tentang visi mereka untuk masa depan Gereja.
Para pendukung menyambut baik konsultasi tersebut sebagai kesempatan untuk mengubah dinamika kekuatan Gereja dan memberikan suara yang lebih besar kepada umat Katolik yang masih awam, termasuk perempuan, dan orang-orang yang terpinggirkan dalam masyarakat.
Para konservatif mengatakan proses tersebut hanya membuang-buang waktu, dapat mengikis struktur hierarki dari hampir 1,4 miliar anggota Gereja dan dalam jangka panjang dapat melemahkan doktrin tradisional.
Reuters
Pilihan Editor : Moskow: Dukungan AS Kepada Ukraina untuk Melemahkan Rusia
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini