SETELAH kata-kata tak berjawab, bisakah bom berbicara pada Saddam Hussein? Mungkin tidak, meski banyak pihak tampaknya mengharapkan ya. Senjata ledak dahsyat itu diharapkan memaksa Saddam mengibarkan bendera damai, dan menarik pasukannya dari Kuwait segera. Tentunya tak semudah itu. Apa yang akan dikatakan Saddam pada rakyatnya, yang diajaknya bertempur sampai titik darah penghabisan, bila tiba-tiba ia ingin berdamai? Apa pula yang akan ia uraikan pada Yasser Arafat dan rakyat Palestina, yang ia sebut-sebut sebagai pihak yang ia perjuangkan dalam perang ini? Namun, seandainya ada peluang, dan ia manfaatkan -- dengan harapan nasib Gamal Abdul Nasser akan menimpanya pula: Presiden Mesir itu dulu dipuja sebagai pahlawan bangsa Arab melawan Zionisme -- bisakah George Bush percaya? Tidakkah pula sejumlah pemimpin Arab yang kini ikut melawannya menganggapnya tetap berbahaya? Itulah salah satu bab menarik untuk dibahas dalam laporan utama krisis Teluk yang sudah meledak jadi perang. Juga jadi hal yang menimbulkan keingintahuan, apa yang akan diperbuat Israel dalam perang ini. Tetap Jadi penonton, atau memutuskan menceburkan diri menyerang Irak? Dari jauh, menonton perang di Teluk di layar televisi memang mengasyikkan. Serasa nonton Piala Dunia, kata seorang teman: aman dan merdeka memikirkan hal-hal spekulatif. Padahal, inilah perang yang menggunakan peralatan perang canggih yang dilengkapi alat-alat elektronik dan sinar laser, yang sebagian belum pernah digunakan dalam perang sebenarnya. Peralatan yang tak cuma akurat daya sasar dan besar daya hancurnya, tapi juga mahal harganya (sebuah rudal Patriot konon sampai Rp 225 milyar). Ini merupakan satu bab lagi yang mengasyikkan dituturkan, soal teknologi perang canggih ini. Masalahnya jadi lain bila yang diharap adalah sebuah laporan akurat tentang perang di wilayah seluas 450.000 km2 (Kuwait dan Irak) ini. Mula-mula pihak Departemen Pertahanan Amerika yang membuat sederet larangan peliputan, antara lain wartawan tak dibolehkan mengekspose korban di pihak Amerika. Kini, setelah perang berkobar, informasi ternyata simpang-siur. Data pertempuran, korban, dan kehancuran mesti disimak dengan hatihati: kedua pihak menonjolkan kekalahan lawan. Apalagi, Irak melakukan sensor bukan hanya bagi pers audiovisual, tapi juga bagi pers cetak. Dikabarkan Israel melakukan hal yang sama. Bila demikian, kebenaran tentang perang yang dimulai dinihari Kamis pekan lalu itu baru bisa diketahui setelah perang selesai. Dengan keasyikan dan informasi yang simpang-siur itulah laporan ini ditulis. Kami berusaha "menjelaskan" data yang akurasinya diragukan itu, dengan sedapat mungkin mencantumkan sumbernya. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini