JUTAAN pelayat Ayatullah Ruhollah Khomeini bukan cuma menunjukkan kecintaan rakyat Iran terhadap wilayat al-faqih tampaknya sungguh dalam. Itu juga berarti bahwa pihak oposisi, kelompok yang ingin menggeser pengikut Khomeini, mesti berpikir dua kali sebelum muncul bertanding merebut kursi kekuasaan. Sinyalemen bahwa banyak orang kecewa terhadap zaman Khomeini -- karena konon kehidupan sehari-hari makin sulit, usaha swasta dibatasi, penangkapan-penangkapan orang yang dituduh melakukan pelanggaran, dan keadaan penjara lebih buruk daripada di zaman Syah Iran untuk sementara terbantah, atau setidaknya hal ini tak menjadi masalah utama. Hal itu juga terlihat dari lancarnya Dewan Ahli memilih Ayatullah Ali Khamenei -- menurut Ahmad Khomeini, sang almarhum pernah memuji Khamenei-lah yang layak menggantikan dia -- sebagai pengganti yang baru saja mangkat. Dugaan akan adanya kemelut politik sesudah meninggalnya Sang Ayatullah ternyata tak muncul ke permukaan. Bahkan Sabtu pekan lalu, ketika Iran memperingati sepekan mangkatnya Ayatullah Khomeini, jutaan orang yang berdesak-desakan di sekeliling makam menghasilkan sumbangan dalam jumlah besar. Menurut Ahmad Khomeini, dalam semalam itu terkumpul lebih dari US$ 1 juta. Juga untuk sementara suara-suara keberatan terhadap terpilihnya Ali Khamenei sebagai sekaligus pemimpin kenegaraan dan kerohanian, Selasa pekan lalu, diredam. Kata yang keberatan Khamenei, 49 tahun, bobot ilmu agamanya belum setaraf ayatullah. Ia masih hojatullah, peringkat di bawahnya. Tapi, dengan diumumkannya nama Ayatullah Uzma Mohamad Ali Araki sebagai marja al-taqlid atau hakim keagamaan tertinggi, diharapkan keberatan itu tak ada lagi. Ayatullah Araki, yang kini 93 tahun, dipilih oleh 6 ayatullah senior (tak disebutkan siapa mereka), dan Ahmad Khomeini adalah bekas guru Khomeini. Yakni guru dasar-dasar keagamaan. Yang tak dijelaskan oleh kantor berita Iran, IRNA, apakah kemudian Ali Khamenei harus berbagai kepemimpinan dengan Ayatullah Araki atau tidak Khamenei hanya mengurusi soal-soal negara, sementara Araki soal-soal keagamaan. Ataukah, Araki menjadi semacam penasihat agung, yang baru ikut campur apabila ada soal yang menyangkut masalah keagamaan yang tak terpecahkan oleh Khamenei. Ini semua menunjukkan satu hal yang sulit dibantah: pihak oposisi yang mencoba mengakhiri pemerintahan mullah di Iran tampaknya tak berkutik. Para pengikut Syah Iran dan kelompok komunis (yang bergerak di bawah tanah atau di luar Iran), Mujahidin Khalq, dan suku Kurdi tipis punya kemungkinan menumbangkan kekuasaan para mullah. Tak berarti percaturan politik di Iran akan tenang-tenang saja sampai pemilihan presiden dan sidang pengubahan konstitusi Agustus nanti. Di dalam tubuh mullah itu sendiri ada persaingan ketat untuk saling menjegal, melapangkan dirinya menuju kursi kekuasaan. Hojatullah Ali Akbar Rafsanjani, ketua parlemen, pernah bilang, "Ada dua faksi kuat di Iran. Pihak yang satu menghendaki nasionalisasi hampir semua industri. Pihak lainnya mendukung sektor swasta." Salah satu manifestasi pertentangan itu, pada 1986, pemerintah membredel koran konservatif Risalat yang baru berumur 6 bulan, karena menyerang kebijaksanaan baru tentang tanah, perdagangan luar negeri, dan keuangan. Surat kabar tersebut, yang terbait pertamakali pada Januari 1986, menyerang pribadi tokoh-tokoh, antara lain Presiden Khamenei, Perdana Menteri Mousavi. Bila selama Khomeini masih ada pertentangan itu tak pernah menjadi perebutan kekuasaan secara nyata, soalnya Sang Wilayat al-Faqih dengan bijaksana merangkul kedua pihak. Kata Rafsanjani tentang hal ini, di suatu hari. Imam Khomeini menghendaki agar kedua belah pihak justru bisa saling mengkritik, tapi jangan sampai menimbulkan pertentangan yang bisa "melemahkan kedua belah pihak." Dengan kata lain, salah sukses Khomeini adalah membuat kedua kekuatan yang lazimnya disebut garis keras (diwakili antara lain oleh PM Musavi, Kepala Mahkamah Agung Ardabili, dan Jaksa Agung Jenderal Khu'ayniha) dan moderat (Presiden Khamenei dan Rafsanjani) selalu seimbang. Salah satu contoh bagaimana pentingnya keseimbangan ini terjadi pada November 1985. Kala itu berlangsung pemilihan kembali perdana menteri, karena jabatan PM Musavi habis sudah. Ternyata, Musavi kalah, meski tipis (135 dari 269 suara tak memilih dia). Tampaknya ini bagi Khomeini berbahaya. Sebab, akan membuat pihak moderat semakin kuat -- kursi presiden dan ketua parlemen sudah diduduki oleh pihak moderat. Maka, Khomeini turun gelanggang -- sebuah langkah yang -- sebenarnya menyalahi aturan memberikan ceramah bahwa mereka yang menolak Musavi sebaiknya berpikir lagi. Maka, pemilihan pun diulang. Hasilnya, 167 untuk Musavi, 73 menolak, dan 26 abstain. Toh Khomeini masih murka. Ia mengancam, mereka yang tak memilih Musavi bisa disebut melakukan "sabotase" terhadap pemerintah. Adakah Imam Khomeini condong ke "kiri" atau yang disebut kelompok garis keras itu? Ada yang mengatakan, hati Ayatullah ini memang berpihak ke garis keras, tapi sebagai Wilayat al-Faqih ia berusaha untuk netral. Perebutan kekuasaan tak selalu berlangsung di pusat. Justru yang sering memusingkan Khomeini adalah persaingan di daerah karena acap kali menjadi bentrok fisik. Umpamanya ketika pada 1982 Khomeini menunjuk Ayatullah Jalal al-Din Tahiri sebagai pemimpin ulama di Ishafan. Pengangkatan ini mendapat tentangan dari saingan Tahiri, yakni Ayatullah Husein Khadimi. Bukan cuma tentangan suatu bentrok senjata antara Pasdaran (Pengawal Revolusi) pendukung Tahiri dan Khadimi terjadi. Untunglah, Montazeri yang diutus mendamaikan mereka berhasil. Yakni dengan menggantikan komandan Pasdara Ishafan dengan orang baru. Kasus seperti ini terjadi di banyak daerah (Mashad, Kurdistan, Fars, Amul, dan Rasht). Ini menunjukkan bahwa sebenarnya para mullah saling bersaing keras merebut kedudukan. Atau paling tidak bersaing merebut pengaruh. Bahkan, sebenarnya, sejak Republik Islam Iran berdiri 1979, kritik terhadap kebijaksanaan Khomeini mengalir dari para ayatullah yang lebih senior daripada dia. Umpamanya, Ayatullah Muhammnad Riza Gulpayagani, yang mengajar di Qum, tak setuju dengan pemungutan pajak pendapatan. Katanya, hanya dengan membayar zakat dan khums (pemberian sukarela dari para pengikut kepada seorang mujtahid) itu sudah cukup dalam sebuah negeri berpemerintahlan Syiah, sebelum Imam Mahdi hadir. Riza Gulpayagani juga yang mengkritik cara-cara penguburan Ayatullah Shariatmadari pada 1986. Yakni penguburan yang tak sempat dihadiri oleh tokoh-tokoh mullah disebabkan karena upacara terakhir bagi almarhum dilakukan tergesa-gesa, dekat setelah ia meninggal di suatu malam. Bagi Gulpayagani, cara penguburan Shariatmadari dianggap sebagai penghinaan. Ia minta Khomeini menyatakan maaf secara pribadi. Adapun hal itu terjadi karena meninggalnya Shariatmadari dikhawatirkan akan menimbulkan kerusuhan dan dia akan dinobatkan sebagai simbol oposisi. Ceritanya, pada 1982, di zaman perdana menteri masih dipegang oleh Sadeq Gotbzadeh, Shariatmadari difitnah bersekongkol untuk menjatuhkan pemerintahan Khomeini. Ini menyebabkan segera terjadi permusuhan antara pengikut Shariatmadari dan aparat pemerintah beserta pendukungnya. Bila dilakukan upacara besar bagi salah satu Ayatullah Uzma ini, dicemaskan para pengikutnya akan menjadikan peristiwa itu untuk membuat gara-gara. Peristiwa ini juga mendorong Ayatullah Hasan Qumi mengkritik pedas Khomeini. Dia jengkel, sementara Khomeini mengirimkan delegasi ke upacara pemakaman Sekjen Partai Komunis Soviet Chernenko, tapi pada pemakaman Shariatmadari tak ada penghormatan terakhir. "Kalian telah meninggalkan jalan Islam," kata Qumi. Akibatnya, Qumi kena tahanan rumah. Itu semua merupakan kritik terhadap Khomemi, yang tak berniat menggulingkannya. Bahkan Shariatmadari, menurut Syahrough Akhvi, profesor pemerintahan dan studi internasional di University of South Carolina, dalam artikelnya di Middle East Journal, tak mengarahkan kritiknya untuk menjatuhkan Khomeini. Khomeini sendiri agaknya menaruh perhatian terhadap kritik-kritik mereka. Ketika Dewan Ahli menunjuk Ayatullah Montazeri sebagai calon pengganti Khomeini, terdengar suara-suara keras. Ayatulah Sadeq Ruhani di Qom mengecam keputusan itu bukan pilihan rakyat. "Itu bukan cara negeri Islam, bahkan cara yang lebih buruk daripada negeri komunis," kata Ruhani dalam sebuah khotbahnya. Khomeini seolah tak mendengar kritik itu. Tapi Maret yang lalu ia memaksa Montazeri mengundurkan diri karena ia dituduh bersekutu dengan "musuh-musuh Iran". Ada dugaan itu karena Khomeini ingin kembali mendapat dukungan para mullah senior. Sebab, sebelum Montazeri terpilih, pada 1985, kritiknya terhadap Iran sudah terdengar keras. Pada 1983, misalnya, ia mengatakan, "Ada pepatah terkenal bahwa revolusi memakan anak-anaknya sendiri. Kini saya merasakan hal itu ...." Walhasil, menjadi pucuk pimpinan di Iran membutuhkan tak cuma kekuatan mental, tapi juga kecerdikan menyetir keseimbangan agar tak cepat terjungkal dari kursi. Kepiawaian itulah yang oleh banyak orang tak dilihat ada pada diri Hojatullah Ali Khamenei. Meski dalam suratnya bertanggal 29 April 1989 Khomeini sendiri menulis, yang dibutuhkan Iran tak harus seorang ayatullah uzma. "Seorang mujtahid, mujtahid yang cakap, sudah cukup ...." Vntuk sementara, akhirnya Khamenei bisa diterima semua pihak. Apalagi dengan diangkatnya Ayatullah Uzma Ali Araki, guru Khomeini itu, sebagai marja-taqlid. Menurut surat kabar Keyhan, surat kabar terbesar yang pro-pemerintah, "rakyat boleh mengikuti kata Imam (Khamenei), dan bila ada persoalan yang tak ada dalam kitab Imam, mereka boleh datang ke Araki." Praginanto & Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini