Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - 300 lebih warga Jepang pada Juli meninggal dunia akibat banjir dan gelombang panas, yang menjadikan bulan Juni tahun ini adalah yang paling mematikan di Jepang dalam beberapa tahun terakhir.
Korban pertama disebabkan oleh curah hujan. Pihak penanganan bencana Jepang, dilaporkan Associated Press, 31 Juli 2018, mengatakan sedikitnya 220 orang tewas pada awal bulan akibat banjir besar dan tanah longsor di Jepang barat, dengan sembilan lainnya masih hilang dan diyakini telah tewas.
Baca: Gelombang Panas, Harga Sayuran Naik di Jepang
Sementara itu gelombang panas dengan rekor suhu tertinggi yakni di atas 40 derajat celcius, yang menyebabkan 116 kematian di Jepang.
Sejumlah warga terlihat berjalan sambil membawa payung di Tokyo, Jepang, pada Senin, 23 Juli 2018, dengan suhu tercatat mencapai 40,8 derajat Celcius. Kyodo via Japan Times
Dilansir dari Asahi.com, pada 29 Juli, kota Joetsu, Prefektur Niigata, mencatat suhu tertinggi baru pada 39,5 derajat. Gelombang panas melampaui 35 derajat celcius di sebagian Hokkaido, pulau paling utara, serta wilayah Tohoku.
Sejak musim semi, 86 orang meninggal karena sengatan panas dan sekitar 43.000 orang dilarikan ke rumah sakit untuk perawatan darurat.
Baca: Masjid Keliling di Jepang Sambut Olimpiade, Ini Penampakannya...
Badan Meteorologi Jepang memperingatkan bahwa sistem tekanan tinggi Pasifik akan terus mencakup sebagian besar Jepang sampai awal Agustus, menciptakan gelombang panas tingkat bencana yang mengancam jiwa.
Heatstroke atau sengatan panas adalah kondisi di mana suhu tubuh meningkat drastis karena paparan yang terlalu lama terhadap suhu dan kelembaban tinggi. Gejalanya termasuk pusing, sakit kepala dan mual. Heatstroke yang parah dapat menyebabkan ketidaksadaran dan bahkan kematian. Tetapi situasi parah dapat dicegah dengan langkah-langkah yang tepat berdasarkan pengetahuan yang akurat.
Anak-anak dan orang tua sangat rentan terhadap sengatan panas. Anak-anak cenderung sangat dipengaruhi oleh panas yang dipantulkan dari aspal, sementara orang yang lebih tua kurang mampu mengatur suhu tubuh mereka.
Suasana korban banjir dan tanah longsor di pusat evakuasi di sekolah dasar Okada, Kurashiki, Prefektur Okayama, Jepang, Rabu, 11 Juli 2018. Bencana alam ini merupakan yang terburuk bagi Jepang dalam tiga dekade terakhir. REUTERS/Issei Kato
Sementara Jepang Barat dilanda curah hujan bersejarah pada akhir minggu pertama bulan Juli. Udara hangat dan lembab dari Samudera Pasifik mengintensifkan hujan musiman, memicu hujan lebat, ungkap Badan Meteorologi Jepang.
Baca: Badai Jongdari Sekuat 180 Kilometer per Jam Segera Hantam Jepang
Jumlah korban tewas banjir adalah yang terbesar di Jepang sejak badai besar pada 1982, menurut situs Nippon.com. Sekitar setengah korban berada di perfektur Hiroshima, di mana lebih dari 100 kematian melampaui 77 jumlah korban jiwa akibat tanah longsor di Jepang pada 2014. Selain Hiroshima, Prefektur Okayama juga terdampak, di mana tanggul sungai jebol di kota Kurashiki, yang merendam permukiman sekitar.
Lebih dari 70.000 tentara dan pekerja darurat dikirim untuk mendistribusikan persediaan dan menggali puing-puing untuk mencari korban hilang. Pada Minggu 29 Juli, lebih dari 10.000 pengungsi banjir tetap tinggal di pusat-pusat evakuasi dan tidak dapat kembali ke rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini